Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Tengger Hidup Berdamai dengan Alam

Wisatawan berramai-ramai naik ke puncak Gunung Bromo untuk melihat ritual larung sesaji ke dalam Kawah Bromo. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Ribuan masyarakat adat Tengger berkumpul di Pura Luhur Poten, lautan pasir Gunung Bromo, Dusun Cemoro Lawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, 18 Juli lalu. Hari itu, masyarakat bersama pemuka adat Tengger tengah menyiapkan upacara Yandya Kasada. Mereka mengenakan tutup kepala, dan berselimut kain sarung untuk mengusir hawa dingin.

Sebagian membakar ban atau arang untuk menghangatkan tubuh. Puncak upacara ritual Yadnya Kasada, berbarengan dengan cuaca ekstrem. Dini hari suhu mencapai minus tiga derajat celsius. Embun membeku dan menciptakan bunga es (frost). Masyarakat adat Tengger, telah lama bersahabat dengan suhu dingin.

“Sudah terbiasa. Ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, sudah biasa,” kata Sukarji, Kepala Desa Sedaeng, Kecamatan Tosari, Pasuruan.

Baca juga: Bromo Erupsi, Wisatawan Dilarang Masuk Radius Satu Km dari Kawah

Dia menyiapkan beragam perlengkapan dan makanan agar masyarakat terutama calon dukun tetap hangat. Ada minuman hangat, dan makanan untuk menjaga suhu tubuh.

“Calon dukun tak boleh kedinginan,” katanya.

Keempat calon dukun adalah Wagiri, Maridinto, Jais dan Indrianto. Mereka bakal menggantikan dukun Sukariono, yang meninggal dua tahun lalu.

Malam ini, saat paling ditunggu Masyarakat Sedaeng, lantaran keempat calon dukun tengah bakal mengikuti ujian japamantra. Kalau sang calon dukun kedinginan, khawatir menganggu konsentrasi mereka.

Baca juga : Ketika Warga “Menantang” Erupsi Bromo Saat Kasada (Bagian 1)

Ujian calon dukun sebelum upacara Yadnya Kasada, dipimpin Rama Pandita Supomo. Sebanyak tujuh calon dukun akan diuji japamantra dari tiga desa, yakni Sedaeng (Pasuruan), Ledokombo dan Gubuklakah, Poncokusumo (Kabupaten Malang). Mereka ini dari 37 desa adat Tengger, tersebar di Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang.

Setelah lulus ujian japamantra, ketiga dukun terpilih bakal jadi dukun adat untuk melaksanakan ritual adat di masing-masing desa. “Selama dua tahun resah. Tak ada dukun untuk acara adat. Malam ini, kami bahagia, besok sudah memiliki dukun. Ini yang kami tunggu-tunggu,” kata Sukarji.

Baca juga : Ritual Kasada, Ritual Selaras Alam Suku Tengger (Bagian 2)

Sesuai keyakinan masyarakat Tengger, pengukuhan dukun desa sebelum puncak ritual Yadnya Kasada. Tahun lalu, Sedaeng gagal mengukuhkan dukun desa lantaran bertepatan dengan tahun pahing, Menurut sesepuh, katanya, tahun pahing tak boleh memilih pemimpin adat.

“Selama dua tahun upacara adat, sementara dipimpin dukun dari desa tetangga terdekat,” katanya.

Dukun, berperan penting dalam adat dan keyakinan Hindu Dharma, setempat. Mulai upacara adat desa, pernikahan, dan mengatur sesaji, termasuk entas-entas yakni upacara adat untuk memperingati 1.000 hari kematian keluarga.

Calon dukun akan diuji japamantra, “mandarakulun.” Kalau ditulis, katanya, mantra itu bisa selembar kertas. Mereka meminjam kitab yang hanya dipegang Rama Pandita, dan menghafalkan. Setelah ada calon dukun lancar dan hafal japamantra, kepala desa mengusulkan kepada Rama Pandita, untuk mengikuti ujian.

Kadang, meski sebelumnya lancar dan hafal, saat ujian di Pura Luhur Poten, terhambat. Ada saja, calon dukun yang tak bisa mengucapkan japamantra secara lancar hingga gagal. “Kami meyakini, yang menguji Rama Pandita. Yang menentukan mbah buyut atau nenek moyang.”

