Mongabay.co.id

Karhutla Meluas, Kabut Asap Mulai Selimuti Beberapa Daerah

-Dinas Kesehatan Riau bagikan masker. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sepekan terakhir, warga Pekanbaru, Riau, kembali menghirup udara berkabut asap karena kebakaran hutan dan lahan. Kabut asap tipis mulai selimuti Pekanbaru, bahkan Selasa (30/7/19) pagi, kabut asap terlihat jelas dan jarak pandang turun jadi empat kilometer dari jarak normal 8-10 kilometer.

Di Kalimantan Barat, kabut asap tipis juga mulai terasa. Pada Senin (29/7/19), penerbangan pesawat ke Bandara Supadio, Kubu Raya, pada pagi hari sempat tertunda sekitar 30 menit karena kabut asap. Di Kota Pontianak, kabut asap mulai terasa. Udara yang terhirup mulai bercampur asap dan mata sedikit pedas.

Kabut asap ini membuat Isnani, perempuan 31 tahun warga Jalan Sepakat, Pekanbaru, ini tak menjemur bayinya yang berumur kurang sebulan.

Sejak lahir, dia menjemur bayinya keluar untuk mendapatkan paparan sinar matahari pagi pada pukul 7.00. “Hari ini, ndak bisa (dijemur). Ndak ada matahari juga bau asap terasa,” katanya kepada Mongabay, Selasa pagi.

Dia khawatir, menyinari bayi saat udara mengandung asap, malah sakit. “Awak khawatir, justru anak bisa sakit karena bayi kan rentan sekali dengan cuaca dan udara,” katanya.

Huzeir, pengusaha Batam yang baru sepekan pindah ke Pekanbaru, sempat merasakan sesak napas saat menghirup udara. Aroma udara serupa dia hirup kala 2015 di Batam.

Pas pagi keluar rumah jelas sekali ada kabut dan aroma pas bernapas ya seperti dari kebakaran hutan. Kalau dulu, 2015 kan sampai (asap) ke Batam,” katanya, saat mengobrol dengan Mongabay, Minggu sore.

Aldo, mahasiswa Universitas Islam Riau, Pekanbaru juga merasakan hal sama. Kabut asap tipis yang menyelimuti kompleks perumahan di Harapan Raya, Pekanbaru, dia kira asap pembakaran sampah. Sepanjang, dia berkendara kabut asap itu terlihat.

“Awalnya, awak kira itu (karena) bakar sampah. Asapnya, di mana-mana. Ini pasti ada hubungan dengan berita kebakaran hutan dua hari terakhir di media,” katanya.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, Selasa (30/7/19) pagi mengatakan, jarak pandang di Pekanbaru, memburuk karena campuran asap dari kebakaran hutan gambut. Kalau normal, jarak pandang 8-10 kilometer, maka pukul 7.00 terpantau empat kilometer. Jarak pandang menurun juga terjadi di Kota Rengat, Dumai dan Pelalawan, mencapai lima kilometer.

“Dari hasil pantauan kami, memang hotspot (titik api-red) sudah cukup banyak. Jadi, sudah terpantau asap di Pekanbaru. Hasil pengamatan kami, jarak pandang pukul 8.000 sudah lima kilometer,” kata Yasir, analis BMKG Pekanbaru.

Data Satelit Terra Aqua per Selasa pagi (30/7/19) yang dianalisis BMKG Pekanbaru, titik panas di Sumatera 138 dengan konfidensi lebih 50%. Data ini meningkat tajam dari Senin sore 106 titik.

 

Petugas berjibaku padamkan kebakaran lahan. Sumber foto dari Humas KLHK

 

Riau, kembali terbanyak titik api yakni, 60 diikuti Jambi 30 dan Bangka Belitung 16 serta Sumatera Selatan dan Lampung delapan. Sedangkan Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ada enam, Kepulauan Riau tiga dan Bengkulu satu titik.

Di Pelalawan, Riau, masih paling banyak terpantau ada 30 titik. Indragiri Hilir, 15, Rokan Hilir ada delapan, Indragiri Hulu dan Bengkalis, masing-masing dua titik. Sedangkan Kampar, Siak dan Kuansing, terpantau satu titik api.

