Mongabay.co.id

Jelang Hari Masyarakat Adat Sedunia 2019, Bagaimana Kondisi di Indonesia?

Spanduk menuntut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit...Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Hari Masyarakat Adat Sedunia, jatuh pada 9 Agustus ini, yang bertepatan dengan 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Kondisi masyarakat adat di Indonesia, pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka masih jauh dari kata cukup. Pemerintah Indonesia, sebenarnya mulai berkomitmen memberikan pengakuan dan perlindungan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo –Jusuf Kalla, beberapa tahun lalu kali pertama dalam sejarah Indonesia, ada, menetapkan hutan adat. Sayangnya, hingga kini, penetapan hutan adat kurang dari 30.000 hektar. Belum lagi, RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat), hingga kini masih terkatung-katung. AMAN menilai, nasib masyarakat adat di Indonesia masih terpinggirkan secara politik sampai ekonomi hingga kini.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, lebih 20 tahun perjuangan AMAN sudah ada perubahan atas pengakuan hak masyarakat adat. Ada kemenangan-kemenangan patut dicatat, ada pencapaian dan penghargaan dari berbagai pihak baik daerah, nasional, regional dan internasional.

Namun, katanya, masih banyak tantangan harus masyarakat adat hadapi bersama, salah satu, agar hak mereka tak terpinggirkan secara politik dan ekonomi.

Pemerintah pun, katanya, belum menunjukkan komitmen serius buat menghadirkan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat. “Ini sebagai payung hukum mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat secara komprehensif,” katanya, dalam jumpa media persiapan memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia, di Jakarta, pekan lalu.

Rancangan UU Masyarakat Adat, jadi inisiatif DPR periode ini. Sudah pembahasan, tetapi tersendat di pemerintah yang tak jua mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Padahal, Presiden Joko Widodo, berulang kali mengingatkan jajarannya agar serius mendorong RUU Masyarakat Adat. Periode Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, RUU Masyarakat Adat juga jadi inisiatif DPR. Dalam pembahasan, Kementerian Kehutanan, kala itu juga minim komitmen hingga pengesahan tertunda.

Rukka bilang, tumpang tindih UU sektoral menyebabkan perlindungan hak-hak masyarakat adat belum maksimal dan perampaasan wilayah-wilayah adat berujung konflik masih terus terjadi. Terlebih, katanya, perkembangan pembangunan masih berorientasi pada peningkatan ekonomi makro juga mempengaruhi eksistensi, identitas dan ketahanan dari tatanan kehidupan masyarakat adat.

”Pengembalian wilayah adat pun masih terbatas hanya hutan adat, belum menyentuh pengembalian wilayah adat secara utuh,” katanya.

Padahal, pemerintah sedang gencar mencari cara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, katanya, salah satu cara efektif. Masyarakat adat, kata Rukka, sudah teruji menjadi penjaga hutan karena merupakan tempat hidup mereka.

Mina Susana Setra, dari AMAN mengatakan, selama 20 tahun gerakan masyarakat adat alami naik turun. ”Kami akui progres itu ada banyak. Tahun 1999, masih banyak konfrontasi masyarakat adat dengan perusahaan dan pemerintah,” katanya.

Harapan tertinggi komunitas adat, katanya, dengan pengesahan UU Masyarakat Adat. ”Ini yang mau kita dorong bersama, ini komitmen Jokowi (Presiden Joko Widodo-red) tahun pertama dan belum terwujud. Ini penting menjaga hak-hak masyarakat adat,” katanya.

Dengan ada UU, yang mampu melindungi masyarakat adat, proses pengakuan dia yakini bisa jadi lebih mudah.

Pengakuan masyarakat adat, kata Mina, sangatlah fundamental, kalau izin lain bisa dengan cepat kenapa masyarakat adat tidak bisa.

”Baru sekitar 29.000 hektar yang mendapatkan pengakuan, padahal merujuk peta kami ada 10 juta hektar. Progres lambat. Kami mau mendorong dan mengingatkan Presiden Jokowi untuk mempercepat proses ini saat akan dilantik.”

