Mongabay.co.id

Mengingat Banjir Bandang, Menengok Hutan Jembrana [1]

 

Sisa kehancuran banjir bandang masih terlihat di muara sungai Bilukpoh, Penyaringan, Jembrana, Bali Barat. Sejumlah bangunan rumah rusak masih belum diperbaiki. Puluhan batang pohon masih teronggok di sempadan sungai.

Bahkan satu rumah hanyut, menyisakan sepasang suami istri yang hidup dengan stroke dan berjalan dengan bantuan tongkat di sebuah kubu darurat, di atas tapak tanahnya sendiri, saat ditemui Mongabay Indonesia ditemui Kamis (4/7/2019) lalu. Bangunan rumah mereka hilang, hanya menyisakan tugu sembahyang di bagian depan.

Kadek Suryati, anak kedua orang tua yang termenung sepi itu tegar mengisahkan banjir bandang pada malam hari 22 Desember 2018 lalu. Rumahnya persis samping sungai besar. Jembatan Desa Penyaringan dekat rumahnya terputus. Jalur penting lintas kabupaten dan provinsi menghubungkan Pelabuhan Gilimanuk-Denpasar tak bisa dilewati. “Terdengar gemuruh dari hulu sungai, tapi saya tidak mengira sehebat itu,” katanya. Hujan deras tiga jam jelang tengah malam itu membuat jalan raya utama jalur logistik Jawa-Bali itu terputus karena jembatan ambrol.

Di kompleks rumahnya, ada sejumlah rumah lain yang juga mengalami kerusakan parah. Misalnya dapur Ni Ketut Meni yang masih hancur sebagian. Jejak banjir sangat jelas dari garis lumpur di seluruh bangunan tersisa, garis cokelat di tembok-tembok. Setinggi leher orang dewasa.

baca : Terancam Banjir, Warga Kedonganan Bali Beraksi Menolak Reklamasi

 

Keluarga korban banjir masih belum bisa membangun rumahnya yang hanyut akibat banjir bandang akhir 2018 lalu yang berdampak pada puluhan rumah, Jembrana, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Meni, perempuan lansia ini juga mampu bercerita dengan tegar walau sisa kepedihan masih dalam. Saat itu bulan Purnama, ia mengikuti upacara agama di salah satu pura. Tak ada tanda-tanda khusus. Jelang tengah malam, tiba-tiba sungai bergemuruh, batang pohon sudah masuk rumah. “Air sudah nomplok rumah, sungai meluap, kayu-kayu nubruk tembok,” kisahnya dalam Bahasa Bali.

Ia mengaku tak ada barang yang bisa diselamatkan. Kulkas, televisi, dan pakaian terendam lumpur. “Saya seperti orang gila, tidak punya apa. Diangkut Hansip ke pos pengungsi, di posko seminggu,” lanjutnya. Namun ia bersyukur suami serta anaknya selamat setelah terpisah saat banjir menerjang. Setelah bisa menenangkan diri, ia membeli panci memasak nasi dan kompor batu untuk memulai hidupnya. Sumur masih penuh lumpur, pakaian sudah tak bisa terpakai.

Hingga kini Meni masih tinggal di sisa rumahnya yang hancur. Ia memindahkan warungnya beberapa meter dari tempat semula, dekat jembatan sungai.

Ia ingat banjir sebelumnya sekitar 20 tahunan lalu, saat anaknya masih bayi. Tapi tak sehebat peristiwa Desember kelam itu.”Semoga musim hujan berikut, tidak seperti ini,” harapnya.

Wayan Budiani juga kaget dengan tingginya terjangan banjir penuh lumpur. Rumahnya lebih tinggi dari sempadan sungai, namun lumpur dari hulu membawa ratusan batang kayu log, pepohonan, batu-batu sungai besar berpindah, menubruk rumahnya.

Namun ada yang unik dari kisah Budiani, suaminya sempat menyelamatkan sepasang kebo yang akan mengikuti lomba Masekepung di Jembrana 14-15 Juli 2019. Kebo-kebo ini harta berharga keluarga pecinta lomba semacam karapan sapi di Madura itu. “Ada peringatan dari warga di hulu tapi tak menyangka sebesar ini,” ucapnya. Selama seminggu setelah banjir bandang, warga melakukan patroli selama semingu di sepanjang sungai untuk memantau ketinggian air.

baca juga : Longsor di Sejumlah Kabupaten di Bali, 12 Meninggal

 

Jembatan ini roboh dan membuat jalur utama Denpasar-Gilimanuk lumpuh akibat banjir bandang. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Batang kayu yang terbawa banjir bandang masih terlihat di sekitar sempadan sungai. Ada warga yang menariknya ke tepi dan kini berhak memilikinya. Sejumlah batang kayu terlihat bukan hasil pohon yang roboh kena banjir. Tak ada sisa tangkai atau ranting yang menyertainya. Tapi ada juga batang pohon dengan daun dan akarnya tersapu air bah, memperlihatkan dahsyatnya terjangan air dari hulu ke hilir saat itu mampu mengangkat pepohonan besar.

Banjir bandang paling parah menerjang Desa Bilukpoh, Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Akibat jembatan utama terputus, jalan raya utama Denpasar-Gilimanuk lumpuh total saat itu. Lebih dari 100 orang warga mengungsi, empat mobil dan sejumlah motor juga dilaporkan hanyut.

