Mongabay.co.id

Soal Tumpahan Minyak Pertamina di Karawang, Berikut Masukan Pakar Hukum Pertambangan

Nelayan menangkap ceceran limbah padat B3 dari tumpahan minyak yang berasal dari bocoran semburan sumur lepas pantai millik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di perairan Karawang, Jabar, pada Juli 2019. Foto: Kiara

 

 

 

 

Tumpahan minyak Pertamina di Karawang, sudah sampai ke Kepulauan Seribu. Tak kurang, 12 desa di Karawang dan Bekasi serta tujuh pulau di Kepulauan Seribu, terdampak tumpahan minyak, seperti Pulau Air, Pulau Untung Jawa, Bidadari, Lancang, Pulau Rambut, Pulau Damar.

Ahmad Redi, pakar hukum pertambangan sumber daya alam Universitas Tarumanegara, mengatakan, langkah Pertamina menanggulangi sebaran tumpahan minyak patut diapresiasi. Meskipun begitu, katanya, tanggung jawab korporasi untuk pencemaran harus tuntas sampai pemulihan lingkungan.

“Inisiatif warga membantu perlu diapresiasi karena warga juga punya kepentingan agar area mereka tak tercemar masif. Apa yang dilakukan Pertamina untuk isolasi dan tanggap darurat dengan melibatkan nelayan sporadik juga perlu diapresiasi,” kata penulis buku Hukum Pertambangan dan Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan ini.

Namun, katanya, Pertamina harus memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan masyarakat yang membantu mereka. “Jangan sampai setelah membantu Pertamina, malah berdampak buruk terhadap kesehatan mereka,” katanya.

Baca juga : Begini Nasib Buruk Masyarakat Pesisir akibat Tumpahan Minyak di Karawang

Dari segi hukum, kata Redi, ada tiga tanggungjawab Pertamina harus dipantau pemerintah. Pertama, tanggung jawab penanggulangan. Saat ini, Pertamina dengan mengisolasi dan menghentikan sumber pencemaran.

Kedua, tanggung jawab pemulihan pencemaran dan kerusakan. Redi bilang, aksi ini bisa dengan remediasi, rehabilitasi dan restorasi.

“Berbagai macam cara agar fungsi lingkungan kembali pulih seperti sebelum pencemaran terjadi,” katanya.

Baca juga: Tragedi Tumpahan Minyak Pertamina di Karawang, Horo bagi Manusia dan Lingkungan

Ketiga, tanggungjawab hukum. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), harus menyelidiki tindakan Pertamina.

“Ini ada potensi pidana pencemaran. Dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ada pertanggungjawaban pidana bisa juga perdata,” katanya lagi.

Gugatan perdata meliputi kerugian materil yang diderita warga terdampak, kerusakan ekosistem dan kerugian pemulihan.

“Suka tidak suka ini harus ditanggulangi Pertamina, pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” katanya.

 

Kawasan terdampak tumpahan minyak dari sumur pengeboran YYA-1 milik PT PHE ONWJ di perairan pantura Jawa. Sumber : Pertamina

 

Ketiga hal ini, katanya, harus terus dipantau agar memberikan efek jera bagi perusahaan pencemar lingkungan. Menurur Redi, hal ini penting mengingat tumpahan minyak bukan kali pertama alias tak hanya terjadi di Karawang. Setahun lalu, hal serupa terjadi di Balikpapan, Banjarmasin dan Batam.

Penegakan hukum kasus tumpahan minyak di Balikpapan, katanya, berjalan baik setelah nahkoda kapal pembawa minyak vonis 10 tahun penjara. Tergugat juga kena hukum membayar ganti rugi lingkungan tanggung renteng Rp10.15 triliun antara lain, jasa lingkungan Rp9,96 triliun, biaya pemulihan atau restorasi Rp184,05 miliar dan biaya penyelesaian sengketa lingkungan Rp 868, 628 juta.

“Ganti rugi itu jadi masalah besar karena ada mangrove, biota laut dan pesisir yang tidak bisa dihitung secara murah. Itu berkaitan dengan biodiversitas.”

Dengan kata lain, kata Redi, tanggung jawab pemulihan tak hanya isolasi pencemar namun harus dengan konteks jangka panjang. Sayangnya, instrumen ekonomi lingkungan untuk pemulihan ekosistem belum jelas hingga kini. “Yang jelas itu high cost yang harus ditanggung perusahaan.”

 

Strategi Penanganan tumpahan minyak dari sumur pengeboran YYA-1 milik PT PHE ONWJ di perairan pantura Jawa. Sumber : Pertamina

 

 

Evaluasi seluruh pipa Pertamina

Mengingat banyak kasus tumpahan minyak, kata Redi, Pertamina harus evaluasi besar-besaran seluruh pipa mereka. Semua pipa berpotensi bocor, dan sebagian besar berada di laut.

Pertamina, katanya, harus benar-benar mengecek berkala dan perawatan konsisten serta terus menerus.

“Setiap kali tumpah ribuan barel minyak merusak lingkungan. Ini ada potential loss yang merugikan keuangan Negara. Jika diaudit, kelalaian yang mengakibatkan minyak tumpah dan merugikan Negara bisa jadi bagian dari tindak pidana korupsi,” katanya lagi.

