Mongabay.co.id

Tangkuban Parahu, Bukan Hanya Letusan Freatik yang Ditakuti

 

 

Baca: Erupsi Tangkuban Parahu, Pesona Gunung Api yang Patut Diwaspadai

**

Menunggu, membuat Lilis, warga Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, serba salah. Hampir sepekan, pedagang makanan ini tak berpenghasilan pascaerupsi Tangkuban Parahu, Jumat [26/7/2019] lalu.

Kabar baik, lokasi wisata ini dibuka kembali, tiga hari setelah letusan freatik itu. Legitnya potensi ekonomi menjadi andalan masyarakat sekitar. Ribuan wisatawan yang berkunjung setiap hari ke gunung berketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut ini, menghidupi sekitar 1.200 pedagang.

“Agar dapat penghasilan, saya harus berjualan lagi,” kata Lilis yang membersihkan lapaknya dekat Kawah Ratu, Kamis [1/8/2019].

Lilis menyimpan cemas. Ia mengaku tak tahu apa yang harus dilakukan bila erupsi kembali terjadi. Ketidakpahaman yang juga diamini Hendrik, warga Cikole, Kabupaten Bandung Barat. Ia tersadar sejak menyaksikan langsung, panik dan kacaunya suasana, saat erupsi berlangsung.

“Jualan ditinggal semua, orang-orang berhamburan. Mata perih akibat abu, sesak nafas juga,” tuturnya.

 

Tangkuban Parahu setelah erupsi yang terjadi Jumat [26/7/2019] lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tangkuban Parahu kembali bergejolak, Kamis malam, 1 Agustus 2019. Berdasarkan informasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi [PVMBG] dari Pos Pengamatan Gunung Api Tangkuban Parahu, erupsi terjadi pukul 20.46 WIB.

Menurut catatan PVMBG, tinggi kolom abu yang teramati mencapai 180 meter dari dasar kawah. Erupsi ini tertera di seismogram dengan amplitudo mencapai 50 mm, durasi 11 menit 23 detik. Lebih lama lima menit dari erupsi Jumat pekan lalu.

Esoknya, pukul 00:43 WIB dini hari, PVMBG kembali mencatat erupsi. Amplitudo di atas 50 milimeter, durasi 3 menit 6 detik.

“Karena ada peningkatan ancaman, hari ini [2/8/2019] mulai jam 8 pagi, Tangkuban Parahu naik status dari level 1 Normal menjadi level 2 Waspada,” kata Kepala PVMBG Kasbani dalam jumpa pers di Ruang Monitoring PVMBG, Kota Bandung. PVMBG merekomendasikan, masyarakat tidak mendekat dalam radius 1.500 meter dari pusat kawah.

 

Abu hasil letusan menutupi areal Tangkuban Parahu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tiga hari sebelumnya, Gubenur Jawa Barat Ridwan Kamil menggelar rapat terbuka bersama Badan Geologi, pemerintah daerah, pengelola Tangkuban Parahu dan intansi terkait khusus membahas gunung api terpopuler di Jawa Barat ini. Gubernur minta pertimbangan berbagai pihak sebagai rekomendasi pembukaan kembali

“Wisata Tangkuban Parahu di Jawa Barat, rekomendasinya ada di kami. Silahkan dibuka, tetapi kami minta perbaikan sistem dan rute evakuasi, beserta aspek keselamatan pengujung yang belum ada,” katanya. Ridwan Kamil juga meminta pengelola Taman Wisata Alam [TWA] Tangkuban Parahu taat peringatan PVMBG.

 

Perbaikan sistem dan rute evakuasi, beserta aspek keselamatan pengujung harus disiapkan di wilayah wisata ini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Freatik dan magmatik

Secara historis, erupsi gunung yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang ini berupa fase freatik dalam 200 tahun terakhir. Amukannya didominasi gas, uap air, lontaran lumpur, dan abu.

Vulkanolog Institut Teknologi Bandung, Asep Saepuloh, berpadangan, freatik pun merupakan ancaman. Meski, kondisinya tak seperti letusan gunung api umumnya, mengeluarkan magma atau didahului kegempaan.

Menurut Asep, freatik merupakan letusan didorong panas magma yang berinteraksi dengan air. Air berasal dari air tanah atau sistem hidrotermal. Mengingat, kawasan vulkanik gunung api sangat subur dan kaya air. Munculnya erupsi freatik susah diprediksi.

“Di Tangkuban Parahu, erupsi freatik wajar terjadi di musim hujan karena cadangan airnya banyak. Tetapi kali ini saat kemarau. Pertanyaannya adalah apakah freatik dipicu uap air saja atau ada sesuatu?,” ujar Asep kepada Mongabay Indonesia baru-baru ini.

“Saat kemarau, kandungan air menipis. Di beberapa daerah, air muka tanah turun. Saya khawatir ada panas yang naik meski itu bukan magma. Ini perlu diteliti lebih rinci.”

 

Erupsi Gunung Tangkuban Parahu berupa freatik dalam 200 tahun terakhir. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Asep bilang, bentang alam di Tangkuban Parahu menyimpan potensi bencana besar. Hal ini dikarenakan gunung api berhubungan erat dengan bangun tubuh, bentuk kawah dan mekanisme letusan.

Tangkuban Parahu lahir dari kaldera Gunung Sunda, akibat letusan besar sekitar 105.000 tahun silam. Letusan dahsyatnya menghasilkan endapan awan panas dengan volume jutaan kubik, menutupi area lebih dari 200 kilometer persegi.

