Mongabay.co.id

Terpilih, 22 Perempuan Women’s Earth Alliance Indonesia

 

Satu demi satu pejuang lingkungan perempuan menjelaskan kegiatan dan misinya di depan seorang pelatih yang mewawancara dan merekam video dalam bahasa Inggris.

Siti Aisyah, pendiri Bank Sampah NTB Mandiri di Lombok dengan percaya diri menjelaskan apa yang sudah dilakukannya. “Lombok makin populer, banyak hotel, villa, volume sampah makin besar,” urainya. Ia mengantisipasi sampah jadi bencana, karena itu harus mulai dikelola.

Sebelum Siti, ada Putu Ayu Puspa Wardani dari Tabanan, Bali yang menjelaskan lima tahun menjalankan wisata berbasis masyarakat di kampungnya. Pengajar bahasa Inggris ini menyebut kebanyakan lahan sudah dimiliki warga asing yang bekerja sama dengan warga lokal membuat akomodasi seperti villa. Karena area ini memiliki hamparan pantai dan sawah. Dua pemandangan yang paling dicari sebagai lokasi akomodasi.

“Warga bisa terancam kehilangan pekerjaan sebagai petani, saya mulai menguatkan perempuan dengan meningkatkan keterampilannya,” ujar Aniek, panggilan Putu Ayu. Wisata yang dikelola warga menurutnya salah satu pilihan agar tak hanya menonton perkembangan wisata di kampung sendiri. Misalnya mampu mengelola guest house, menyiapkan rumah sendiri sebagai akomodasi wisata untuk turis yang hendak mempelajari kehidupan warga Bali.

Sementara itu Raihal Fajri dari Aceh berkisah pengalamannya sebagai peneliti yang tak mudah mengadvokasi kebijakan di tingkat warga. Salah satunya jika di depan tokoh masyarakat yang dominan laki-laki. “Sulit menyampaikan pendapat di tengah pemimpin adat laki-laki terutama jika mereka tidak setuju,” cerita peneliti ini.

Ada beragam isu dan model kampanye lingkungan yang dipraktikkan 22 pemimpin perempuan ini. Mulai dari gerakan seni untuk anak muda, pertanian organik, pelestarian terumbu karang, mangrove, hutan, dan lainnya. Mereka disatukan untuk berbagi pengalaman dan menguatkan kapasitas di forum Women’s Earth Alliance (WEA) Indonesia ini.

baca : Perempuan Hebat Penjaga Kaki Bukit Barisan

 

Sebanyak 22 pemimpin perempuan di bidang lingkungan terpilih dalam aliansi Women’s Earth Alliance (WEA) Indonesia. Foto: WEA/Mongabay Indonesia

 

Sebanyak 22 pemimpin perempuan di bidang lingkungan terpilih dalam aliansi Women’s Earth Alliance (WEA) Indonesia. Foto: WEA/Mongabay Indonesia

Sebanyak 22 perempuan dari sejumlah daerah di Indonesia terpilih dalam barisan pejuang lingkungan. Selama seminggu sejak 22 Juli, mereka mendapat serangkaian pelatihan dan berbagi pengalaman di Bali.

Mereka adalah Lia Putrinda (Clungup Mangrove Conservation Tiga Warna, Malang, Jawa Timur), Sumarni Laman (Ranu Welum, Kalimantan Tengah), Audria Evelinn (Little Spoon Farm, Bali), Elizabeth Lily (Sanggar Kreativitas Anak Indonesia, Medan, Sumatera Utara), Septrina Frisca Tobing (World Resource Institute Indonesia, Jakarta), Giyan Antari (Kul Kul Connection, Bali), Ida Rahayu (Seeds to Table, Bali), Irene Sohilait (Yayasan Kamboti, Maluku), Leoni Rahmawati (Rainforest Action Network, Jakarta), Liza Apriani (Handep, Kalimantan Tengah), Musrsiati (FORKANI, Sulawesi Tenggara), dan Prawita Tasya Karissa (Biorock Indonesia, Bali).

Selain itu terpilih Putu Ayu (Kelecung Kelod Tourism, Bali), Raihal Fajri (Katahati Institute, Aceh), Redemta Tete (Sumba Hospitality Foundation, Sumba, NTT), Rubama (Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, Aceh), Siti Aisyah (Bank Sampah NTB Mandiri, Lombok), Sumilia (Swisscontact, Aceh), Thilma Komaling (konsultan teknologi startup, Jakarta), Tirsana Wendry (Kailola,Heka Leka (Maluku), Tri Astuti (Sokola Istitute, Jawa Tengah), dan Wiwik Subandiah, (Alam Riang, Jombang, Jawa Timur).