 

Dukun adat Desa Tengger merapal doa ditemani anglo berisi kemenyan dan di antara bunga layu berisi sesaji yang akan dilarung di Kawah Gunung Bromo. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Tujuh dukun adat Tengger

Kamis, 18 Juli, Pura Luhur Poten penuh warga adat Tengger. Mereka membawa sejumlah bunga layu atau ongkek berisi aneka sesaji. Terdiri dari ayam goreng utuh atau ingkung, bubur, jadah, pasung dan pepes yang terbuat dari jagung. Ada juga aneka hasil bumi sayur mayur dan buah-buahan.

Bunga layu diletakkan berjajar di Pura Luhur, masing-masing dipimpin seorang dukun desa setempat. Bergantian mereka membakar kemenyan, dan dupa sembari merapal mantra. Aroma wangi dupa dan kemenyan menyeruak di Pura Luhur Poten. Para dukun memanjat doa, agar proses Yadnya Kasada yang bertepatan dengan bulan purnama berjalan lancar.

“Kami berharap, segera memiliki dukun sebagai pemangku adat, hajatan doa, pernikahan, selamatan desa dan nyewu untuk mengantar arwah ke nirwana,” kata Iswantoro, warga Sedaeng.

Rama Pandita Sutomo, tampil di podium. Dia duduk bersila. Bersafari putih, bawahan kain jarik khas Tengger dan pakai udeng khas adat Tengger. Rama Pandita atau ketua dukun Tengger, Sutomo, memulai dengan membaca sejarah Yadnya Kasada dalam bahasa Tengger. Dilanjutkan merapal mantra dan doa, serta pujastuti para dukun.

Lantas, Pandita Sutomo menguji para calon dukun dalam prosesi ritual Mulunen, yakni wisuda samkara atau upacara ujian sekaligus pengukuhan dukun baru. Hasilnya, ketujuh dukun lulus dan berhak jadi dukun desa setempat.

“Dua dukun keturunan, sisany, bukan keturunan dukun,” kata Sutomo.

Para dukun memanjat doa dan lanjut labuhan bersama ke Kawah Bromo. Bergantian, para dukun dan masyarakat Tengger memikul bunga layu berisi sesaji. Mereka berjalan beriringan dengan penerangan obor minyak. Bunga layu dilempar ke kawah, masyarakat yang tengah memiliki janji  juga melempar, seperti,  kambing, uang koin dan hasil pertanian ke kawah. Mereka berharap hasil pertanian mendatang makin baik dan hewan ternak sehat.

Sukaji, Kepala Desa Sedaeng, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, mengatakan, Bromo atau masyarakat menyebut Mbah Bromo, merupakan gunung aktif yang disakralkan umat Hindu Dharma setempat. Mereka rutin berkirim sesaji.

“Hasil kerja setahun, sisakan sebagian kirim ke Mbah Bromo,” katanya. Meski terjadi erupsi pada 28 Desember 2010, mereka tetap mengirim sesaji ke kawah Bromo. Para dukun yang berkomunikasi dengan alam gaib, penjaga Bromo, meminta agar dikirim sesaji.

“Selain Sang Hyang Widi disebut dalam setiap doa. Juga berkirim sesaji ke Mbah Bromo,” katanya.

Mereka berharap, kesejahteraan masyarakat meningkat, hasil pertanian dan ternak melimpah, serta terhindar dari hama penyakit.

Dua hari sebelum upacara Yadnya Kasada, mereka mengambil air di Sumber Widodaren. Sumber di dalam goa itu juga berfungsi sebagai tempat pemujaan. Air dari Widodaren dipercaya memiliki khasiat untuk obat tanaman.

Menurut legenda masyarakat Tengger, mereka adalah keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Pasangan ini tak memiliki anak setelah bertahun-tahun menikah. Keduanya, bertapa dan berdoa. Mereka berjanji mengorbankan salah satu anaknya untuk persembahan ke Kawah Bromo.

Akhirnya, mereka dianugerahi 25 anak, tetapi lupa dengan janji. Semua anak menolak dikorbankan. Si sulung, Jaya Kusuma bersedia dikorbankan menemui sang Dewa Brahma atau Bromo untuk melunasi janji kedua orangtuanya.

Jaya Kusuma menyampaikan, agar masyarakat keturunan Roro Anteng dan Joko Seger (Tengger) memberikan persembahan hasil bumi ke Kawah Bromo pada tanggal 14 bulan Kasada sesuai penanggalan Tengger.

