Mongabay.co.id

Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo : Antara Produksi dan Konservasi [2]

 

Nelayan di Pulau Ambo, kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat terkenal sebagai pemburu hiu. Sebelumnya hanya menangkap ikan tongkol dan kerapu. Penangkapan hiu di Pulau Ambo dan di Wilayah Pengelolahan Perikanan (WPP) 713, sekitar tahun 1970. Bahkan sudah ada generasi kedua nelayan penangkap hiu.

Berbagai jenis hiu yang ditangkap seperti Hiu batu atau hiu karang black tip (Carcharhinus melanopterus),  hiu tinumbu (Carcharhinus amblyrhynchoides) atau graceful shark, hiu mangali (Galeocerdo cuvier) adalah hiu macan, dan hiu pari (Rhynchobatus australiae).

Hiu atau mangihang dalam bahasa lokal Ambo marak ditangkap ketika mulai ada permintaan pasar, terutama permintaan ekspor ke Cina untuk bahan pembuatan sup, sirip, daging, hati dan minyak hiu. BPSPL Makassar mencatat, 2.020 hiu—tanpa perlindungan—didaratkan sepanjang tahun 2018.

Generasi pertama nelayan penangkap hiu dimulai tahun 1970-an hingga 2004 dengan menggunakan alat pancing dangkal (kedalaman 150 meter). Alat itu, oleh warga Ambo disebut ‘rawe tombak’ (Rawai dangkal). Sedangkan generasi kedua dikenal sebagai pemakai ‘rawe butung’ atau long lines. Generasi kedua inilah yang hingga hari ini terus beroperasi.

Wilayah tangkap generasi pertama, hanya di sekitar pulau, di perairan dangkal, yang berjarak 14 mil. Generasi kedua berbeda. Mereka mesti mengarungi Selat Makassar dengan jarak tempuh 41 mil, sebelum membentangkan rawai.

baca : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Hiu macan tangkapan nelayan Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Generasi ‘Rawe Butung’

Setelah pemancing hiu di Ambo mahir menggunakan rawe butung, mereka tak lagi menangkap di wilayah dangkal.

Siang itu pukul 14.00 WITA pada Jumat (19/7/2019), para pemancing mulai bersiap, meski 4 jam lalu mereka baru saja menginjak daratan. Persiapan telah matang. Umpan dan rawai telah siap. Pemancing mulai melaut. Arah utara pulau Ambo jadi tujuan.

Bagi pencinta hewan, nelayan penangkap hiu ini, mungkin dinilai sebagai manusia tanpa belas kasih. Namun, di mata isteri dan anak-anaknya, nelayan mangihang ini hanya laki-laki yang mencari nafkah dengan mempertaruhkan nyawanya di laut lepas sana.

Darsuddin (36), menangkap hiu sejak tahun 2015. Saat ini, dia bersama lima orang nelayan lainnya menggunakan kapal bernama ‘Pesisir’ menuju lokasi tangkap hiu. Pendapatannya, dapat menyambung pendidikan saudaranya hingga jenjang strata satu, dan menutupi kebutuhan keluarganya.

“Adeknya juga isteri, saya yang biayai kuliahnya,” kata Darsuddin saat ditemui di rumahnya.

Rumah Darsuddin, terancam abrasi. Letak dapurnya yang dibelakang, membuat dinding sengnya bocor terkena ombak pasang saat malam hari.

baca juga : Rantai Dagang Hiu: Dari Pembantaian Hingga Jadi Sup (2)

 

Darsuddin, generasi kedua nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Darsuddin, merupakan bekas nelayan harian. Dibanding pendapatannya saat masih tangkap tongkol atau sunu merah diakuinya, tak seberapa, ketimbang saat ia memancing hiu.

“Isteri saya ini yang bantu jemur sirip hiu. Biasa juga mertua,” katanya.

Papak Ripal, panggilannya di Pulau Ambo, menangkap hiu karena alasan ekonomi. Kebutuhan ekonominya cukup banyak. Selain kebutuhan sandang-pangan, anaknya, Ripaldi, Rifki, Refan, dan si bungsu Dela juga butuh biaya sekolah.

Pada awal memancing hiu, dia takut, karena baru pertama kali lihat hiu hidup. “Iya, takut. Apalagi itu mangali (hiu macan). Kan ganas dia,” akunya.

