Mongabay.co.id

Warga Gugat Pemerintah soal Polusi Udara Jakarta, Gubernur Keluarkan Instruksi

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Warga Jakarta, didampingi organisasi masyarakat sipil menggugat pemerintah pusat dan daerah atas pencemaran udara di Jakarta. Secara resmi, gugatan yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta). Ia terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Greenpeace Indonesia, Walhi dan Indonesian Center Environmental Law (ICEL) .

Para tergugat, yakni, presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Jakarta, Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

Dalam sidang pertama minggu lalu, sejumlah warga menyerahkan berkas gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka antara lain, Melanie Subono, artis cum aktivis lingkungan dan Ignatius Sandyawan Sumardi atau dikenal dengan Romo Sandy.

Baca juga: Laporan Ungkap Polusi Udara Jakarta Terburuk di Asia Tenggara

Argumen utama gugatan, karena udara Jakarta tercemar menyebabkan hak masyarakat mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat tak terpenuhi.

“Melalui gugatan warga negara ini penggugat berharap para pejabat dapat melaksanakan kewajiban mengendalikan pencemaran udara di Jakarta dan sekitar,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace.

Dia berharap, lembaga peradilan menjalankan fungsi dengan memerintahkan pejabat pemerintah yang lalai memenuhi kewajiban pengendalian pencemaran udara.

Indonesia, sudah punya standar kualitas udara nasional biasa disebut baku mutu udara ambien (BMUA) nasional diatur dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 41/1999. Baku mutu udara ambien Jakarta, mengatur standar lebih ketat dari baku mutu nasional untuk parameter pencemar ozon (O3), melalui Keputusan Gubernur Jakarta No 551/2001.

Baca juga: Kala Kualitas Udara Jakarta Buruk, Warga Gugat Pemerintah ke Pengadilan

Sayangnya, hasil pemantauan dari stasiun pemantau kualitas udara Dinas Lingkungan Hidup Jakarta, di lima titik–Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat—menunjukkan, konsentrasi ozon dan PM10 rata-rata tahunan melampaui baku mutu udara ambien Jakarta.

Bahkan, ia juga telah melampaui baku mutu yang direkomendasikan WHO untuk melindungi kesehatan.

Hasil pemantauan stasiun milik Keduataan Besar Amerika Serikat di dua titik juga menunjukkan, konsentrasi PM2,5 rata-rata tahunan sudah melampaui baku mutu udara ambien Jakarta.

Penggugat menilai, lima stasiun pemantau di Jakarta, masih belum memadai untuk memberikan informasi kualitas udara Jakarta.

Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) juga tergolong tidak efektif karena dalam ISPU merupakan hasil mengukuran 24 jam sebelumnya.

“Parameter PM2,5, juga tak dipantau dalam ISPU hingga pengambilan keputusan masyarakat berdasarkan pengetahuan salah atau tak akurat, baik mengenai kualitas udara di tempat tinggal maupun dampak terhadap kesehatan.”

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi Nasional, mengatakan, presiden dinilai lalai memenuhi hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Presiden, katanya, tak mengawasi kinerja para pejabat dalam pengendalian pencemaran udara dan tak merevisi baku mutu udara ambien nasional sebagai upaya peningkatan kualitas udara dan perlindungan kesehatan masyarakat.

Gugatan kepada Menteri LHK karena tak memberikan pembinaan atau bimbingan teknis kepada gubernur dalam penataan baku mutu emisi kendaraan bermotor lama.

Menteri juga dinilai tak menggunakan kewenangan untuk mengevaluasi penataan ambang batas emisi gas buang kendaraaan bermotor.

“Menteri LHK juga tak pernah mengumumkan hasil uji emisi sumber bergerak tipe baru untuk semua kategori kendaraan seperti yang diatur dalam Permen LH No 4/2009 Pasal 5 ayat 5.

Menteri Dalam Negeri dinilai, lalai mengawasi upaya pengendalian pencemaran udara oleh tiga gubernur.

Menteri Kesehatan, juga lalai memberikan informasi mengenai risiko kesehatan dan penurunan kesehatan masyarakat Jakarta karena pencemaran udara.

Gubernur Jakarta, digugat karena tak uji emisi kendaraan bermotor, tak menegakkan hukum industri besi dan baja, pulp dan kertas, pembangkit listrik termal dan industri semen yang tak mengoperasikan contious emission monitoring system (CEMS).

Gubernur Jakarta, juga dinilai lalai karena tak punya pejabat pengawas lingkungan yang mencukupi untuk mengawasi pencemaran udara dan ribuan industri di Jakarta. Juga tak tak punya sistem pemantau kualitas udara (SPKU) yang memadai.

