Mongabay.co.id

Presiden Teken Inpres Setop Izin di Hutan Primer dan Gambut, Masih Ada Revisi Berkala?

Taman Nasional Gunung Leuser yang telah berubah jadi kebun sawit di Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Akhirnya, Presiden Joko Widodo, menandatangani Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut pada 5 Agustus lalu.

“Benar, saya sudah monitor pada 5 Agustus kemarin, Bapak Presiden telah menandatangani Inpres soal penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta, Selasa (6/8/19).

Dia bilang, inpres ini pembaharuan dari Inpres 6/2017 dengan perubahan dari urusan penundaan jadi penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

Baca juga: Kebijakan Setop Izin di Hutan Primer dan Lahan Gambut Bakal Permanen?

Kebijakan ini mulai pada mei 2011, lewat Inpres No 10/2011 sampai Inpres 6/2017 tentang penundaan pemberian izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Areal penundaan pemberian izin itu, katanya, tergambar secara spasial dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) dan revisi tiap enam bulan sekali. Sampai Juli 2019, inpres sudah revisi 15 kali.

“Telaahan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap data series analisis luas penundaan pemberian izin baru, menunjukkan areal PIPPIB sudah mempunyai luasan relatif stabil atau agak konstan atau tetap diangka sekitar 66 juta hektar,” katanya.

Menurut dia, imbas kebijakan moratorium ini memperlihatkan, terjadi pengurangan luas deforestasi signifikan dalam areal penundaan sekitar 38%.

Siti mengatakan, tata kelola hutan alam primer lebih baik, terlihat dari luas PIPPIB tetap, pengurangan angka deforestasi signifikan dan ada perubahan rencana pengusahaan hutan tanpa mengganggu produktivitas.

“Juga telah banyak terbit peraturan yang menjaga tata kelola lahan gambut. Penegakan hukum terkait lingkungan hidup dan kehutanan berjalan baik,” katanya.

Selain itu, wilayah penghentian pemberian izin baru jadi potensi result-based payment REDD+ sejalan dengan penerapan kebijakan pemberian insentif pengendalian perubahan iklim sebagaimana PP 46/2017 tentang Instrument Ekonomi Lingkungan.

Wilayah penghentian pemberian izin baru itu, katanya, jadi target pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia dari sektor kehutanan.

Menurut dia, menetapkan dalam regulasi terhadap hutan primer vegetasi alam lebat dan lahan gambut adalah konfirmasi karena sudah tidak lagi beri izin.

“Inpres yang ditandatangani itu mengatur perintah kepada jajaran eksekutif. Inpres adalah semacam excecutive order yang harus dipatuhi jajaran pemerintah di bawah presiden.”

“Isinya memerintahkan kepada Menteri LHK, Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR, Menteri Pertanian dan Menteri PUPR, Kepala BIG, gubernur dan bupati, walikota secara umum tidak lagi memberikan izin baru di area PIPPIB.”

Selain itu, dalam inpres terbaru ini juga ada perintah penyempurnaan kebijakan tata kelola izin usaha, pengelolaan lahan kritis, serta penggunaan emisi karbon.

Dalam inpres, katanya, ada juga pengecualian berkenaan dengan izin-izin yang sudah ada dan telah mendapatkan persetujuan prinsip, pembangunan berisfat vital, dan perpanjangan izin. Juga, restorasi ekosistem, jalur evakuasi bencana alam, penyiapan pusat pemerintahan atau pemerintahan daerah, proyek strategis nasional dan kepentingan pertahanan keamanan serta penunjang keselamatan umum. Inpres juga memerintahkan gubernur, bupati dan walikota tidak memberikan rekomendasi izin baru di areal PIPPIB.

“Ini sangat baik dan positif. Makin nyata langkah Presiden Jokowi dan pemerintah dalam menyiapkan lingkungan yang baik.”

 

Ilustrasi. Kala musim kemarau, gambut alami kekeringan dan memicu kebakaran. Bencana seperti ini bisa berulang kala gambut fungsi lindung rusak. Akankah kebijakan permanen setop izin di lahan gambut, bisa mengurangi bencana ini? Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia.

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, inpres sudah ditandatangani presiden tetapi belum diundangkan, hingga belum rilis ke publik. Dokumen inpres, katanya, baru bisa diakses kalau sudah ditandatangani menteri.

“Untuk perpres biasa ditandatangani Menteri Hukum dan HAM setelah ditandatangani presiden, dokumen inilah disebar dan dikeluarkan. Untuk inpres biasa ditandatangani setneg atau seskab, setelah ditandatangani presiden. Gak jarang perlu waktu lima sampai tujuh hari, kadang bisa lebih cepat juga,” kata Abet.

Inpres ini, katanya, memerlukan sistem pemantauan lebih terbuka dan dapat diakses publik. Kawasan yang dilarang terbit izin harus mendapat dukungan, seperti pemantauan independen dari publik atau lembaga-lembaga non pemerintah yang relevan dengan isu ini.

