Mongabay.co.id

Pengakuan dan Perlindungan bagi Masyarakat Adat Belum Utuh

Dalam perayaan 20 tahun AMAN dan Hari Masyarakat Adat Internasional ini, AMAN menyerahkan secara simbolis peta wilayah adat meliputi 893 komunitas, seluas 10,56 juta hektar, kepada pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sembilan Agustus 2019, masysrakat adat dari berbagai penjuru negeri berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ada juga perwakilan masyarakat adat dari beberapa negara hadir, seperti dari Amerika latin, Asia Pasifik, Amerika Utara dan Rusia.

Beragam hal tersaji. Dari berbagai produk kerajinan, hasil panen, masakan nusantara, sampai beragam seni budaya. Ya, hari itu, bertepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), sekaligus 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan cita–cita luhur pendiri AMAN untuk pengakuan hak konstitusional masyarakat adat secara utuh masih belum sepenuhnya tercapai.

“Sampai saat ini, negara masih melihat masyarakat adat sebagai ancaman,” katanya, kala memberi sambutan kemarin.

Rukka bilang, kondisi ini terlihat dari belum ada pengesahan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat dan belum pengakuan wilayah/hutan adat dalam satu peta Indonesia.

“RUU Masyarakat Adat belum disahkan. Kabar terakhir, RUU masih ditahan di Menko Polhukam,” katanya. Pandangan pemerintah saat ini, katanya, tak beda jauh dengan sebelumnya.

Rukka mengenang era Orde baru. Masa itu, katanya, masyarakat adat terus mengalami kekerasan, diusir dari wilayah adat dan dikriminalisasi. Dua hal yang jadi ancaman bagi masyarakat adat kala itu, katanya, UU Pokok Kehutanan dan UU Penanaman Modal Asing.

Selain merampas wilayah adat, pemerintah Orde Baru juga menangkap dan memenjarakan masyarakat adat yang memperjuangkan tanah adat mereka.

 

Beragam produk hasil kerajinan para perempuan AMAN di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Presiden Soeharto menyensor media dan tak ada informasi soal penangkapan masyarakat adat. “Salah satu korban, Nai Sinta, pendiri yang bahkan sebelum AMAN deklarasi sudah berjuang melawan PT. Indorayon Inti Utama,” katanya.

Sejak 2007, AMAN mengubah strategi, lewat memperluas partisipasi politik. AMAN berhasil mendorong 70 produk hukum berupa perda tentang masyarakat adat di berbagai daerah.

AMAN mengutus kader-kader mereka menjadi kepala desa, camat, lurah dan anggota legislatif.

Puncak kemenangan perjuangan masyarakat adat sejauh ini adalah dengan keluar Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 yang mengakui hak masyarakat adat terhadap hutan dan wilayah adat.

“Itu belum cukup. Dengan upaya keras saja, hutan ada yang diakui masih sedikit,” kata Rukka.

Padahal, katanya, dengan bekerja sama masyarakat adat ketidakpastian usaha dan investasi bisa dikurangi.

Sistem ekonomi lokal, kata Rukka, terbukti membentuk masyarakat adat jadi lebih kuat, melalui pendapatan regional lebih besar dari perndapatan perkapita daerah.

“Ini harus jadi pertimbangan negara untuk kembali ke ekonomi lokal. Industri besar bikin kita hidup seperti tikus mati di lumbung padi.”

Hal lain catatan AMAN soal peta wilayah adat yang tak diakui kementerian manapun di Indonesia. Negara, katanya, masih tak memasukkan peta wilayah adat sebagai bagian dari kebijakan satu peta (one map policy).

Dalam perayaan 20 tahun AMAN dan Hari Masyarakat Adat Internasional ini, AMAN kembali menyerahkan secara simbolis peta wilayah adat meliputi 893 komunitas, seluas 10,56 juta hektar, kepada pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selain itu, diserahkan juga petisi pengesahan RUU Masyarakat Adat dengan penandatangan sekitar 17.000-an orang.

Kalau berbicara kontribusi Indonesia dalam menekan perubahan iklim, hutan-hutan adat menjadi satu jawaban. Rukka bilang, 22% karbon hutan sub tropis ada di wilayah adat. Sayangnya, pengakuan adat adat masih minim. “Tanpa pengakuan masyarakat adat tidak mungkin menyelamatkan bumi.”