 

Sejumlah masyarakat berebut sesaji yang dilarung ke kawah. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Utamakan keselamatan

Sarmin, Kepala Seksi Wilayah 1 Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS), menuturkan, masyarakat adat Tengger hidup dengan alam. Mereka tak bisa dipisahkan dengan alam. Termasuk upacara Yadnya Kasada, tetap dilakukan meski dalam cuaca ekstrem.

“Upacara adat larungan tetap dilakukan di Kawah Bromo. Dulu sampai ribut, petugas melarang tapi adat tetap harus dilakukan,” katanya.

Ritual adat bisa jalan, asal secara visual tak terjadi erupsi. Masyarakat adat Tengger, selain Yadnya Kasada, juga menggelar ritual adat rutin saban Jumat legi.

“Masyarakat menganggap paling afdol di kawah,” katanya.

Kalau terjadi erupsi harus dilarang, demi keamanan dan keselamatan. Mereka tak boleh mendekat di kawah yang berada di tinggian 2.329 m.dpl, seperti erupsi pada 2010.

Bagi pengunjung, dia berharap, kenakan pakaian tebal untuk mengantisipasi suhu dingin. Juga, kacamata dan masker untuk menghalau debu vulkanis dan debu di lautan pasir.

Sedangkan fenomena frost, katanya, bukan hal baru. Embun beku terjadi saat kemarau saban tahun. Masyarakat menyebut dengan embun upas lantaran embun membeku merusak sayur. Sayur menjadi kering dan mati.

Embun beku tersebar di padang sabana, lautan pasir, dan daerah berlembah sekitar Gunung Bromo. Jumlah pengunjung pada hari biasa antara 1.000 sampai 2.000. Saat akhir pekan mencapai 3.000-4.000 orang. Termasuk saat upacara Yadnya Kasada, pengunjung membludak sampai 4.000-an orang.

Demi keamanan dan keselamatan pengunjung, 100-an turun, juga melibatkan TNI, Polri, Dinas Kesehatan, BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), SAR dan relawan. Mereka bergilir, ditempatkan di sejumlah titik rawan antara lain bibir kawah Gunung Batok.

“Mereka bersiaga dalam kondisi darurat. Alhamdulillah, tak ada masalah selama Kasada,” katanya.

 

Panorama alam padang sabana di Taman Nasional Bromo Tengger Gunung Bromo. Foto: Eko Widoanto/ Mongabay Indonesia

 

 

Lestarikan alam dan adat Tengger

Timbul Prihanjoko, Wakil Bupati Probolinggo meminta, masyarakat mendukung dan menjaga alam sekitar. Panorama alam jadi salah satu daya tarik wisata di Bromo, selain ritual budaya seperti Yadnya Kasada. “Kini, Gunung Bromo layak jadi obyek wisata internasional,” katanya.

Semua pihak, katanya, diminta menjaga keamanan dan kenyaman serta kebersamaan mempromosikan wisata dan menjaga budaya dan adat Tengger.

Rama Pandita Sutomo juga mengukuhkan sejumlah pejabat sebagai sesepuh kehormatan adat Tengger. Harum dupa menguar, asap putih mengepul dari anglo. Rama Pandita Sutomo, merapal doa, memimpin ritual upacara pengukuhan sesepuh kehormatan. Doa dilafalkan dalam bahasa Tengger.

Para pejabat yang dikukuhkan sebagai sesepuh kehormatan adat Tegger, antara lain, Sekretaris Daerah Jawa Timur, Heru Cahyono; Dandim 0820 Probolinggo, Letnan Kolonel Imam Wibowo dan Kapolres Probolinggo AKBP Edwwi Kurniyanto. Juga, Kapolresta Probolinggo AKBP Alfian Nurrizal; dan Ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Probolinggo, Agus Ardian Agustriono. Upacara di pendapa Desa Ngadisari, Sukapura, Kabupaten Probolinggo.

Heru Cahyono bilang, sering mengendarai sepeda motor di Bromo. Ia mendaki sampai ke bibir Bromo. Bromo, katanya, memiliki alam indah dan adat budaya leluhur hingga harus tetap terjaga.

Kemajuan zaman, katanya, tak boleh mengubah kultur dan budaya setempat.

 

“Hutan harus terjaga. Jangan ada yang merusak.”

 

Keterangan foto utama:    Wisatawan berramai-ramai naik ke puncak Gunung Bromo untuk melihat ritual larung sesaji ke dalam Kawah Bromo. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version