“Peran Kemendagri sangat penting memastikan pemerintah daerah benar-benar memahami dan melaksanakan inpres. Ujung tombak di lapangan ada pada pemda.”

Kalau bicara inpres yang ditandatangani presiden ini ideal atau tidak, kata Abet, pasti sulit menentukan kriteria ideal.  Yang pasti, katanya, inpres ini mencoba mengoptimalkan perlindungan hutan dan gambut.

“Inpres itu pastinya instruksi ke internal pemerintah. Dalam inpres ini berkaitan dengan pelarangan penggunaan kewenangan, dalam hal ini penerbitan izin di hutan alam dan gambut.”

Inpres ini, katanya, dengan melihat pola pemanfaatan lahan di Indonesia. Ekspansi perizinan perusahaan besar sudah tak prioritas. Untuk itu, kebijakan pemerintah kini lebih menyasar ke pemberian nilai tambah dan industri hilir.

“Kalau hanya di hulu saja, juga tidak memberikan manfaat signifikan. Kita juga dari kondisi lingkungan perlu jaga. Kondisi hutan sudah dilihat bahwa moratorium dengan segala kritik juga berkontribusi terhadap penurunan deforestasi,” katanya, seraya bilang, inpres merupakan pilihan cukup tepat. Dengan begitu, kata Abet, moratorium yang sudah berjalan ini ada kepastian.

Soal usulan berbagai pihak agar hutan sekunder masuk dalam inpres, katanya, inpres belum sampai ke sana. “Kita juga harus melihat di luar hutan primer itu punya potensi untuk dikelola rakyat dalam bentuk perhutanan sosial. Jadi, jangan juga kita mengunci potensi dan peluang rakyat memanfaatkan di tengah pemerintah masih melanjutkan perhutanan sosial.”

 

 

Membingungkan, permanen tetapi tetap revisi periodik?

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, dari draf Inpres tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, hanya mengubah judul dari ‘penundaan’ jadi ‘penghentian pemberian izin baru.’

“Terkait substansi tak mengalami perubahan signifikan,” katanya di Jakarta, Kamis (8/8/19).

Dia nilai, tak ada penguatan substansi dan dasar hukum setelah delapan tahun kebijakan moratorium berjalan. Padahal, fakta di lapangan perlu perlindungan hutan alam menyeluruh, kaji perizinan, penegakan hukum karena pengawasan lemah dan penyelasaian konflik.

Sebaliknya, kebijakan ini tetap mengakomodasi praktik pembabatan hutan oleh korporasi tanpa melalui proses evaluasi atau peninjauan izin terlebih dahulu yang terlihat dalam poin pengecualian.

Dalam draf inpres yang diperoleh Mongabay, menyebutkan, ada berbagai pengecualian, pertama, bagi permohonan yang telah mendapatkan izin prinsip atau penggunaan kawasan hutan buat eksplorasi sebelum Inpres No 10/2011.

Kedua, pelaksanaan, pembangunan vital nasional, yaitu, panas bumi, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan dan lahan kedaulatan pangan. Di sana, disebutkan, padi, jagung, tebu, sagu, singkong, dan kedelai.

Ketiga, perpanjangan izin pemanfaatan hutan, atau penggunaan kawasan hutan. Keempat, restorasi ekosistem. Kelima, kegiatan terkait pertahanan dan keamanan negara. Keenam, jalur evaluasi dan penampungan sementara korban bencana alam.

Ketujuh, penyiapan pusat pemerintahan, ibukota pemerintahan, kantor pusat pemerintahan nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Kedelapan, infrastruktur yang merupakan proyek strategis nasional dan kesembilan, prasarana penunjang keselamatan umum.

Bahkan, kata Teguh, hutan yang ‘terlindungi’ inpres sekitar 66 juta itu belum sepenuhnya aman. Dalam poin draf kebijakan tetap menyebutkan, melakukan revisi terhadap PIPPIB pada kawasan hutan setiap enam bulan sekali setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga non kementerian terkait.

Dengan begitu, kebijakan ini, katanya, juga masih berpotensi mengkonversi gambut meskipun sudah ditetapkan sebagai fungsi lindung lewat aturan soal penentuan dan penetapan dan pengelolaan puncak kubah gambut berbasis kesatuan hidrologi gambut (KHG).

“Besar kemungkinan komitmen perlindungan hutan akan terus berkurang dari 66 juta hektar mengingat PIPPIB akan tetap revisi setiap enam bulan. Masih berlaku berbagai pengecualian untuk mengakomodasi permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dan perpanjangan izin. Pengaturan ini membingungkan. Harusnya dihapus. Ini menghilangkan niat baik memberikan perlindungan hutan alam tersisa secara permanen,” katanya.