Darsuddin diajar pemancing hiu sebelumnya menggunakan rawe butung. Setelah handal, ia membeli alat pancing bekas nelayan tuna, seharga Rp3,5 juta. Handal bukan jaminan menangkap hiu berjalan mulus. Kadang kala, rawainya hanyut disabet kapal besar, atau putus.

Selama saya di Ambo, Darsuddin tidak membawa pulang hasil selama melaut dua hari. “Putus rawaiku,” katanya.

Rawe butung, dilengkapi 150 mata pancing. Rata-rata mata pancing menjuntai sedalam 16 depa (satu depa: dua jengkal) ke dalam laut. Panjangnya bila dibentang lurus, capai 6 mil. Bisa melilit Bundaran Hotel Indonesia beberapa kali.

Bedanya, rawai jenis ini dilengkapi kawat dan kili-kili (penyambung tali berbahan stainless steel) sebagai pembatas dan penguat mata pancing. Rawai ini, digunakan untuk menjerat hiu lanjaman, hiu macan, dan hiu korea I. Kadang, ikan marlin juga terjerat.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu : Pasar Memicu Kepunahan (3)

 

Seorang istri nelayan Pulau Ambo menjemur sirip hiu. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Solidaritas Nelayan

Selain mendulang rezeki. Tradisi memancing hiu membuat solidaritas orang-orang Ambo terbangun. Pemuda yang tuna karya dipekerjakan oleh pemilik kapal.

“Ini teman-teman tidak ada kerjanya kan. Kasihan. Istilahnya tidak ada kapalnya toh. Kan kalau tangkap hiu, bisa kerja sama-sama. Kalau memancing ikan biasa paling satu, dua orang toh. Kalau begini kan bisa enam orang satu kapal, istilahnya, saling membantu,” kata Saiful, nelayan lainnya di Pulau Ambo.

Pemilik kapal berjuluk Ramayana ini, merupakan bekas pemancing ikan sunu merah. Karena sadar penghasilan dari tangkap hiu lumayan, ia beralih menangkap hiu. Sejak awal 2018, ia mengoperasikan kapalnya dengan mengajak enam pemuda Ambo.

Kini, ia sudah punya tiga anak, Zakinah, Nurhaidah, dan Jabbar. Saiful berdarah Bugis Makassar. Ia bukan penduduk asli Pulau Ambo.

 

Saiful, generasi kedua penangkap hiu Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Tahun 1999, Saiful, masih bekerja awak kapal pengangkut ari beras. Muatan itu rencananya bakal dikirim ke Kalimantan. Namun, di tengah jalan mesin kapalnya macet. Ia terdampar berminggu-minggu di Makam Karang dekat Ambo.

Hari itu, bukan ajal Saiful. Rustam tak sengaja melintas dan melihat Saiful bersama dua rekannya. Ketiganya lalu dievakuasi. Sebulan lebih, Saiful membaik. Hingga akhirnya, ia mempersunting gadis Ambo dan menetap sampai sekarang.

Kini, Saiful masih aktif memancing hiu. Sebelum mahir membentangkan rawai butung, Saiful ikut di Linus. Dari pertemuan itu juga, Saiful tahu, menangkap hiu tak sekadar matapencarian untuk menyambung hidup.

“Sama dulu kayak Bapak Linus dengan Bapak Darsuddin, kalau tidak ada kapal dia panggil kita. Saling membantu. Itu dua (alasannya), istilahnya gabung sama orang yang tidak ada kasihan kapalnya,” kata Saiful.

perlu dibaca : Hiu Masih Saja Diburu, Mengapa?

 

Proses penimbangan hiu tangkapan nelayan sebelum diangkut pengumpul daging hiu di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Jumlah Penangkapan Hiu

Nelayan mangihang di Pulau Ambo tidak sembarang mendaratkan hiu. Bila hiu ukuran kecil terjerat, mereka bakal melepaskannya jika hidup. Bukan semata karena di pasaran tidak laku.

“Jadi kalau nanti sudah besar (hiu kecil yang dilepas) bisa hidup makan. Apalagi kalau itu itu betina kan bisa melahirkan. Jadi nanti banyak hiu yang bisa didapat,” kata Saiful.

Cara itu diakui oleh Darsuddin, Saiful, dan Linus sebagai upaya menjaga pasokan hiu di lokasi tangkap tetap ada.