Saat ini, angin bergerak sedang antara 5-8 knot dari Tenggara ke Barat Daya. Kalau kebakaran gambut dan hutan di Pelalawan dan Siak, asap akan berembus ke Pekanbaru dan Kampar. “ Ya, benar. Ini harus diwaspadai,” kata Yasir.

Data titik api selama satu pekan terakhir dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), ada 151 titik panas terpantau di Riau sejak 22 Juli-28 Juli. Konfidensi titik api lebih 70%– kemungkinan besar ada kebakaran–57 titik, di Pelalawan paling banyak 39 dan Siak ada lima.

“Jika dilihat dari ketebalan gambut yang terbakar dengan kepercayaan (konfidensi) lebih 70%, 10 titik kebakaran di gambut dengan kedalaman lebih empat meter. Ini yang akan membuat kebakaran lama padam karena gambut dalam,” kata Okto Yugo Setyo, Deputi Jikalahari kepada Mongabay, Senin (29/7/19) sore.

Amral Ferry, Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatera di Pekanbaru mengatakan, kualitas udara terpantau dengan alat pemantau udara di sejumlah kota di Riau sejak 22 Juli- 30 Juli, umumnya sedang. Pada 30 Juli, dari 10 stasiun pemantau kualitas udara di Riau, delapan kota kategori sedang dan dua ketegori baik.

“Data pagi tadi (Selasa) pukul 7.00 data setara ISPU jadi belum 24 jam. Tingkatnya sedang hingga tidak berpengaruh terhadap manusia dan hewan namun berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif atau nilai estetika,” katanya, Selasa siang kepada Mongabay.

Data rekapitulasi indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sejak 22 Juli mengungkapkan, pada Sabtu (27/7/19), kualitas udara tak sehat di stasiun pemantau Petapahan (Kampar), Libo dan Bangko (Rokan Hilir) dan Duri Camp (Bengkalis).

Data dari Jikalahari menyebutkan, kebakaran saat ini terjadi di konsesi perusahaan HTI milik grup Asia Pulp & Paper (APP) dan rekanan penyuplai serta Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) dan rekanan penyuplai. Titik api juga terpantau di kebun sawit perusahaan, kawasan konservasi dan moratorium gambut.

 

Upaya pemadaman

Ihsan Abdillah, Kepala Manggala Agni Daerah Operasi Siak mengatakan, api masih berkobar besar di Suaka Margasatwa Siak Giam Kecil, tepatnya di Desa Tasik Betung. Kebakaran di hamparan gambut kaya karbon ini sudah memasuki hari ke 18 sejak diketahui terbakar pada 12 Juli lalu.

Saat ini, terbakar karena tak dapat diakses tim darat. Pemadaman melalui udara alias water bombing.

“Ini kendalanya, tim darat tidak masuk ke lokasi karena Tasik Betung itu danau mengering. Tinggal lumpur. Pemadaman udara sedang dilaksanakan oleh satgas udara. Saya kemarin ke sana tiga hari coba lewat sungai. Air danau kering semua,” kata Ihsan dihubungi Mongabay, Selasa siang.

Kebakaran juga terjadi di Desa Sri Gemilang, Kecamatan Koto Gasib, Siak. Selasa, sudah 11 hari sejak pemadaman. Luas kebakaran di lahan gambut ini mencapai 30 hektar. Hujan ringan turun beberapa hari terakhir ini membuat tim Manggala bisa melokalisasi sebaran kebakaran.

Alhamdulillah, sudah dikendalikan. Luas 30 hektar, masih terbakar 10 hektar. Kini sudah disekat. Tinggal memadamkan saja.”

Kebakaran lahan gambut juga terjadi di Kecamatan Dayun, Siak seluas delapan hektar. Di Kecamatan Bunga Raya, titik api baru ditemukan Senin kemarin oleh tim patroli udara PT Sinar Mas.

Tim Manggala Agni belum turun ke lokasi karena sudah ada tim TNI, perusahaan dan masyarakat peduli api (MPA).

Sulitnya pemadaman api di sejumlah titik lahan gambut karena sumber air mengering dan akses sulit ditempuh tim darat. Untuk itu, perlu bantuan pemadaman dari udara.

“Kalau kami turunkan dua regu, satu 15 orang. Konsentrasi ke Dayun dan Sri Gemilang,” kata Ihsan.