Baca juga: Tumpahan Minyak Pertamina di Teluk Balikpapan Cemari 7.000 Hektar Area

Dwi Soetjipto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan, upaya penanggulangan tumpahan minyak dari Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) terus jalan.

“Penanganan juga tak main-main untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Juga anjungan di area proyek offshore YYA-1, harus dijaga agar tidak lebih miring yang akan berakibat lebih fatal,” katanya, pekan lalu.

Untuk mengatasi dampak lingkungan, salah satunya dengan memperbanyak pemasangan static oil boom agar sebaran minyak dapat ditahan dan tak meluas.

Static oil boom adalah peralatan sejenis pelampung untuk melokalisir atau mengurung tumpahan minyak di air.

Dia bilang, ada tiga pekerjaan penanganan tumpahan minyak. Pertama, mengatasi dampak lingkungan, mestinya bisa diperbaiki sedemikian rupa, jangan sampai ada dampak ke arah pantai, maka oil boom diperbanyak, dikumpulkan. “Mestinya bisa disedot di sana, targetnya jangan sampai ada minyak yang terbawa ke pantai.”

Kedua, menutup sumur dengan relief well. “Tentu kita harapkan bisa dipercepat prosesnya, selama itu belum tertutup ketidakpastian akan terus ada.” Ketiga, restructuring atau membongkar dari sumur yang ada.

Pasca tumpahan minyak, Pertamina telah memasang lima giant octopus skimmer dan membentangkan 5 x 400 meter static oil boom di sekitar anjungan YY di Karawang, Jawa Barat.

Static oil boom mampu menahan penyebaran sedangkan giant octopus skimmer untuk mengangkat oil spill yang tertampung di static oil boom itu.

 

Nelayan menangkap ceceran limbah padat B3 dari tumpahan minyak yang berasal dari bocoran semburan sumur lepas pantai millik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di perairan Karawang, Jabar, pada Juli 2019. Foto : Kiara

 

Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah terus berusaha mematikan sumur itu. “Personil dan tim, baik yang menangani tumpahan minyak dan penutupan sumur serta para ahli sudah didatangkan, baik lokal dan asing,” katanya.

Upaya penutupan sumur ini didukung Boots & Coots yang akan membuat relief well dengan pemboran secara horizontal ke arah tenggara melintasi sumur YYA-1 dengan jarak 800 meter hingga 1.000 meter. Selanjutnya, penyumbatan dengan menginjeksi semen di titik sentral semburan. Dia perkirakan, pekerjaan ini perlu waktu sekitar delapan minggu atau dua bulan, sampai sekitar September.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyoroti kesulitan nelayan melaut setelah tiga minggu ini minyak mencemari laut dari kebocoran anjungan lepas pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Off-shore North West Java. Jug, pencemaran minyak merugikan petambak garam dan udang. Anak-anak juga terganggu kesehatannya karena mencium bau limbah minyak.

Elsam menyatakan, tumpahan minyak karena eksploitasi Pertamina ini memunculkan tanggung jawab hukum dengan memberikan pemulihan bagi semua korban terdampak berdasarkan prinsip seketika, memadai, dan efektif.

Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif Elsam mengatakan, degradasi lingkungan akan berdampak pada seseorang tergantung pada beberapa faktor utama termasuk gender. Perempuan, katanya, mewakili sebagian besar situasi kemiskinan, akhirnya mereka terkena dampak lebih parah daripada laki-laki.

Seringkali perempuan jadi pengguna utama air dalam konsumsi rumah tangga dan menjaga ketahanan pangan keluarga. Perempuan, dalam banyak kasus mengambil peran utama dalam mendidik anak-anak dan kesehatan anak dan keluarga, termasuk sanitasi.

“Pemulihan kepada korban juga harus responsif gender mengingat peran perempuan hingga mereka punya beban ganda,” katanya, dalam rilis Elsam kepada media di Jakarta, Selasa (13/8/19).

Elsam pun menuntut Pertamina mengambil langkah-langkah pemulihan hak-hak korban berdasarkan prinsip seketika, memadai, dan efektif. Juga, responsif terhadap kelompok perempuan yang terdampak pencemaran tumpahan minyak.

Presiden juga diminta memerintahkan Pertamina memulihkan lingkungan terdegradasi sesuai prinsip pencemar membayar dan prinsip keadilan antargenerasi.

Elsam juga menuntut, presiden melalui Kementrian BUMN mengamandemen UU Nomor 19/2003 tentang BUMN guna mengintegrasikan standar HAM internasional, terutama prinsip-prinsip panduan PBB tentang bisnis dan HAM. Tujuannya, mendorong kepatuhan BUMN melalui komitmen kebijakan hak asasi manusia, uji tuntas hak asasi manusia, dan mekanisme pemulihan yang efektif dan responsif.

 

Keterangan foto utama:  Nelayan menangkap ceceran limbah padat B3 dari tumpahan minyak yang berasal dari bocoran semburan sumur lepas pantai millik PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) di perairan Karawang, Jabar, pada Juli 2019. Foto: Kiara

 

 

Exit mobile version