Mongabay.co.id

Semua Alat Penangkapan Ikan di Kapal Nelayan Harus Ramah Lingkungan

 

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong pergantian alat penangkapan ikan (API) milik nelayan tradisional terus dijalankan dalam lima tahun terakhir. Untuk tahun ini saja, sejak awal Januari hingga sekarang, sudah ada 102 kapal ikan milik nelayan tradisional Indonesia yang mengganti API yang merusak lingkungan ke API yang ramah lingkungan.

Kabar tersebut diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Suherman di Jakarta, awal pekan ini. Seluruh nelayan yang menjadi pemilik kapal, mau mengganti API tanpa ada paksaaan dari Pemerintah atau pihak lain.

Proses yang sudah dilaksanakan oleh para pemilik kapal, kata Agus, menjadi bagian dari komitmen Negara untuk mendorong semua pihak ikut mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Untuk itu, dia berharap kapal-kapal lain yang belum mengganti API yang ramah lingkungan, bisa segera mengikuti jejak 102 kapal tersebut.

“Upaya tersebut dilakukan dengan pengawasan terhadap kapal-kapal nelayan Indonesia yang beroperasi menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang tidak ramah lingkungan dan merusak,” ungkapnya.

Agus menjelaskan, dalam proses pergantian API milik 102 kapal, pihaknya menggantinya dari alat tangkap merusak lingkungan seperti trawl ke alat tangkap yang ramah lingkungan seperti jaring gillnet atau pancing rawai. Dalam proses pengawasan tersebut, Pemerintah melibatkan sejumlah jenis kapal pengawas perikanan (KP) di beberapa lokasi.

Kapal-kapal pengawas tersebut, menurut Agus, ada yang berlayar di perairan Lampung Timur (Lampung), Banten, Karawang (Jawa Barat), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Belawan dan Sibolga (Sumatera Utara), Batam (Kepulauan Riau), Bangka Belitung, Derawan (Kalimantan Timur), Bone (Sulawesi Selatan), dan Bitung (Sulawesi Utara).

baca : Polemik Alat Tangkap Ikan, Negara Diragukan untuk Jaga Laut Lestari?

 

Penyerahan alat tangkap ikan (jaring) yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan tradisional. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Ramah Lingkungan

Seluruh kapal pengawas tersebut, dalam prosesnya kemudian melakukan pemantauan kapal-kapal yang sedang berlayar di perairan yang sedang dilewati. Kapal-kapal milik nelayan tersebut kemudian diberhentikan dan diperiksa API yang mereka pakai untuk menangkap ikan. Kemudian, jika ditemukan ada API yang tidak ramah lingkungan, maka pemilik kapal diberikan pemahaman tentang dampak buruk dari penggunaan API tersebut.

“Hasilnya, kapal-kapal tersebut kemudian secara sukarela mengganti API yang ramah lingkungan dan sesuai ketentuan,” jelasnya.

Penyadartahuan tentang bahaya penggunaan API tidak ramah lingkungan, menurut Agus, juga dilakukan kepada nakhoda kapal yang sedang mengemudikan kapal milik nelayan. Setelah pemberitahuan, akhirnya ada kapal yang dengan sukarela untuk langsung mengganti API dan menyerahkan API lama kepada petugas dari kapal pengawas yang sedang beroperasi.

Proses pergantian API lama ke API yang baru, dilakukan dengan menyertakan surat pernyataan yang ditandatangani oleh petugas KP dan juga pemilik kapal. Selain itu, pemilik kapal juga kemudian melengkapi dokumen administrasi yang disyaratkan untuk proses pergantian API. Selanjutnya, pemilik kapal bisa meneruskan aktivitas menangkap ikan.

Agus melanjutkan, apa yang sudah dilakukan kapal pengawas menjadi bagian dari upaya Negara melalui KKP untuk melaksanakan pengawasan terhadap kapal-kapal nelayan Indonesia dan melakukan pendekatan secara persuasif kepada mereka untuk melaksanakan pergantian API yang sebelumnya tidak ramah lingkungan menjadi API yang ramah terhadap lingkungan.