Dia bilang, perlu kejelasan soal posisi atau letak 66 juta hektar hutan yang dilindungi inpres yang kabarnya sudah terbit 5 Agustus ini. “Bagaimana status hutan adat dan atau wilayah kelola masyarakat yang terdapat dalam PIPIB? Apakah telah teridentifikasi?”

Teguh bilang, luasan PIPPIB berkurang selama periode 2011-2019 sekitar 3 juta hektar. Hingga kini, katanya, tak ada penjelasan di mana wilayah pengurangan dan untuk kepentingan apa atau siapa. Begitu juga mekanisme tidak jelas dan tidak mumpuni bagi publik berpartisipasi alias proses tertutup.

Dia juga mempertanyakan nasib hutan di luar 66 juta hektar yang masuk inpres. “Apakah berarti hutan di luar itu siap dikonversi? Mengingat merujuk pada data status hutan dan kehutanan indonesia 2018, tercatat luas hutan alam Indonesia adalah 89,4 juta hektar, di mana 6,9 juta hektar masih berada di alokasi penggunaan lain.”

Kala masa jeda izin selama delapan tahun ini, katanya, tetap terbit izin pelepasan kawasan hutan di wilayah PIPPIB dan gambut di Boven Digoel, Papua seluas 2.618 hektar. Terhadap kasus-kasus ini, katanya, tak ada evaluasi. Belum lagi, izin pelepasan untuk kebun sawit di Buol, pada November 2018, dua bulan setelah Inpres Moratorium Izin Sawit.

“Situasi ini jadi preseden buruk dalam menegakkan kebijakan perlindungan hutan, leadership Jokowi belum menjawab tantangan dan dinamika ini,” katanya.

Satu lagi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetap tak menerima instruksi alias bebas tugas dari melindungi hutan. Padahal, katanya, tambang dan energi—terutama biofuel yang bersumber sawit—sektor rakus lahan.

Belum lagi, kalau berbicara rencana pembangunan jangka menengah nasional ( RPJMN). Dalam RPJMN, katanya, bilang mau mempertahankan tutupan hutan Indonesia seluas 94 juta hektar sampai 2025.

Dalam rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2011-2030, telah mengagendakan ekspansi hutan tanaman industri 5 juta hektar. “Pertanyaannya, apakah inpres ini, RPJMN dan RKTN telah sinkron? Kalau tidak, situasi ini makin membingungkan dan berpotensi menjadi lubang deforestasi dan mengancam keberhasilan pencapain komitmen iklim,” kata Teguh.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, inpres ini seharusnya jadi momentum kaji ulang dan mengevaluasi semua kondisi hutan dan gambut.

“Soal sawit, kita berharap terjadi evaluasi benar-benar soal perizinan. Harus dilihat semua. Kemudian, kita juga memastikan wilayah kelola masyarakat secara aman dan tidak ada lagi pembukaan sawit di gambut yang bermasalah,” katanya.

Kebijakan dalam inpres, kata Inda, seharusnya terintegrasi dengan kebijakan lain sperti Inpres Moratorium Izin Sawit, Perpes 88/ 2017 tentang penyelesaian tata batas kehutanan, dan Perpres 86/2018 soal reforma agraria.

“Jangan sampai kebijakan yang permanenkan moratorium ini malah menutup ruang untuk evaluasi terhadap izin-izin di atasnya. Tak bisa seperti itu, jangan sampai larinya seperti pemutihan. Kita berharap permanen ini tidak membuat pemutihan atas kosnesi-konsesi yang bemasalah.”

Arie Rompas, dari Greenpeace Indonesia mengatakan, kebijakan ini bukan soal permanen atau tidak tetapi bagaimana memastikan apa yang akan dilindungi melalui inpres ini.

Dengan kebijakan permanen, katanya, belum tentu menjawab persoalan kalau tetap sama kalau wilayah cakupan perlindungan itu tidak masuk dalam kebijakan ini. “Inpres ini juga harusnya memasukkan penegakan hukum. Kalau kebijakan ini tak ada penegakan hukum, tak akan maksimal,” katanya.

Dia bilang, seharusnya perhutanan sosial dan hutan adat bisa masuk pengecualian dalam inpres. Sebab, kedua hal ini bukan ancaman. Sementara poin pengecualian lain, hilangkan. Dengan pengecualian-pengecualian ini, katanya, masih memberikan peluang pembukaan hutan primer dan lahan gambut.

“Di inpres ada pengecualian soal ibukota baru. Seharusnya, misi ibukota berkelanjutan kan seharusnya tidak merusak hutan. Itu juga jadi perdebatan tersendiri. Kalau pemindahan ibukota membuka lahan gambut dan hutan alam, itu problem baru juga.”

 

Keterangan foto utama: Hutan di Aceh, yang sebagian berubah jadi kebun sawit. Mampukah, kebijakan setop izin di hutan primer dan lahan gambut, menghentikan praktik-praktik seperti ini? Foto: Junaedi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Hutan hujan tua di sepanjang Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler

 

 

 

Exit mobile version