 

Karhutla juga terjadi di lahan gambut hingga supit pemadaman. Sumber foto dari Humas KLHK

 

Darurat karhutla

Presiden Joko Widodo telah menelepon sejumlah pejabat pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah karhutla yang mulai marak terjadi di sejumlah daerah.

“Sudah, sudah tiga hari saya sudah telepon BNPB, Panglima, Kapolri untuk segera diselesaikan, di Riau, di Palangkaraya,” kata Jokowi di laman Setkab.go.id.

Mengenai kemungkinan perlu pesawat khusus untuk pemadaman kebakaran hutan itu, katanya, masih belum. “Saya kira, masih bisa diatasi dengan helikopter.”

Sejak 1 Juli, sudah ada enam provinsi yakni, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Jambi dan tiga kabupaten—Dumai, Sambas, Siak— menetapkan status siaga darurat karhutla.

Penetapan status siaga darurat ditindaklanjuti dengan pengaktifan Satgas Penanganan Bencana (PB) akibat asap karhutla di Sumsel, Riau, dan Kalbar.

Rafles B. Pandjaitan, Direktur Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, 42.740,42 hektar lahan terbakar. ”Paling banyak di lahan masyarakat,” katanya.

Berdasarkan data KLHK, sepanjang 2019, hingga Senin (29/7/19), karhutla di Riau, 27.683 hektar. Luas lahan terbakar di Kalimantan Barat 2.273 hektar, Sumatera Selatan (236 hektar), Kalimantan Selatan (52 hektar), dan Kalimantan Tengah (27 hektar).

Berdasarkan pengamatan BMKG, dalam 10 hari terakhir ada tiga provinsi mempunyai titik panas terbanyak, yakni NTT 274, Kalimantan Tengah (265), dan Riau (157). Pada Minggu (28/7/19), titik panas terbanyak ada di Kalimantan Tengah (69), Kalimantan Selatan (22) dan NTT (14).

Menghadapi karhutla ini, helikopter juga disiagakan di empat provinsi, yaitu, Riau 17, Sumatera Selatan ada tiga, Kalimantan Barat (6), dan Kalimantan Tengah (7). Helikopter di Riau, dukungan BNPB tujuh unit, KLHK satu , delapan swasta, dan satu TNI.

“Kelima provinsi itu memiliki kedalaman gambut dalam dan luas, hingga sangat sulit dipadamkan dengan water bombing saja. Cara memadamkan satu-satunya untuk lahan gambut, ya hujan,” kata Dody Usodo Hargo Suseno, Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di Jakarta, (30/7/19).

Agus Wibowo, Pelaksana Harian Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, mengenai penegakan hukum, ada 16 orang ditangkap di Riau karena membakar lahan. Hingga kini, masih diselidiki motivasi pembakaran.

”Berdasarkan satelit Modis, selama 2019, ada lima provinsi dengan titik panas terbanyak, yakni, Riau 3.418 titik, Nusa Tenggara Timur (1.660), Kalimantan Barat (1.134), Kalimantan Tengah (1.100), dan Kepulauan Riau (793).

Berdasarkan data BNPB dari satelit modis LAPAN pukul 16.00 (31/7/19), terdapat 126 titik tingkat kepercayaan tinggi lebih 80%. Titik panas ini di Kalimantan Barat (59), Riau (17), Kalteng (13), Jambi (12), Kalimantan Selatan (4), NTB (2), NTT (8), Aceh (5), Lampung (3), Jatim (3), Maluku, Sumsel, Jabar, Kep. Riau, dan Sulsel, masing-masing satu titik.

 

 Bersiap

Gustaf Rantung, Manajer Teknologi dan Data Fire Management APP Sinar Mas dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pekan lalu mengatakan, mengantisipasi dan menanggulangi karhutla sampai 2019, perusahaan memiliki 3.180 personel regu pemadam kebakaran sudah tersertifikasi Manggala Agni dan 126 Tim Reaksi Cepat.

Mereka juga memiliki sistem deteksi dini. Semua fasilitas itu, katanya, disiagakan menghadapi musim kemarau 2019.

“Sebenarnya ini bukan barang baru. Ini sudah kita lakukan merujuk pengalaman 2015. Setelah karhutla 2015, kita kembangkan sistem pengendalian kebakaran hutan di konsesi kami dan pemasok,” katanya.

