Mongabay.co.id

Jerat jadi Ancaman Serius bagi Kelangsungan Hidup Harimau Sumatera

Lepas dari jerat. BKSDA Riau, telah menitipkan harimau ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dhamasraya. Ia diberi nama Inung Rio. Andai kondisi harimau tak mengkhawatirkan, BKSDA hendak melepas harimau di hutan semula karena memang habitatnya. Foto: BBKSDA Riau

 

 

 

 

Kabar mengenai harimau Sumatera (Panthera tigris), mati atau terluka maupun cacat kena jerat banyak muncul belakangan ini. Jerat, ancaman serius bagi populasi harimau Sumatera di habitat alami mereka.

Berdasarkan data Spatial Monitoring and Reporting Tools– Resort-Based Management (SMART-RBM) dan patrol rutin oleh tim patrol Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, ada 3.285 jerat diamankan saat berpatroli dari 2012-2019.

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK mengatakan, 50% jerat berada di luar taman nasional, seperti di wilayah hutan tanaman indistri, perkebunan, hak guna usaha dan kebun masyarakat. “Jerat sling dan nilon, jenis jerat yang paling mematikan,” katanya.

Selain jerat, populasi harimau menurun karena fragmentasi habitat dan pakan di habitat asli mulai berkurang karena perburuan. Berdasarkan Population Viability Analysus (PVA) 2016, populasi harimau Sumatera di habitatnya sekitar 600, tersebar di 23 kantong.

”Penegakan hukum, salah satu cara, dan harus ditujukan hingga aktor intelektualnya. Kesadaran masyarakat khusus di sekitar hutan juga perlu ditumbuhkan,” kata Wiratno.

Banyaknya perburuan ini, katanya, karena faktor ekonomi dan perdagangan ilegal, ”Jaringan itu harus dipotong.”

Kejahatan perburuan dan perdagangan harimau Sumatera, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2015, ada dua kasus, naik jadi 10 pada 2016, 19 kasus dalam 2017. Pada 2018, turun jadi enam kasus dan sampai Juli 2019 ada satu.

”Kami akan gunakan pasal dari UU berlapis untuk memberikan efek jera,” kata Rasio Ridho Sani, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK.

Pelaku, katanya, tak hanya berburu, juga turut merusak ekosistem taman nasional.

 

Proses evakuasli harimau akibat kena jerat. Operasi telah dilakukan dan saat ini dititipkan di Lembaga Konservasi Lembah Hijau, Lampung, guna mendapatkan perawatan intensif. Foto: WCS IP/BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Para pelaku bisa kena Pasal 21 UU KSDAE dan tindak pidana menangkap, melukai, membunuh satwa dilindungi dengan alat berupa jerat belum mencapai tujuan–tindakan permulaan membawa atau memasang jerat—bisa kena pidana percobaan. Ia diatur dalam Pasal 53 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Roy, sapaan akrabnya, mengatakan, Direktorat Gakum bersama dengan UPT Ditjen KSDAE memiliki prioritas dalam operasi jerat di lansekap Sumatera, yakni, Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil Bukit Batu Riau, Ekosistem Bukit Tigapuluh Jambi, dan Taman Nasional Way Kambas. Juga kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Aceh.

“Kejahatan satwa dilindungi seperti harimau Sumatera ini luar biasa. Kami terus menguatkan intelijen dan kerjasama dengan para pihak baik level nasional maupun internasional,” kata Roy.

Dwi Nugroho Adhiasto, Wildlife Conservation Society (WCS) Program Indonesia mengatakan, perlu ada pemetaan identifikasi terkait jerat dan membuka siapa pelaku. ”Kita perlu identifikasi, kenapa jerat, bagaimana regulasi dalam dunia kriminal, wilayah mana yang biasa memasang jerat,” katanya.

Dia mengatakan, penegakan hukum bersifat reaktif, bukan kejahatan yang meningkat, tetapi deteksi petugas makin meningkat.

Selama ini, pemerintah berfokus pada hukuman badan, bukan denda. Yang membuat mereka kapok itu bukan karena dipenjara, tetapi yang membuat mereka miskin.

Dwi contohkan, pada kasus trenggiling, maksimal hukuman tiga tahun dan denda Rp100 juta. “Ini sangat tidak sebanding dengan keuntungan miliaran yang mereka dapatkan. Inilah urgen perubahan perubahan UU.”

 

Jerat harimau yang ditemukan di hutan Beutong. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Tak memadai

Pandangan Dwi senada dengan Polri. Komisatis Besar Adi Karya Tobing, Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Mabes Polri.

”UU 5/1990, kalau kita bandingkan dengan kondisi sekarang sudah tidak memadai. Bagaimana kita mengungkap itu tidak diatur disitu, hukum acara juga tidak diatur khusus,” katanya, di Jakarta, akhir Juli lalu.

Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dinilai tak lagi memadai. Modus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar makin bervariasi, sedang hukuman tak memberikan efek jera.

Sama dengan peredaran narkoba, katanya, kasus tumbuhan satwa liar ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Pengungkapan pembeli terselubung pada UU Narkotika, misal, polisi mendapat dukungan melalui pembiayaan anggaran negara. Hal ini, katanya, tak ada dalam pengungkapan kejahatan tumbuhan dan satwa liar.

”Harusnya dibuat pada UU itu. Belajar dari narkoba, pembelian terselubung, delievery order kaitannya itu banyak yang bisa menggunakan uang negara,” katanya.

Roy mengatakan, kejahatan tumbuhan dan satwa liar dilakukan beragam tipe dan kelompok terorganisir.

”Ada rantai-rantainya, korporasi dan oknum-oknum yang memiliki kuasa termasuk transnasional aktor. Kejahatan kelompok terorganisi ini memiliki dampak luar biasa dan berpengaruh pada ekosistem.”

Saat ini, dengan kemajuan teknologi, kejahatan tumbuhan dan satwa liar telah gunakan jaringan perdagangan online tersembunyi. Pengungkapan rantai aktor pun, katanya, memerlukan strategi khusus dan biaya maupun kewenang bagi aparat penegak hukum, terutama penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ruang gerak masih terbatas.

Berdasarkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan mengatakan, nilai transaksi kejahatan tumbuhan dan satwa liar ini mencapai Rp13 triliun.

Menurut Adi, antara kejahatan satwa dan tumbuhan maupun peredaraan narkoba memiliki skema selain transaksi tinggi, jaringan di lapangan hampir serupa. Mereka, katanya, memiliki kelompok biasa dikenal dengan penadah, pengumpul, penjual dan pembeli. Kelompok-kelompok ini, katanya, terorganisir dengan baik.

Nominal transaksi yang tinggi inipun, katanya, tak sebanding dengan hukuman bagi para pelaku kejahatan, seperti diatur dalam UU Nomor 5/1990.

“Misal, ada kasus, nilai transaksi penjualan trenggiling bisa miliaran rupiah, dalam UU saat ini hanya denda maksimal Rp200 juta dan kurungan maksimal lima tahun penjara,” katanya.

UU 5/1990, katanya, perlu revisi baik sanksi pidana maupun denda. Hukuman dalam UU itu, tak membuat pelaku jera.

Sebelumnya, revisi UU sudah telah dilakukan melalui inisiatif DPR. Sayangnya, pemerintah menyatakan, revisi masih belum perlu, dan masih relevan dengan kondisi saat ini.

 

Adil Aulia kena vonis enam bulan penjara terlibat dalam kepemilikan belasan burung dilindungi. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Wiratno, mengatakan, posisi pemerintah masih sama, belum perlu revisi UU Nomor 5/1990.”Kita optimalkan pasal-pasal yang ada, kita optimalkan pasal berlapis,” kata Wiratno.

Saat ini, katanya, pemerintah menyusun rancangan peraturan pemerintah turunan dari UU 5/1990, yakni, penyangga kehidupan, cagar biosfer dan pemberdayaan masyarakat.

Pada RPP pemberdayaan masyarakat nanti, katanya, diutamakan bagaimana masyarakat sekitar hutan mampu mendapatkan manfaat ekonomi, melalui perlindungan dan menjaga ekosistem yang ada.

Tantangan pelaksanaan, katanya, terletak pada komitmen politik para pemangku kepentingan di daerah dalam mendukung kearagaman hayati di daerahnya.

Data Gakum KLHK menyebutkan, sejak 2015-2019, telah menangani 260 kasus kejahatan tumbuhan dan satwa liar. Kasus ini, merupakan sepertiga dari jumlah kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang ditangani KLHK.

Roy, sapaan Rasio Sani, mengatakan, pada 2017-Juli 2019, aparat penegak hukum berhasil 536 operasi pengamanan dan penangkapan pelaku peredaran illegal satwa liar.

Dari kasus itu, 797 pelaku berhasil diamankan dan 380 pelaku telah dijatuhi vonis hakim berupa hukuman penjara dan denda. Sedangkan, 104 kasus lain masih dalam tahap penyidikan dan proses persidangan.

Berdasarkan tipe kejahatan, 163 dari 536 kasus merupakan perdagangan secara konvensional. 155 kasus penyelundupan satwa antar kota, provinsi hingga lintas negara. Sedangkan, perdagangan satwa liar ilegal secara online sebanyak 113 kasus.

 

Keterangan foto utama:    Lepas dari jerat. BKSDA Riau, telah menitipkan harimau ke Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dhamasraya. Ia diberi nama Inung Rio. Andai kondisi harimau tak mengkhawatirkan, BKSDA hendak melepas harimau di hutan semula karena memang habitatnya. Foto: BBKSDA Riau

 

Exit mobile version