Kegiatan ini bagian dari WEA Grassroots Accelerator Program selama empat bulan. Di Bali, 22 perempuan didampingi fasilitator menguatkan jaringan dan kapasitasnya untuk mengembangkan program yang selama ini sudah dilakukan.

Misalnya pada 25 Juli lalu di Green Village, Badung, WEA Indonesia ini melakukan mentoring penajaman ide dan sesi wawancara satu demi satu melalui fasilitator video, foto, dan lainnya. “Pertemuan semacam ini membuat kita lebih kuat. Di sini semuanya luar biasa, kita lebih terkoneksi,” seru Siti Aisyah, yang juga mengelola Lombok Eco International Connection.

baca juga : Perempuan Penenun Sampah Plastik

 

Empat dari 22 WEA Indonesia usai sesi wawancara dan rekaman video pada 25 Juli di Green Village, Badung, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Aniek yang membuat program wisata alam dan budaya ini menyebut pembelajaran melalui beragam modul sangat membantu untuk maju bersama. “Merasa tak sendiri, ini gerakan yang harus kami kembangkan,” tambahnya.

Melinda Kramer, Pendiri Women’s Earth Alliance (WEA) menyebut para pemimpin perempuan ini bekerja dengan mengdentifikasi solusi untuk mengatasi masalah di akar rumput, menghadapi perubahan iklam, kemiskinan, kekurangan akses sumberdaya, dan lainnya. Pelatihan yang sudah dihelat di 20 negara ini bertujuan meluaskan dampaknya. “Mereka adalah pemimpin perempuan dengan program yang sudah berjalan di berbagai isu seperti pangan, konservasi, hutan, dan lainnya,” jelasnya.

Strategi kunci program ini adalah bagaimana para perempuan ini mendorong kualitas lingungan dan taraf hidup komunitasnya. Program akselerator ini membantu perencanaan dan eksekusinya dengan kerangka strategi dan peningkatan keterjangkauan.

Raihal Fajri, aktivis perempuan dari Meunasah Manyang, Aceh, ini dinilai berani bicara melawan pertambangan di daerahnya untuk melindungi komunitas dan alam sekitarnya dari polusi.

Di lembaga yang dipimpinnya, Kahati Institute, ia menjadi mediator, peneliti, untuk mengadvokasi kebijakan dan transparansi di sektor lingkungan.

Sementara Prawita Tasya Karissa dinilai ahli dalam restorasi terumbu karang, dan bekerja di Biorock Indonesia. Metode biorock diimplementasikan di Pemuteran, Buleleng, Bali Utara dan dinilai mempercepat pertumbuhan karang dalam laut.

Redemta Tete, Ketua Sumba Hospitality Foundation, dinilai melakukan edukasi dan pemberdayaan perempuan di daerahnya. Di sektor pendidikan ada Tirsana Kailola dari Maluku. Sejak 2017 ia bekerja di lembaga pendidikan Heka Leka yang mengembangkan pendidikan usia dini.

menarik dibaca : Cerita Para Perempuan Penjaga Tesso Nilo

 

Rubama, dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh, salah satu dari 22 WEA Indonesia sedang bekerja di dalam hutan. Foto: Rubama/Mongabay Indonesia

 

Wiwik Subandiah mendirikan sejumlah komunitas belajar seperti Alam Riang dan Pemuda Berkarya. Melalui pendidikan generasi muda, ia juga menyebarkan pengetahuan soal lingkungan melalui sejumlah kegiatan seperti program Amal Sampah.

Ada sejumlah peneliti dan konsultan yang terpilih dalam program ini. Misalnya Irene Sohilait dari Ambon, pada 2006-2009, bekerja sebagai konsultan pengelolaan sampah Kota Ambon bersama United Nations Development Program sampai akhirnya dipromosikan sebagai Kepala Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu oleh Pemkot Ambon. Ia juga mendirikan Sekolah Alam dan komunitas Green Moluccas dan Yayasan Komboti di bidang lingkungan.

Septrina Frisca Tobing dari World Resources Institute (WRI) Indonesia melakukan sejumlah penelitian di bidang kehutanan dan saat ini sedang meneliti partisipasi perempuan mengelola atau terlibat dalam program Perhutanan Sosial. Tujuannya untuk memetakan adakah ketimpangan gender yang terjadi, dan ini menjadi pijakan awal program WRI selanjutnya.

Program akselerator ini bekerja sama dengan For Good, Mother Jungle, dan Ranu Welum. Program seperti ini sudah dilaksanakan sebelumnya oleh WEA di India, Kenya, Nigeria, Ghana, dan lainnya. WEA menyebut sudah ada 125 program yang didukung di 20 negara.

 

Exit mobile version