Sekian lama, tak hanya di Ambo. Di Indonesia, pemburuan hiu dinilai sudah mengkhawatirkan. Organisasi Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (FAO) tahun 2018 mencatat, Indonesia memproduksi lebih 110.000 ton beberapa tahun belakangan.

Selama satu dekade (2000-2010) sebelumnya, Jaringan Pemantau Perdagangan Margasatwa Liar (TRAFFIC) menyebut, Indonesia menjadi salah pembunuh hiu terbesar di dunia. Sedang sebagai pengimpor produk hiu, Taiwan dicatat FAO berada di urutan puncak.

 

Pemotongan sirip dari hiu yang ditangkap oleh nelayan Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Di Wilayah Indonesia Timur, produk hiu sebanyak 189.102 kg dilalulintaskan dari tahun 2015 hingga 2018. BPSPL Makassar merinci 72.047 kg sirip hiu, produk olahan (minyak) 37,365 kg, daging beku 79,690 kg, serta 1.041 ekor hiu dan pari hidup dari berbagai jenis non-apendiks.

“Dari tahun 2015-2018, BPSPL Makassar sudah mengeluarkan sebanyak 375 surat rekomendasi hiu dan pari untuk dilalulintaskan oleh 49 perusahaan maupun perseorangan,” kata Kepala BPSPL Makassar Andry Indryasworo dalam berita Mongabay Indonesia sebelumnya.

“Untuk Sulawesi Selatan ada 20 perusahaan maupun perseorangan yang sudah teregistrasi dalam losarihapi.id (situs e-rekomendasi milik BPSPL Makassar),” tambah Andry.

perlu dibaca : Perdagangan Hiu : Mitos Pembawa Rezeki dan Konservasi (4)

 

Proses pembersihan isi perut hiu oleh nelayan di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Hiu

Dharmadi, peneliti utama pada Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM-KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan meski hiu yang diperdagangkan belum dilindungi penuh, justru menjadi tantangan pemerintah untuk mengatur pemanfaatan satwa laut yang terancam punah ini, agar tetap lestari.

Caranya, kata Dharmadi, yakni mengidentifikasi hiu yang didaratkan dan mendatanya secara lengkap. Selain itu, unit pemerintah terkait juga perlu melakukan pemetaan daerah tangkap. Itu untuk mengetahui, apakah di lokasi tangkap bukan lokasi asuhan atau kawin.

“Ini terkait dengan pengembangan MPA (Marine Protected Area),” kata Dharmadi saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (24/7/2019).

“(Pemetaan ini) untuk mengetahui, apakah daerah tangkapan hiu masuk wilayah yang dilindungi. Dikhawatirkan jika banyak hiu tertangkap berukuran besar. Ada yang berukuran matang kelamin atau gonad, tentu akan mengganggu proses penangkapannya di alam,” katanya.

“Dengan mempertimbangkan karakteristik biologinya, maka perlu ada aturan penangkapannya, misal mengurangi jumlah mata pancing atau mengurangi jumlah trip di laut,” lanjut Dharmadi.

Di hari ketiga di Pulau Ambo, saya melihat proses pendaratan hiu. Saat itu, Saiful memancing hiu macan jantan berukuran 3,2 meter. Selain itu, dia juga menjerat hiu biru betina yang tengah bunting. Ini pun ketahuan, ketika isi perutnya dibuka oleh anak kecil yang bermain di sekitar itu.

Dalam perutnya terdapat delapan anakan hiu. Lima diantaranya jantan. Delapan bayi itu rata-rata memiliki panjang 35 cm. Bila dilihat seksama, bayi hiu jenis itu berwarna ungu gelap dengan dominasi putih di bawah tubuhnya.

menarik dibaca : Menjaga Hiu Lanjaman dari Ancaman Kepunahan

 

Hiu Macan berukuran 3,2 meter, tangkapan nelayan Pulau Ambo. Foto :Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Banyak Hiu Bunting

Hamdana, enumerator BPSPL Makassar kepada Mongabay-Indonesia, Kamis (25/7/2019) menyebut, hiu bunting yang terjerat rawai sudah sering terjadi. Biasanya, hiu bunting yang didaratkan terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan setelahnya.

Meski begitu, Ranny Yuneni, Sharks and Ray Program Officer for Bycatch, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia mengatakan, untuk menentukan lokasi tersebut jadi MPA untuk hiu, perlu kajian ilmiah sebagai dasar aturan perlindungan.