Perusahaan, katanya, banyak belajar ketika menangani Asian Games. Saat itu, zero haze dan zero fire. “Skenario yang kami kembangkan, kami terapkan di seluruh region APP dan mitra.”

Tahun ini, katanya, prediksi cuaca lebih kering dan panas dengan El Nino moderat, APP Sinar Mas, akan lebih waspada.

“Kita kembangkan early detection system. Kita sudah memetakan area rawan kebakaran dan difficulty of suppression map. Program Desa Makmur Peduli Api kita bersama penduduk lokal mencegah kebakaran. Kita kembangkan dan petakan daerah-daerah kemungkinan besar akan kebakaran.”

Dalam operasional mereka, ketika ada penanaman, kontraktror wajib pelatihan supaya tidak sembarangan. APP juga pelatihan kepada MPA di sekitar konsesi APP Sinar Mas. Dengan keterlibatan masyarakat sekitar, katanya, mereka bisa berkolaborasi mencegah karhutla.

“Kita minta bantuan masyarakat melaporkan jika ada kebakaran. Mereka juga patroli bersama kita,” katanya.

Gustaf mengatakan, sebagian konsesi APP Sinar Mas berada di lahan gambut. Untuk menjaga gambut, mereka juga membuat sekat kanal sesuai aturan pemerintah.

Canal blocking untuk mengairi lahan gambut ketika sudah tidak terjadi hujan. Air dari embung menarik dari bawah. Air di kanal berguna ketika pemadaman. Sosialisasi dan peringatan dengan memasang papan peringatan. Menentukan kesiapsiagaan melalui fire danger rating. Kita juga kerjasama dengan aparat baik kepolisian maupun TNI untuk patroli bersama.”

 

Sumber: BMKG dari presentasi BNPB

 

Untuk peringatan dini, APP Sinar Mas juga membangun 102 menara api setinggi 30 meter dengan jarak pandang pada hari cerah sampai 15 kilometer. Juga membangun 506 pos pantau beroperasi selama 24 jam.

“Kita gabungkan dengan sistem deteksi camera thermal dan CCTV berjumlah 52 unit. Dari 2016, kita memasang kamera thermal dan CCTV. Ini mebuat semua area berisiko tingkat tinggi bisa dipantau lebih dari satu titik,” katanya, seraya bilang, mereka punya 10 helikopter buat water bombing. Mereka juga punya drone hingga daya pantau bisa sampai 10 km.

“Semua sistem pemantau ini kita pantau di Jakarta melalui situation room untuk memastikan sistem berjalan dengan baik dan dapat digunakan.”

Selain itu, fasilitas lain yang disiapkan seperti 1.470 pompa air, 138 fire truck, 146 mobil patrol, 9 airboat, 55 speedboat dan 462 motor patrol. “Kita memasang fire danger rating system di setiap konsesi kami. Untuk Sumatera, 50 titik, rencana ke depan Kalimantan, juga kita pasang,” katanya, seraya bilang, dengan sistem ini mereka bisa mengetahui cuaca, ketersediaan air, tingkat kekeringan dan lain-lain.

Agung Wiyono, Head of Corporate Social and Security APP Sinar Mas mengatakan, dalam pencegahan karhutla, perlu peran serta masyarakat sekitar. APP Sinar Mas punya program Desa Makmur Peduli Api (DMPA) yang rilis 2015 dan aktif 2016.

Lewat program DMPA, katanya, berupaya meningkatkan perekonomian warga sekitar dan mendorong diversifikasi tanaman pangan warga agar lebih variatif. Juga, mendukung sumber daya penting masyarakat yang telah mereka kelola.

“Dengan DMPA, kami juga transfer teknologi, berbagai pelatihan kepada warga agar lebih ramah lingkungan. Juga, peran serta masyarakat dalam perlindungan hutan dari ancaman pembalakan liar, perburuan, pembakaran dan lain-lain.”

Sampai 2020, Sinar Mas menargetkan bisa menjangkau 500 desa di lima provinsi, yakni, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Sampai akhir Juni, sudah terimplementasi di 297 desa dengan melibatkan 17.451 keluarga.

Suhendra Wiriadinata, Direktur APP Sinar Mas mengatakan, terus berupaya memperkuat berbagai fasilitas dari sistem penanggulangan kebakaran hutan terintegrasi (integrated fire management system/IFM).