 

Jakarta, kota dengan pencemaran udara tinggi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Gubernur Jakarta, katanya, tak menginventarisasi emisi dan tak menyusun strategi dan rencana aksi pemulihan udara. Koordinasi lemah dengan Gubernur Banten dan Jawa Barat, dalam mengendalikan pencemaran udara lintas batas juga jadi sorotan penggugat.

“Karena kelalaian ini, masyarakat menderita berbagai kerugian terutama penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara,” kata Sawung.

Paparan pencemaran udara, utama PM 2,5 punya hubungan sebab akibat dengan berbagai macam penyakit yang menyerang sistem organ tubuh manusia. Yang terparah bisa menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti kanker dan paru-paru.

Pencemaran ozon juga bisa menimbulkan masalah kesehatan seperti batuk, iritasi dan radang tenggorokan. Selain juga penyebab penurunan fungsi paru dan perusakan jaringan paru-paru hingga memperparah bronchitis, empisema dan asma.

Argumen ini dikuatkan dengan data jumlah penyakit dampak pencemaran udara meningkat dari 2010, total 5,3 juta kasus, naik 6,1 juta pada 2016.

Masyarakat Jakarta menanggung beban biaya besar, Rp38,5 triliun pada 2010 dan Rp51.2 triliun pada 2016 untuk pengobatan penyakit yang berhubungan dengan pencemaran udara.

 

 

Tuntutan warga

Dalam tuntutan, masyarakat meminta hakim menghukum presiden menerbitkan revisi PP No 41/1999 tentang pengendalian pencemaran udara, yang mengatur soal pengendalian pencemaran udara lintas batas provinsi.

Presiden juga diminta mengetatkan baku mutu udara ambien nasional untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan dan ekosistem termasuk kesehatan populasi sensitif berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menteri LHK diminta meyupervisi gubernur dalam inventarisasi emisi lintas batas provinsi. Mendagri harus pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah daerah dalam bidang lingkungan hidup terutama pengendalian pencemaran udara.

Mendagri juga dituntut, membina ketiga gubernur memperbaiki kinerja pengendalian pencemaran udara dan penegakan hukum lingkungan.

Menteri Kesehatan diminta menghitung penurunan dampak kesehatan karena pencemaran udara di ketiga provinsi. “Ini penting untuk dasar pertimbangan ketiga gubernur menyusun strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara di provinsi masing-masing,” katanya.

Gubernur Jakarta, katanya, dituntut mengawasi ketaatan tiap orang terhadap ketentuan peraturan perundangan bidang pengendalian pencemaran udara. Juga, ketentuan dokumen lingkungan hidup dengan menguji emisi berkala kendaraan tipe lama, mengevaluasi penataan ambang batas emisi gas buang kendaraan lama, menyusun rekapitulasi sumber pencemar tak bergerak dengan kegiatan mengeluarkan emisi.

Kemudian, kegiatan harus punya izin lingkungan dan izin pembuangan emisi dari Gubernur Jakarta, mengawasi spesifikasi bahan bakar yang ditetapkan dan mengawasi ketataan larangan membakar sampah di ruang terbuka yang bikin pencemaran udara.

Gubernur Banten dan Jawa Barat juga diminta menginventarisasi mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah di provinsi masing-masing.

Para gubernur, harus mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar di masing-masing provinsi ke provinsi lain secara koordinatif dan melibatkan partisipasi publik.

“Setiap daerah dinilai perlu menetapkan status mutu udara ambien daerah di provinsi masing-masing setiap tahun dan mengumumkan kepada masyarakat. Juga menyusun dan mengimplementasikan Strategi dan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran Udara di masing-masing provinsi.”

 

Aksi Greenpeace di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merespon laporan World Air Quality Report 2018 itu menyebut, udara Jakarta, terburuk di Asia Tenggara. Foto: Lusia Arumingtyas/ Jakarta Indonesia

 

 

Instruksi Gubernur Jakarta

Sidang pertama ditunda hingga 22 Agustus 2019 karena menurut hakim Saifuddin Zuhri, berkas gugatan perlu dilengkapi dengan surat kuasa dari salah satu penggugat. Perwakilan Gubernur Banten, juga tak hadir.

Hari sama Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan Instruksi Gubernur soal pengendalian kualitas udara. Anies mengutip data Dinas Lingkungan Hidup, sumber terbesar pencemaran udara adalah transportasi darat.

Dalam ingub Anies meminta Dinas Perhubungan Jakarta, memastikan tak ada lagi angkutan umum lebih 10 tahun dan tak lulus uji emisi, beroperasi di Jakarta. Peremajaan angkutan umum melalui program Jak Lingko dengan target pada 2020.

Anies juga meminta perluasan kebijakan ganjil-genap dan peningkatan tarif parkir untuk wilayah yang terlayani angkutan umum. Tak hanya kendaraan umum, kendaraan pribadi yang usia 10 tahun ke atas juga tak bisa lagi melintas di Jakarta. Uji emisi kendaraan pribadi juga diperketat mulai 2019.