 

Menjaga hutan adalah menjaga kehidupan. Hutan adat seluas 9.453.53 hektar selalu dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

Sementara, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, sampai 15 Juli 2019, capaian luas pengakuan hutan adat 477.773, 78 hektar, terdiri dari 23.942 hektar sudah diakui dan 453.831,44 hektar ditetapkan sebagai wilayah indikatif fase pertama.

”Kini yang sudah ditetapkan 29.942 hektar. (Wilayah indikatif) itu memberikan ruang, sepanjang ada subyek dan obyek kita langsung menetapkan sebagai wilayah indikatif hutan adat. Artinya, tidak ada izin yang masuk kesitu, itu yang paling penting,” kata Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Senin (5/8/19).

Pengamanan wilayah ini, katanya, sambil menunggu persyaratan administrasi dari negara, seperti, peraturan daerah.

Untuk fase kedua, kata Bambang, sudah ada 101.293 hektar dicadangkan sebagai wilayah indikatif hutan adat. Ia tersebar di Aceh (69.140 hektar), Bali (30), Kalimantan Barat (9.650), Nusa Tenggara Timur (155), Papua Barat (2.554), Riau (18.862), dan Sulawesi Selatan (902 hektar).

 

 

Perkuat akar

Setelah, 20 tahun ini, harapan AMAN dapat membangun kesadaran sosial tentang hak-hak masyarakat adat lebih luas.

Mina, juga Ketua Panitia Himas mendesak, pemerintah segera mengambil langkah cepat merespon situasi masyarakat adat di Indonesia.

”Kita mau merefleksikan apa saja yang telah dialami dan dijalani dalam 20 tahun proses perjuangan masyarakat adat, baik yang sudah berhasil maupun belum,” katanya.

Dia berharap, Jokowi hadir sebagai kontribusi dan perwakilan negara membuka acara ini. Ia juga wujud negara hadir memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat.

Perayaan Himas ini akan berlangsung di Taman Ismail Marzuki, 9-11 Agustus dengan tema ”Meneguhkan Tekat, Memperkuat Akar, Mengedepankan Solusi.”

Melalui kegiatan ini, AMAN akan mempromosikan keragaman dan kekayaan budaya masyarakat adat, seperti keberagaman seni, melalui menenun, bengkel seni, memahat, dan aktivitas tato. Juga, keberagaman pangan melalui festival kuliner dengan bumbu-bumbu nusantara, dari berbagai daerah.

Selain itu, keragaman kehidupan masyarakat adat dihadirkan dalam pekan sinema masyarakat adat bekerja sama dengan Rekam Nusantara. Ada pameran foto, film, permainan tradisional, di mana keragaman hampir hilang dan kembali dihidupkan.

”Masyarakat adat ini jadi pondasi dalam keragaman budaya Indonesia. Kita akan mempromosikan keragaman budaya dengan mengedepankan toleransi antar suku dengan keragaman, hendak memperlihatkan jangan jadi intoleran,” katanya.

Tujuan perayaan 20 Tahun AMAN dan Himas 2019 ini, kata Mina, guna dialog dengan pemerintah tentang pelbagai perkembangan kebijakan terhadap masyarakat adat, mensosialisasikan gerakan masyarakat adat nusantara dan dunia kepada publik. Juga, membangun empati dan partisipasi publik untuk terlibat mempromosikan keragaman budaya masyarakat adat nusantara.

“Mendorong kesadaran akan perbedaan budaya dalam semangat Bhineka Tunggal Ika, dan mengajak publik menyaksikan serta belajar terlibat langsung dalam berbagai kegiatan dalam Festival Masyarakat Adat Nusantara,” katanya.

Mina bilang, perayaan ini akan melibatkan 1.500 orang dari perwakilan masyarakat adat dari berbagai wilayah nusantara, perwakilan masyarakat adat dunia, pemerintah pusat dan daerah, para pegiat seni, organisasi-organisasi pendukung dan mitra, sekolah adat dan lain-lain.

 

Keterangan foto utama:    Spanduk menentut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Karya cipta masyarakat adat, berupa kerajinan dari Kalimantan Tengah. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version