“Harus ada justifikasi yang kuat mengatakan itu daerah asuhan (nursery ground). Di Pulau Ambo juga, kalau kita punya data perhari saja. Jadi harus diperkuat dari sisi science-nya juga. Jadi kalau naskah akademisnya yang bilang hiu ini merilis anaknya di situ, baru bisa dibuat perlindungan di situ. Data bisa dari enumerator dan observer,” kata Ranny saat dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis (25/7/2019).

Hiu bila ingin melepaskan anaknya, lanjut Ranny, mesti menjauh dari kelompoknya. Indukan hiu harus menuju perairan dangkal agar saat melahirkan, anak-anaknya tidak jadi santapan hiu lainnya.

Kadangkala, hiu yang ingin melahirkan terjerat rawai pemancing, saat induk hiu menuju perairan asuhannya. Baik tangkapan utama maupun by catch.

“Sebenarnya, miris juga kalau kita lihat hiu hamil (yang ditangakap dan) yang meninggal sama anak-anaknya. Mungkin saat tertangkap, hiu itu sedang menuju ke perairan dangkal,” kata Ranny.

Bila ada dasar kajian ilmiah suatu perairan merupakan daerah nursery ground hiu, lanjutnya, maka lokasi itu bisa menjadi daerah perlindungan (MPA) untuk hiu

menarik dibaca : Perdagangan Hiu Marak di TPI Brondong, Berikut Foto-fotonya

 

Deretan anakan hiu yang mati. Di belakangnya, tubuh induk hiu tanpa kepala dan tanpa sirip. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Ranny juga berpendapat, perdagangan hiu domestic maupun ekspor di Indonesia, belum didukung dengan dokumen asal-usul atau keterlacakan (traceability). Sehingga tidak diketahui hiu itu ditangkap dari perairan MPA atau bukan.

“Tangkapan hiu yang ada di Indonesia, kita tidak tahu ukuran dan jenis hiu hasil tangkapan, serta dalam kondisi hamil atau tidak. Kadang-kadang hiu yang kita makan, di hotel, restoran, ataupun yang diekspor, biasanya kita tidak tahu ini keterlacakannya,” katanya.

Itu semua, menurut Ranny, menjadi tantangan bagi pemerintah untuk melindungi populasi hiu di Indonesia.

Meski perdagangan ekspor hiu telah diawasi oleh KKP dengan baik, Ranny melihat pengaturan perdagangan hiu domestik belum ketat. “Untuk ekspor, jenis hiu sudah jelas (telah diteliti BPSPL KKP) bukan yang dilarang. Tetapi perdagangan hiu lokalnya harus didukung treacebility-nya, meski mungkin susah,” ujarnya.

Sementara itu, sosialisasi terhadap nelayan penangkap hiu di Pulau Ambo, diakui para nelayan sudah baik. Tahun 2018 lalu, BPSPL Makassar melakukan pertemuan di kota Mamuju, bersama nelayan, yang dihadiri Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) tingkat Kabupaten dan aparat hukum.

“Saya tahu hiu yang mana tidak boleh ditangkap. Pernah juga dulu sebelum ada Hamdana (BPSPL Makassar), kita pernah disosialisasi di Manggar (Balikpapan Timur, Kalimantan Timur), terus diberi poster)hiu-hiu yang dilindungi,” kata nelayan Darsuddin.

baca juga : Saat Hiu-Hiu itu Didaratkan di Pelabuhan Tanjung Luar

 

Poster hiu dan pari dilindungi yang dipasang di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

DKP Tidak Tahu

Arman Parakassi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulbar, mengaku tak tahu aktivitas perburuan hiu di Pulau Ambo. Ia berkilah, saat dirinya lawatan bersama Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar, aktivitas perdagangan hiu dianggapnya rumor.

“Samar-samar saya mendengarnya seperti itu. Kalau ada itu (benar), berarti saya baru dapat itu informasi dari kita’ (kamu). Kalau di Sulbar ini, teman-teman kita nelayan ini banyak fokus menangkap ikan tuna,” katanya saat ditemui di kantornya, Kamis (25/7/2019). “

Arman mengira penangkapan hiu dilarang di Indonesia. Dia menyayangkan bila satwa ini diburu dalam jumlah besar, karena hiu merupakan predator yang berfungsi mengendalikan ekosistem laut. Bila punah, ada mata rantai yang putus.