“Uji emisi akan jadi syarat dalam pemberian izin operasional kendaraan pribadi,” kata Anies.

Anies mendorong peralihan moda transportasi umum dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki di Jakarta dengan percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki pada 25 ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke angkutan umum masal pada 2020.

Industri, wajib memasang alat monitoring nilai buangan asap industri dan pemasangan pengendalian kualitas udara pada cerobong industri. Pemprov akan inspeksi 1.150 cerobong industri di Jakarta.

Kemudian, pengoptimalan penghijauan pada sarana dan prasarana serta adopsi prinsip green building di seluruh gedung milik pemerintah provinsi dengan penerapan insentif dan disinsentif.

Instruksi juga menyebutkan soal, merintis peralihan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil dengan memasang solar panel di gedung sekolah, pemda dan failitas kesehatan lain.

Greenpeace mengapresiasi instruksi gubernur yang keluar bertepatan dengan sidang perdana gugatan warga polusi udara Jakarta pada 1 Agustus 2019.

“Ini menunjukkan respons dari Gubernur Jakarta mengenai polusi udara setelah mendapatkan banyak perhatian publik dan warganet,” kata Bondan.

Namun, katanya, ada beberapa hal perlu jadi perhatian terkait sejumlah langkah yang diambil Pemerintah Jakarta dalam mengatasi polusi udara.

Selain yang disebutkan dalam ingub, Greenpeace menilai gubernur perlu menginventarisasi emisi berkala sebagai dasar kajian ilmiah guna mengetahui sumber pencemaran udara Jakarta.

“Kita bisa mengendalikan polusi langsung pada sumbernya dan solusi yang diambil juga akan lebih sistematis dan terukur.”

 

Surya atap di Jakarta. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sediakan alat

Hal lain, katanya, Pemerintah Jakarta harus menyediakan alat ukur kualitas udara yang memadai hingga bisa mewakili luasan Jakarta dengan data mudah terakses publik. Juga perlu sistem peringatan agar masyarakat bisa mempersiapkan diri menghadapi kualitas udara buruk. “Seperti pakai masker saat beraktivitas di luar ruang dan tidak olahraga saat kualitas udara sedang tidak sehat.”

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus memperketat baku mutu udara ambien nasional yang sudah tidak diperbaharui selama 20 tahun.

Sebagai perbandingan, baku mutu udara ambien untuk konsentrasi PM2.5 per hari menurut standar nasional adalah 65 ug/m3, sedang menurut WHO 25 ug/m3. “Ini berarti, standar nasional masih tiga kali lipat lebih lemah dibandingkan standar WHO.”

Gubernur Jakarta, katanya, memiliki kewenangan menentukan standar baku mutu udara yang lebih baik dibandingkan standar nasional.

“Sebagai ibu kota negara, Jakarta harus memiliki standar kualitas udara yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain.”

Pada ingub itu, Anies juga menyebutkan, penanganan polusi tidak bisa hanya dilakukan oleh pihak tertentu. “Perlu dukungan dan kerja sama dengan wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Jakarta, seperti Banten dan Jawa Barat, untuk merumuskan solusi bersama. Pemerintah Banten dan Jawa Barat, juga harus segera merespon masalah pencemaran udara ini,” kata Bondan.

Untuk poin peralihan energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai instruksi ini sejalan dengan rekomendasi IESR dalam laporan IESR soal potensi solar atap di Jakarta.

“Jakarta punya potensi listrik surya cukup besar,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,. Estimasi potensi teknis oleh IESR untuk 19 gedung pemerintah di Jakarta, 17 rumah sakit pusat dan daerah, serta dua universitas, menunjukkan, total potensi solar atap hingga 9,5 Megawatt-peak (MWp). Jumlah ini, katanya, belum memasukkan Kantor Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Jakfire) yang baru saja memasang 300 kWp solar atap.

“Potensi ini juga akan lebih besar bila mencakup semua fasilitas pelayanan publik dan pemerintah di lingkup Pemprov Jakarta, termasuk mal-mal besar di Jakarta,” kata Fabby.

 

Instruksi Gubernur soal pengendalian kualitas udara

 

Keterangan foto utama:  Kendaraan bermotor di Jakarta, yang terus bertambah, jadi kontributor besar dalam pencemaran udara di ibukota negara ini. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

Ajang jalur bebas kendaraan bermotor di Sudirman-Thamrin, Jakarta. Kegiatan ini lumayan bisa mengurangi polusi udara di sekitar selama CFD, tetapi belum bisa jadi pembawa pesan efektif mengenai pengurangan penggunaan kendaraan bermotor. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version