Ada apa di hulu kabupaten Jembrana, kabupaten dengan hutan lindung terluas di Bali ini? Perjalanan menuju hulu bisa ditempuh sedikitnya 30 menit dari jalan raya utama. Sebagian besar desa masih berhulu di hutan. Jika melihat peta kabupaten Jembrana, terlihat warna hijau di hulu desa-desa.

Enam bulan setelah peristiwa banjir bandang, sempadan sungai masih terlihat koyak. Rumpun bambu masih banyak yang tumbang, pohon-pohon patah, dan sempadan sungai makin terkikis. Terlihat ada sejumlah pembetonan sempadan terutama dekat jembatan.

Kendaraan terus menanjak, jalan raya makin menyempit. Rumah-rumah penduduk makin jarang, kebun berisi cengkeh, kakao, pisang, dan duren terlihat di kanan kiri jalan. Sampai tiba di perbatasan hutan lindung Desa Yehembang Kauh. Sebuah pondokan dibangun petugas kehutanan dengan papan informasi penanaman bibit.

Bibit terlihat ditanam di antara pohon-pohon kayu keras yang menjulang. Namun yang mengagetkan, sejumlah pohon tua besar terlihat goretan, lubang, dan daun-daunnya layu mulai rontok. Batangnya makin layu.

“Sudah rahasia umum, ada yang meracun pohon,” ujar Putu Bawa, warga Yehembang. Ia menunjukkan tanda-tandanya, misal goretan-goretan di pohon atau lubang kecil untuk menyemprot racun. Modus lain adalah meracun akar. Bawa menyebut pohon-pohon besar ini diracun agar mati perlahan, karena tidak berani menebang di kawasan hutan lindung. Pohon yang ditarget dan nampak mati layu terlihat yang tinggi menjulang dengan diameter batang besar, jenis pohon penaung.

menarik dibaca : Apakah Bali punya Masa Depan untuk Kualitas Lingkungannya?

 

Sebuah pura di tengah hutan Desa Yehembang ini terasa sangat teduh karena pepohona besar masih berdiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Bawa mengatakan warga hendak membuka lahan untuk ditanami tanaman umur pendek yang lebih cepat menghasilkan. Hutan lindung ini memang terlihat berbeda, karena ada kebun dalam hutan. Hamparan tanaman pisang dan vanili nampak di beberapa petak lahan yang sudah terbuka. Tanaman ini perlu sinar matahari untuk lebih cepat berkembang. Jika pohon penaungnya rapat, mengganggu pertumbuhan.

“Sejak tahun 98 warga masuk hutan, hampir semuanya lindung. Sedikit hutan produksi di Jembrana. Dulu yang tak punya lahan masuk hutan, sekarang yang sudah punya lahan juga merambah. Hampir semua area, termasuk Pekutatan dan Gilimanuk,” papar Bawa, salah satu pegiat lingkungan dan pertanian permakultur Yayasan IDEP Selaras Alam.

Menyadari kondisi ini, sejumlah warga Jembrana menyiapkan ruangnya, pada tahun 2010 lahir sebuah komunitas bernama Bisnis Alternatif Sosial Ekologi (BASE) Bali. Mereka sedang menyiapkan program Hutan Belajar di Yehembang Kauh. Jaringan ini dirintis Sayu, Gus West, Bawa, Gede Suparta, dan lainnya. Dimulai dari kampung mereka sendiri.

“Dulu pendekatan ke warga kurang efektif. Sekolah hutan ini akan memberikan bibit pada warga, sambil ngobrol,” lanjut Bawa.

Tempat pembibitan pohon disiapkan di sekitar hutan, minta Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Bali Barat. Komunitas ini sudah dapat surat kerjasama hutan, namun karena ada perubahan regulasi, rencana ini masih terhambat. Ada banyak model kerjasama kehutanan saat ini, misalnya Perhutanan Sosial lewat desa. Ada juga Kelompok Tani Hutan, mekanismenya ini perlu proses panjang.

 

Goretan-goretan pada pohon besar ini diyakini untuk menabur racun sehingga perlahan pohon tumbang di hutan. Agar tanaman umur pendek yang ditanam bisa hidup kena matahari. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Namun, hutan tak bisa menunggu lama untuk diselamatkan. Risiko makin sedikitnya pepohonan besar adalah kurangnya tangkapan air hujan. Akibatnya mudah ditebak, air hujan terjun ke sungai, dan menerjang jadi banjir bandang ke hilir, lokasi pemukiman padat.

Saat musim kemarau sampai tengah tahun 2019 ini, hal kontradiktif terlihat. Sungai lebar di sejumlah area Kabupaten Jembrana ini terlihat kering, kalaupun ada air, tak bisa untuk mandi. Hanya genangan di antara bebatuan besar. Padahal nama-nama desa di Jembrana lekat dengan air. Yehembang sendiri dalam bahasa Bali Artinya air yang banyak sekali.

“Sekarang debit air kecil sekali,” keluhnya. Masalah lain dampak meracuni pohon dengan zat kimia adalah kemungkinan mencemari sumber-sumber air karena hutan dekat dengan sumber-sumber air bersih. Sejumlah pohon diracun ini di antaranya taep dan bunut yang tidak bagus untuk bahan bangunan namun kuat menyangga air tanah.

Membuka kebun vanili, kakao, atau pisang dinilai lebih ekonomis. Namun berdampak jika dilakukan di dalam hutan dengan merambah pohon besar. Sejumlah solusi lain yang sedang didorong adalah pemanfaatan jasa lingkungan yang bisa dijual seperti trekking dan bird watching.

 

Exit mobile version