Selama ini, Arman mengklaim, pihaknya sudah menggalakkan gelar terpadu yang terintegrasi dengan aparat penegak hukum seperti Polisi Air dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), di wilayah perairan Sulbar.

“Jadi kalau terdapat pelanggaran, kewajiban kita untuk mengingatkan. Jadi sifatnya kita persuasif,” ujarnya.

 

Sirip hiu yang dijemur di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, KKP hanya melindungi satu spesies hiu secara penuh, yakni Hiu Paus (Rhincodon typus) lewat Keputusan Menteri KKP RI No.18/Kepmen-Kp/2013.

Selain hiu paus, lewat surat Edaran Direktur KKHL KLHK No.2078/PRL.5/X/2017, dan Permen KP No.30/2012 jo Permen KP No.26/2013 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP NRI, pemerintah melindungi hiu koboi, martil dan tikus, dengan pelarangan penangkapan dan ekspor.

Sementara itu, hiu lanjaman hingga sekarang belum dilindungi secara nasional. Beberapa waktu lalu, LIPI menyodorkan dokumen Non-Detrimental Findings (NDF) sebagai acuan mitigasi pengelolaan terhadap hiu lanjaman.

“Perlindungan khusus tentunya kami follow data dari Scientific Authority, yaitu LIPI,” kata Direktur Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, Brahmantya Satyamurti Poerwadi.

Brahmantya mengaku pengendalian pemanfaatan ikan yang masuk Apendiks CITES, menunggu keputusan dari Mahkamah Agung (MA) lewat Permen KP No.26/2018 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Hiu Koboi (Carcharhinus longimanus) dan Hiu Martil (Sphrrna spp.) dari Wilayah Negara RI ke Luar negara Wilayah Negara RI akan dilakukan.

Lewat Permen itu, pengaturan kuota tangkap akan dilakukan. Kuota tangkap yang direkomendasikan LIPI khusus hiu lanjaman adalah 80.000 ekor, sedang, hiu martil jenis Lewini 1.875 ekor dan Mokarran 195 ekor.

 

Sirip hiu yang dijemur hasil tangkapan nelayan di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Masa Depan Pemburu Hiu

Mendengar itu, Saiful merasa was-was. Dengan nada datar ia meluapkan perasaannya.

“Ya, kita ikut-ikut saja. Istilahnya sudah dibatasi. Mau di apa. Mau dimakan, tidak dimakan juga. Kalau sudah dibatasi, otomatis tidak dibeli, ya sesuai saja kita tangkap,” kata dia melemas.

Sementara Darsuddin, merasa bingung harus menangkap apa lagi bila kuota tangkap hiu lanjaman sudah berjalan. Sementara hiu jenis tersebut, kata dia, punya harga yang bagus di pasaran.

“Palingan pancing sunu. Itu lagi pasti tidak cukup, belum solar apa,” katanya.

Meski begitu, Dharmadi mengimbau nelayan penangkap hiu agar tidak was-was. Bila kuota tangkap berjalan menurutnya, tidak akan mempengaruhi pendapatan mereka.

“Jumlah jenis hiu kan lebih dari 100, jika hanya yang dilarang hiu lanjaman, saya kira nggak berpengaruh signifikan dengan pendapatan. Alternatif lain bisa diverifikasi usaha atau mengganti alat tangkapnya dan sasaran tangkapnya,” katanya.

 

Gigi rahang hiu macan berukuran 3,2 meter yang ditangkap di perairan Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala DKP Sulbar Arman mengatakan pihak DKP siap memberikan tangkapan alternatif bagi nelayan penangkap hiu, bila benar kalau kuota tangkap justru menurunkan penghasilan mereka.

“DKP akan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa regulasi ini pada prinsipnya adalah untuk mereka. Agar mereka punya ruang kehidupan, bagaimana memanfaatkan sumber daya ikan kita,” katanya.

“Tentu kita akan memberikan semacam pilihan-pilihan lain. Kita akan mengajak mereka untuk beralih menangkap selain hiu. Kita akan mencari tahu dulu potensinya. Jadi sifatnya bottom up. Dalam waktu dekat kita akan berkunjung ke sana untuk bertemu mereka,” tambah Arman.

 

Exit mobile version