Mongabay.co.id

Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Saban hari, pukul 10.00 WITA, saya ke tepi utara pantai Pulau Ambo. Di waktu itu, air laut mulai surut. Saya bahkan bisa berjalan 20 meter ke wilayah litoral, tanpa menggulung celana. Depan sana, kapal pengangkut daging hiu tengah sandar. Mereka menanti para pemancing hiu sejak beberapa hari lalu.

Jumat (19/7/2019) cuaca tengah cerah. Orang-orang Ambo kerap menyebutnya cuaca teduh.

“Saya sudah hampir 5 hari di sini, Pak,” peluh awak kapal asal Kabupaten Majene.

“Muatannya belum penuh kah?” tanyaku.

Iye, kemarin jelek cuaca. Baru kemarin Pa’rawe (pemancing hiu) bisa turun. Sudah tidak lama mi. Paling jam 11 sudah datang,” jawabnya.

Pulau Ambo, masuk di kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju. Sejak tahun 2004 masuk wilayah Provinsi Sulawesi Barat—sebelumnya Sulawesi Selatan. Umumnya, pria di sini berprofesi nelayan. Dari yang tangkap ikan kerapu hingga hiu. Berkapal kecil atau besar.

baca : Perdagangan Hiu : Ambiguitas Perlindungan di Indonesia (1)

 

Citra satelit Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Sumber : Satu Peta KKP/ESRI/Mongabay Indonesia

 

Penangkapan hiu di Pulau Ambo, sudah ada sejak lama dan sudah generasi kedua sekarang ini. Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar mencatat, 2.020 hiu—tanpa perlindungan—didaratkan sepanjang tahun 2018.

Seiring waktu, jumlah generasi pertama tinggal sedikit. Kini, mereka berusia lanjut dan tak lagi menangkap hiu.

Selama di Pulau Ambo, saya bermukim di rumah salah seorang generasi pertama, bersama dia, isteri, dan lima anaknya. Rumah panggung ini, dulu berdiri di tengah pulau, dan belasan rumah berdiri di depannya, tapi karena pesisirnya yang terkikis begitu parah, kini sudah berada di pinggir. Menatap arah barat.

Bila tiba puncak surut, bekas pondasi rumah tampak jelas berangkal, menyatu dengan pasir pantai dan karang.

Di depan rumah, meski terancam abrasi, lima rumah masih tertancap kokoh di pasir putih. Yang tersisa, salah satunya, milik generasi kedua pemburu hiu di Pulau Ambo.

Laporan Mongabay.co.id sebelumnya, saya menulis kisah Linus, 42. Dia, seorang pelintas dua generasi pemancing hiu di Pulau Ambo. Dari yang mulanya nebeng, hingga kini beroperasi mandiri bersama anggotanya.

baca juga : Rantai Dagang Hiu: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup (2)

 

Linus, nelayan penangkap hiu Pulau Ambo, Majene, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Hiu yang didaratkan di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Generasi Kedua

Siapa generasi pertama? Mereka adalah pengguna alat pancing dangkal (kedalaman 150 meter). Kelompok ini beroperasi sejak tahun 1970-an hingga 2004. Alat itu, oleh warga Ambo disebut ‘rawe tombak’ (Rawai dangkal). Mereka otodidak. Tak seorang pun yang mengajarinya.

Lalu siapa generasi kedua? Generasi ini dikenal sebagai pemakai ‘rawe butung’ atau long lines. Generasi kedua inilah yang hingga hari ini terus beroperasi.

Wilayah tangkap generasi pertama, hanya di sekitar pulau, di perairan dangkal, yang berjarak 14 mil. Generasi kedua berbeda. Mereka mesti mengarungi Selat Makassar dengan jarak tempuh 41 mil, sebelum membentangkan rawai.

Yang namanya perintis, tentu pula sebagai pelopor. Generasi ini yang kelak mengajarkan penerusnya, macam Linus.