Mereka menyadari, hanya bagian dari proses pencegahan karhutla. “Kami berharap ada kerjasama dari seluruh stakeholder mulai dari pemerintah pusat, pemda, TNI, Polri, masyarakat, pemuka agama dan lain-lain,” kata Suhendra.

 

Sumber: BMKG dari presentasi BNPB

 

Lebih kering, 48 juta orang terancam

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika memprediksi, Agustus menjadi puncak musim kemarau tahun ini. Ancamannya, wilayah kekeringan dan karhutla meluas. Sekitar 48 juta orang di 28 provinsi berpotensi mengalami dampak kekeringan.

“Kekeringan tahun ini akan melebihi kekeringan 2018, memang itu risiko daerah tropis seperti itu,” kata Dody. Dia memperkirakan, makin banyak daerah berdampak.

Bahkan, musim kemarau ini wilayah yang memiliki potensi risiko sedang-tinggi terdampak kekeringan teridentifikasi 28 provinsi dengan luas wilayah 11.774.437 hektar, diperkirakan jiwa terpapar 48.491.666.

Hingga Juli, BNPB mendata ada tujuh provinsi, 95 kabupaten/kota, 695 kecamatan dan 2.347 desa mengalami bencana kekeringan.

Dibandingkan 2018, pada puncak musim kemarau, kekeringan melanda 11 provinsi terdapat 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan dan 4.053 desa. Kekeringan ini pun menyebabkan 4,87 juta jiwa tedampak.

Ada 61 kabupaten menyatakan siaga darurat kekeringan melalui surat keputusan bupati dan walikota, seperti Banten, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Dody mengatakan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana pun mengupayakan dalam menghadapi darurat kekeringan, dengan pendistribusian air bersih 28.576.400 liter, penambahan mobil tanki, hidran umum, pembuatan sumur bor dan kampanye hemat air.

Selain itu, teknologi modifikasi cuaca (TMC) pun disiapkan, sudah terdapat dua posko menunjang penerapan TMC, di Kupang dan Jakarta.

”Pekan depan, paling lambat kami laksanakan. Begitu armada sudah siap, akan langsung kita operasikan. Alat dan bahan semua sudah siap,” kata Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Dodo Gunawan, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG menyebutkan, musim kemarau tahun ini terjadi sejak Juli hingga Oktober, mendatang. Tahun ini, kemarau nemiliki skala El-Nino lebih redah dibandingkan 2015, meski demikian kekeringan lebih parah daripada 2018.

Hampir 88% wilayah Indonesia memasuki musim kemarau. Bahkan, sejumlah wilayah mengalami hari tanpa hujan lebih 60 hari, seperti Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur.

Bahkan, katanya, beberapa wilayah di Jabar, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB dan NTT, mengalami hari tanpa hujan lebih 90-120 hari.

Mayoritas wilayah itu, katanya, lahan pertanian dan permukiman padat penduduk. Dampaknya, pada pengairan lahan pertanian dan kesulitan air bersih. ”Ada sentra produksi padi (terkena dampak), misal, wilayah Sumsel, Pantura dan Lampung,” kata Dodo.

 

Kerusakan lingkungan

Agus menyebutkan, wilayah kekeringan di Indonesia makin meluas tahun ini karena faktor lingkungan.

”Mayoritas karena kerusakan lingkungan, di samping didukung iklim, hingga lahan makin kering,” katanya.

Mayoritas Pulau Jawa, misal, daerah subur hingga tanaman pun tumbuh subur. Sayangnya, karena banyak penebangan pohon, lahan hijau jadi perumahan, menyebabkan kerusakan lingkungan makin parah.

Kalau musim kemarau alami kering, dan penghujan banjir. “Artinya, sistem lingkungan rusak dan daerah aliran sungai rusak. Sistem daerah aliran sungai tidak bisa menyimpan air yang bisa dipakai saat bulan kering,” katanya.

Agus mengatakan, Nusa Tenggara Timur, memiliki wilayah paling terdampak kekeringan, mencapai 848 desa. Disusul, Jawa Timur 569 desa, Jawa Barat 310 desa, Nusa Tenggara Barat 302 desa, Jawa Tengah 207 desa, Yogyakarta 85 desa dan Bali 26 desa.

 

Keterangan foto utama:  Dinas Kesehatan Riau bagikan masker. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Sumber: BMKG dari presentasi BNPB
Exit mobile version