 

Masyarakat adat di Nusantara pada peringatan 20 tahun AMAN dan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia di TIM, Jakarta. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Siti Nubaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir di acara ini mengatakan, masyarakat adat bagian menyeluruh dari negara Indonesia. Mereka punya asal usul yang harus dihormati negara.

Siti mengakui, masa lalu perlindungan terhadap masyarakat adat menurun dengan meningkatnya kepentingan terhadap sumber daya alam, terutama di luar Pulau Jawa. Masyarakat adat, katanya, cenderung tak bisa membela diri karena tak punya akses terhadap kekuasaan.

Saat ini, kata Siti, pemerintah berusaha mendorong RUU Masyarakat Adat, sebagai salah satu payung hukum dalam menjaga wilayah adat dan hutan adat mereka.

“RUU ini akan baik jika diartikulasikan dengan baik oleh menteri-menterinya,” kata Siti.

Namun, Siti tak setuju kalau pemerintah dianggap ancaman oleh masyarakat adat. “Presiden begitu menyayangi masyarakat adat,” kata Siti, sembari menambahkan, salah satu simbolnya, Presiden kerap mengenakan pakaian adat dalam berbagai kegiatan dan pertemuan kenegaraan.

“Saya janji akan bantu selesaikan (RUU Masyarakat Adat), tapi harus bagus dulu (artikulasinya).”

Mengenai peta wilayah adat, katanya, hingga Agustus ini pemerintah sudah menambah lagi sekitar 15.000 wilayah indikatif hutan adat. Total ada 574.119 hektar wilayah indikatif hutan adat di seluruh Indonesia.

“Jangan ragu soal itu (pengakuan-red) karena masyarakat adat bagian dari Indonesia.”

Pemerintah juga sedang menyiapkan regulasi aturan hukum yang tak bisa menjerat hukum pejuang lingkungan termasuk masyarakat adat yang mempertahankan wilayah demi menjaga lingkungan baik dan sehat. Tujuannya, menjamin perlindungan hukum bagi warga negara dan aktivis pembela lingkungan.

 

Spanduk menentut pengembalian hutan adat Kinipan dan penolakan terhadap investasi sawit. Hutan itu sudah bersih, bersiap menjadi kebun sawit…Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

Belum dapatkan hak dasar

Michiko Miyamoto, mewakili International Labour Organization (ILO) PBB untuk Indonesia dan Timor Leste dalam kesempatan sama, mengatakan, secara global masyarakat adat masih mengalami tantangan. Mengutip pernyataan Sekjen PBB dalam peringatan International Indigenous People Day, 370 juta masyarakat adat di seluruh dunia, sebagian besar masih belum mendapatkan hak-hak dasar. Hal ini, katanya, tak sejalan dengan deklarasi PBB maupun tujuan SDG.

Tak hanya basis ekonomi, juga tantangan dalam hal budaya dan aspek sosial. Tahun ini, PBB mendeklrasikan sebagai tahun bahasa masyarakat adat (international year of indigenous languages).

Menurut PBB, sekitar 6.700 bahasa atau sekitar separuh dari seluruh bahasa di dunia– sebagian besar bahasa masyarakat adat terancam punah.

“Kita harus meningkatkan upaya dengan bekerja sama bersama masyarakat adat untuk menjada warisan bahasa, budaya, sejarah dan identitas masyarakat adat,” kata Michiko.

Untuk isu perubahan iklim, laporan ILO menunjukkan, masyarakat adat adalah kelompok rentan terdampak perubahan iklim sekaligus agen bagi perjuangan melawan perubahan iklim. Model ekonomi dan pengetahuan tradisional penting jadi ukuran kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“AMAN menunjukkan contoh yang baik,” katanya.

 

Keterangan foto utama:    Dalam perayaan 20 tahun AMAN dan Hari Masyarakat Adat Internasional ini, AMAN menyerahkan secara simbolis peta wilayah adat meliputi 893 komunitas, seluas 10,56 juta hektar, kepada pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

Para perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta di sela menyadap kemenyan. Pandumaan Sipituhuta, satu komunitas adat di Sumatera, yang berhasil mendapatkan kembali wilayah adat mereka dengan perjuangan panjang.   Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version