Sampai 2004, penggunaan rawai dangkal mulai ditinggal. Tepat saat itu, penangkap hiu di Pulau Ambo kedatangan tamu istimewa. Tamu ini lah yang mengajari mereka dalam hal menggunakan rawai panjang.

“Orang ini dulu menangkap (hiu) juga di sekitar Pulau Ambo. Karena sukses kita lihat, kita minta ajar di mereka,” kata Linus.

Tamu itu datang dari daratan tenggara, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Orang-orang Ambo, memanggil mereka orang ‘Butung’. Itu kenapa kata Linus, rawai yang kini ia pakai diberi nama ‘rawe butung.’

Bertahun-tahun kemudian. Nelayan Mangihang —nama lokal untuk hiu–, mulai mahir. Orang Buton pun mulai tahu diri. Mereka, lalu pergi. Secara administrasi, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberi Wilayah Pengelolahan Perikanan (WPP) tersebut dengan kode 713.

“Karena kalau di sini kan tidak banyak tempatnya. Mereka pergi sendiri dan kami berterima kasih,” ujar Saiful, 38, generasi kedua nelayan mangihang.

menarik dibaca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Bayi Hiu yang mati. Di belakang, tubuh induknya tanpa kepala dan tanpa sirip. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Karena perburuan sudah berlangsung sejak lama, Hiu menjadi komoditas utama di Pulau Ambo, mengalahkan ikan tongkol dan kerapu merah. Bahkan, udang lobster. Berkat hiu pula, puluhan keluarga dapat hidup, anak-anak tidak putus sekolah, rumah terisi perabot, dan remaja tidak jadi pengangguran.

Di Pulau Ambo, saya banyak menemukan meja beralas bambu, yang digunakan sebagai tempat pengeringan sirip hiu. Dulu sekali, istri dan anak nelayan mangihang bertugas mengolah hiu. Namun, kini hanya sekadar menjemur sirip bila keadaan tengah terik.

Bila dirunut ke belakang. Kisah di Ambo sangat banyak. Singkat cerita, penemu pulau ini merupakan pencari suaka asal Sulawesi, yang kabur dari penjajahan Belanda hingga Nippon (Jepang).

Pulau seluas 10,6 hektare ini, sempat direbut suku Bajau, tetapi dihalang para nenek. Puluhan tahun kemudian, populasi manusia di Pulau Ambo makin padat. Sebagai konsekuensi, kebutuhan pangan meningkat.

Di pulau ini, sayur mayur mesti dipasok dari luar. Melintasi Selat Makassar selama 7 atau 8 jam. Kebiasaan bercocok tanam bukan keahlian orang-orang Ambo. Imbasnya, mereka harus mengirit persediaan pangan bila cuaca sedang ganas.

Hasil laut jadi sendi utama kehidupan di Pulau Ambo, meski sekarang kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Ambo mulai mencoba berkebun. Selain dijual, hasil tangkap juga jadi santapan hari-hari, kecuali hiu. Mereka, bukan konsumen hiu. Mereka hanya penangkap.

“Orang di sini tidak makan (hiu). Tapi kalau ada pembeli, ya otomatis kita tangkap,” kata Saiful.

baca juga : Perdagangan Hiu : Mitos Pembawa Rezeki dan Konservasi (4)

 

Hiu Macanber ukuran 3,2 meter, tangkapan nelayan Pulau Ambo. Foto :Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Jauh sebelum peradaban manusia mengenal agrikultur. Manusia mulanya pemburu-peramu di daratan. Manusia prasejarah yang bermukim di pesisir memanfaatkan hasil laut.

Beribu tahun kemudian. Suku-suku di Nusantara, seperti Bajau, Buton, Mandar, Bugis Makassar dan Madura menjadi pemangku kebudayaan maritim. Namun, belum ada bukti pasti, kapan awal mula orang-orang nusantara mulai memancing hiu.