Menurut Agus, iktikad baik Negara untuk menjaga kelestarian ekosistem laut dan keberlanjutan sumber daya ikan (sustainability) perlu didukung oleh banyak pihak, terutama para pemegang kepentingan pada sektor kelautan dan perikanan. Selain itu, upaya yang sedang dilakukan tersebut menjadi bagian dari penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Dalam Permen tersebut, diatur tentang API yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan dan apa bila dioperasikan akan mengancam kepunahan biota lautan mengakibatkan kehancuran habitat biota laut, serta membahayakan keselamatan penggunanya. API yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan tersebut dilarang dioperasikan pada semua jalur penangkapan ikan di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

baca juga : Pembagian Alat Tangkap Ikan Berkejaran dengan Waktu, Seperti Apa?

 

Penyerahan alat tangkap ikan (jaring) yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan tradisional. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

API Hantu

Tentang API, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman juga memiliki perhatian yang sama besarnya. Bekerja sama dengan lembaga pangan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Kemenkomar menyusun regulasi pengelolaan alat tangkap yang telah ditinggalkan oleh nelayan di tengah laut atau biasa disebut sebagai alat tangkap hantu (ghost gear).

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenkomar Basilio Dias Araujo mengatakan, Pemerintah Indonesia mau berkomitmen untuk mengelola alat tangkap hantu, karena itu juga bersinggungan langsung dengan komitmen Negara untuk membersihkan sampah dari lautan. Alat tangkap sampah atau lost or otherwise discarded fishing gear (ALDFG) biasanya dibuat dari material plastik.

“Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik laut hingga 70 persen pada 2025 dan ALDFG adalah salah satunya,” ucapnya di Jakarta, dua pekan lalu.

Basilio menjelaskan, sebagai alat tangkap yang sudah tidak dipakai dan terbuat dari material plastik, keberadaannya otomatis menjadi sampah di laut. Tak hanya itu, keberadaan ALDFG di perairan Indonesia juga jumlahnya tidak sedikit dan selain itu juga materialnya yang terbuat dari plastik bisa menyebabkan munculnya dampak negatif di laut.

Menurut Basilio, keberadan ALDFG di lautan memberikan dampak yang sangat luas kepada ekosistem laut, sumber daya perikanan, dan masyarakat pesisir. Selain itu, ALDFG juga bisa menjerat spesies target maupun non-target (ghost fishing) dan membunuh hewan-hewan laut, termasuk ke dalamnya adalah spesies yang dilindungi.

“Dan (juga) spesies ikan yang bernilai komersial tinggi,” tambahnya.

Khusus untuk ALDFG yang jatuh sampai ke dasar laut, Basilio menyebutkan kalau itu akan membahayakan terumbu karang dan merusak kawasan dasar laut. Di sisi lain, ALDFG yang mengambang di permukaan laut, juga tak kalah berbahayanya karena bisa membahayakan manusia dan kapal-kapal yang sedang berlayar. Selain itu, ALDFG yang terbawa arus juga bisa mengotori kawasan pesisir dengan material sampah plastik.

perlu dibaca : Susi : Cantrang Itu, Sekali Tangkap Bisa Buang Banyak Sumber Daya Ikan

 

Penyerahan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan oleh nelayan tradisional. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Mengingat banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari ALDFG, Basilio berharap kalau rencana pengelolaan ALDFG bisa mendukung implementasi rencana aksi mengenai penanganan sampah laut ditingkat nasional maupun regional. Untuk itu, dalam melaksanakan penanganan ALDFG, perlu dilaukan secara sistematis, terukur, dan terintegrasi.

Secara teknis, Basilio menyebutkan, Pemerintah RI yang diwakili oleh KKP, Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), FAO, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan menyusun draf petunjuk penanganan ALDFG berdasarkan pengalaman yang sudah dilakukan oleh berbagai negara.

“Dari situ, kemudian akan dijadikan bahan masukan ke FAO atau sumber rujukan bagi negara lain,” ungkapnya.

Sementara, Kepala Subdit Restorasi KKP Sapta Putra Ginting menambahkan, KKP sebelumnya sudah membuat proyek percontohan untuk menangani ALDFG bekerja sama dengan Global Gear Initiative. Proyek tersebut sudah dimulai sejak 2017 dan dilaksanakan di Sadang, Jawa Tengah dengan fokus pada penelitian untuk pemanfaaatan ALDFG melalui skema ekonomi sirkular (circular economy).

 

Exit mobile version