Pascaletusan itu, Tangkuban Parahu tumbuh dalam Kaldera Sunda, 90.000 tahun silam. Bentuknya kerucut lancip, terdiri endapan awan panas dan aliran lava. Hasil letusan eksplosif dan efusif.

Kerucut berkembang menjadi gunung api stratovolcano. Gunung api ini ditemukan pada zona subduksi tektonik. Geolog Belanda RW Van Bemmelen, memprediksi tinggi stratovolcano Gunung Sunda pernah mencapai 3.300 meter di atas permukaan laut.

“Tangkuban Parahu termasuk gunung muda yang juga jenis stratovolcano, dampak letusannya perlu diwaspadai,” kata Asep. Stratovolcano dikenal sebagai gunung api komposit atau gunung berapi yang dibangun banyak lapisan [strata] dari lava mengeras, tephra, dan abu vulkanik. Letusannya perselingan piroklatsik [gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan] juga lava.

 

Tangkuban Parahu lahir dari kaldera Gunung Sunda yang meletus pada 105.000 tahun silam. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejarah mencatat, letusan pertama pada 1829 berupa emisi debu, lalu 1956 yang didahului freatik kemudian magmatik. Gunung yang kawahnya dapat dilihat mata telanjang ini terus membangun tubuhnya sekitar 12 milimeter per tahun.

Lebih Asep menyebut, sejarah geologi bisa berulang. Letusan freatik disusul magmatik. Masalahnya adalah periodesasi letusan Tangkuban Parahu yang belum diketahui hingga saat ini. “Setelah letusan magmatik 1952, freatik lebih sering terjadi. Namun, freatik disusul magmatik mungkin sekali terjadi. Kaldera Sunda terbentuk oleh freatomagmatik,” ujarnya.

Semakin tenang suatu daerah terhadap erupsi, harus semakin waspada. Semakin lama tidak terjadi letusan, semakin besar magma yang terakumulasi. Seandainya Tangkuban Parahu meletus, sangat mungkin mengaktifkan gunung lain.

Asep mencontohkan, gunung di sekitar Tangkuban Parahu seperti Burangrang dan Bukit Tunggul merupakan komplek vulkanik Gunung Sunda yang tercatat aktif sejak 600.000 tahun lalu. Terlebih, di Jawa Barat terutama Bandung, banyak gunung api fase tidur.

Kekhawatiran lain adalah gempa vulkanik besar bisa memicu pergerakan Sesar Lembang, sepanjang 22 kilometer dari utara ke selatan. Keberadaan sesar ini mulai diperhitungkan. “Selain sebagai media rambat gelombang gempa bumi dari sesar-sesar aktif lain di Jawa Barat, Sesar Lembang dapat menjadi sumber gempa itu sendiri.”

 

Letusan Tankuban Parahu berupa gas, uap air, lumpur, dan abu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sesar Lembang

Berdasarkan hasil penelitian berkala, dosen yang sempat mengenyam pendidikan di Kumamoto University Jepang ini mengatakan, secara teoritis vulkanik dan tektonik berkerja sendiri-sendiri. Gempa vulkanik bersumber magma sedangkan tektonik dipengaruhi tumbukan lempeng besar. Umumnya, di Indonesia ada tiga lempeng bumi di dasar laut, yakni Indoaustralia, Eurasia, dan Pasifik.

Asep menuturkan meski independen, keduanya bisa berinteraksi. Selain itu gunung api yang lama tidak aktif, akan aktif ketika ada guncangan tektonik. Sebaliknya, gunung api aktif berpotensi membangkitkan tektonik di sekitar lanskapnya.

Ia menduga jarak Sesar atau Patahan Lembang dengan Tangkuban Parahu sekitar 5 kilometer. Sejauh ini, belum ada penelitian mendalam apakah letusan freatik berpengaruh terhadap Sesar Lembang. Tetapi, Asep menegaskan masyarakat wajib paham pontesi becana. Mengingat hidup di atas gunung api.

“Ancaman gunung api tidak bisa dikurangi tapi resikonya bisa diminimalisir,” katanya.

Asep menuturkan, hasil pengamatan di area Tangkuban Parahu yaitu arah selatan Bandung dan utara Subang. Hasilnya, kepedulian masyarakat minim, dikarenakan mereka belum pernah mengalami erupsi besar sehingga merasa aman. Terkesan tidak peduli.

“Evakuasi titik aman itu penting. Potensi bahaya gunung api disampaikan bukan untuk menakuti, tapi meningkatkan kewaspadaan,” paparnya.

 

Sejauh ini, belum ada penelitian mendalam apakah letusan freatik Tangkuban Parahu berpengaruh terhadap Sesar Lembang. Masyarakat harus paham potensi bencana yang ada. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Gunung Api PVMBG, Mamay Sumaryadi, menuturkan, peta kerawanan bencana yang dirancang PVMBG dibuat berdasarkan kondisi terburuk. Di dalamnya terdapat rekomendasi zona-zona rawan. Di sisi lain, peta itu juga memuat sejumlah zona teraman untuk evakuasi ketika terjadi bencana, misal erupsi gunung api.

PVMBG juga telah menyebarluaskan peta ke tiap daerah di Indonesia. Tujuannya, memberi masukan tata ruang wilayah. “Yang menjadi masalah, konsep tata ruang di Indonesia terutama daerah rawan bencana, belum mengakomodir konsep kebencanaan,” paparnya.

 

 

Exit mobile version