“Menurut saya, penangkapan hiu (di Indonesia) karena pengaruh pasar dan konsumsi global dari Cina, yang suka mengonsumsi sup-sup, yang bahannya dari sirip hiu. Kemudian berkembang pada pamanfaatan minyak dan hati,” kata antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), Tasrifin Tarahan yang dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (24/7/2019).

Menurut Tasrifin, tradisi memburu hiu yang dilakukan orang Indonesia datang belakangan, meski ini sudah berlangsung ratusan tahun juga. “Iya. Dalam konteks perburuan secara masif dan sebagai sebuah sistem mata pencaharian setelah adanya permintaan pasar.”

Di rantai dagang hiu, kehadiran nelayan sangat penting. Meski begitu, mereka juga berada di jurang ketimpangan. Penghasilan mereka, tak seberapa, dibanding para pengusaha hiu.

Yah, begini mi hidup kita. Dulu waktu memancing hiu, lumayan” kata Rustam, perintis pemancing hiu di Pulau Ambo, sambil menyilahkan saya menyantap ikan goreng, masakan istrinya.

baca juga : Hiu Masih Saja Diburu, Mengapa?

 

Hiu macan tangkapan nelayan Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Pemburu Perintis Hiu

Eh, itu dulu masih 350 rupiah harga mesin kapal,” ujar Rustam berkali-kali. Mengingat kapan ia mulai memancing hiu.

“Masih Rp3000 per kilo sirip itu waktu.”

Rustam, kini tinggal bersama lima anaknya dan sang isteri. Ia lupa usianya. Mungkin sekitar 60 tahun, kata dia. Di masa tuanya hari ini, ia tak lagi melaut seperti saat dia masih berusia 20 tahun.

“Dulu itu saya pernah keliling ke Palu, terus ke Makassar, pakai kapal sendiri,” kata dia.

“Kenapa ki berhenti mancing hiu, pak?” tanyaku.

“Kalau pancing mangihang itu, butuh tenaga. Saya tidak sanggup lagi. Sudah tua,” jawabnya.

 

Hiu Lanjaman tanpa sirip di pesisir utara Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Sekitar tahun 1970, Rustam mulai mancing hiu, bersama kawannya, (alm.) Subaer. Kemudian berganti dengan Linus sampai tahun 2000-an.

Sebelum menggunakan rawai dangkal, Rustam awalnya pemancing ikan tongkol dan sunu gunting. Semua hasil tangkapnya, ia jual ke Makassar. Termasuk sirip hiu.

“Saya biasanya bawa (sirip hiu) di Pulau Barrang Lompo (Kepulauan Sangkarrang, Makassar). Ada orang Cina itu langgananku,” katanya.

Masa awal Rustam, permintaan pasar hanya sebatas sirip. Belasan tahun kemudian pesanan bertambah perasan minyak, daging dan hati hiu.

Karena jenis pancingnya, Rustam dan dua kawannya tak perlu melaut jauh hingga 41 mil. Ia hanya membelok moncong kapalnya ke arah timur dan menanti hiu yang hidup di perairan dangkal menggasak umpannya.

Taka’ atau arah Timur jadi tujuan Rustam. Kala itu, hiu yang ia pancing berukuran besar. Berkisar 3 hingga 7 meter.

“Kayak begitu perutnya, ada lebih besar lagi,” sahutnya sambil menunjuk drum besi.

Saya takjub mendengarnya, sekaligus membayangkan bagaimana Rustam dkk, memancingnya. “Wededeh, besar sekali. Siripnya saja digantung di bawah (tiang kolong, tinggi sekitar 130 cm) rumah sampai ke tanah,” ujarnya.

“Jadi bagaimana caranya dibawa ke darat, pak?” sela saya.

Aih, tidak dibawa kita. Jadi kalau sudah kita patto’ (jerat) kepalanya, langsung dipotong siripnya. Terus dibuang badannya. Maka itu mi juga dimakan sama teman-temannya. Tidak lama itu, pasti banyak mi mangihang,” Rustam menerangkan.

perlu dibaca : Penelitian: Perdagangan Sirip Marak, Seratus Juta Hiu Musnah Setiap Tahun

 

Rustam, Perintis penangkap hiu di Pulau Ambo, Mamuju, Sulbar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Alat pancing yang digunakan Rustam terbuat dari tali tambang dan memiliki satu mata pancing yang cukup besar. Panjang talinya bisa capai 100 meter ke bawah laut dengan jerigen yang dipasang di permukaan. Umpan yang ia gunakan ikan tongkol.

Tahun 1999, diakui Rustam, hiu sempat mengalami penurunan harga. Ia tak tahu, apa penyebabnya. Meski begitu, dia masih tetap memburu hiu. Per hari, Rustam dapat mengangkat hiu ke darat sebanyak 30 ekor, meski kadang tak membawa pulang seekor.

Saat aktif, Rustam kerap mendaratkan beberapa jenis hiu. Dengan sebutan lokal ia memaparkannya ke saya. “Hiu batu, hiu tinumbu, hiu mangali, kadang juga hiu pari,” kata dia.

Hiu batu (Carcharhinus melanopterus) lebih populer bernama hiu karang black tip. Sedang hiu tinumbu (Carcharhinus amblyrhynchoides) atau graceful shark merupakan predator yang dikenal lemah gemulai. Hiu mangali (Galeocerdo cuvier) adalah hiu macan. Dan hiu pari (Rhynchobatus australiae), ikan pari yang mirip hiu.

Sekian lama memancing, Rustam mengakui persediaan hiu di lokasi tangkapnya menipis. “Sudah habis mi di daerah Taka’ timur.”

Dharmadi, peneliti utama pada Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP) KKP, pernah mengamati fenomena masa awal pemburuan hiu.

Dia bilang, tahun 1980, permintaan pasar internasional akan sirip hiu mulai tinggi dibanding tahun 1970-an. Dari situ pula, perburuan terhadap hiu tidak terkendali, hingga puncak penangkapan terjadi pada tahun 2000. Saat itu, terjadi penurunan produksi hiu secara nasional. Satu penyebabnya, karena turunnya populasi.

“Populasinya. Karena hiu jadi target tangkapan (yang masif) di beberapa lokasi di Indonesia,” kata Dharmadi via pesan instan, Rabu (24/7/2019).

menarik dibaca : Menjaga Hiu Lanjaman dari Ancaman Kepunahan

 

 

Ikan hasil tangkapan nelayan kecil di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Berburu Hiu

Mengapa Rustam memburu hiu? Rustam menjawabnya santai, sembari tertawa.

“Gara-gara tidak dapat tongkol,” katanya.

Waktu itu, Rustam tak tahu bila hiu memiliki harga jual. Sebelumnya ia hanya menangkap tongkol. Setelah bertemu dengan pengusaha sirip hiu, baru lah ia tahu hiu bernilai ekonomis.

“Jadi kalau tidak ada tongkol kita dapat, pancing lagi hiu. Tapi, ada berapa tahun itu kita pancing terus hiu, kalau musimnya,” ujar Rustam.

Di masa tuanya, kini, Rustam masih memancing ikan dalam skala kecil. Sang putra, Wandi (18) yang menemani ayahnya memancing ikan. Tak perlu jauh kata Rustam. Paling sekitar 7 mil dari pulau Ambo.

Saban hari, sebelum ayam berkokok. Rustam dan putranya, keluar dari rumah menuju kapalnya yang ia sandarkan dekat pelabuhan Pulau Ambo. Menjelang Maghrib, Rustam baru kembali ke darat. Membawa ragam jenis ikan.

“Ikan batu seperti sunu gunting, kadang juga tongkol,” ujarnya.

“Cukup hasilnya untuk keluarga ta?” tanya saya.

Ya, dicukup-cukupkan saja,” jawabnya.

 

Seorang istri nelayan Pulau Ambo menjemur sirip hiu. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version