Mongabay.co.id

Hutan Aceh Rusak, Dua Lokasi Ini Terus Dirambah

 

 

Aceh memiliki hutan sekitar 3.557.928 hektar. Luas tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.103/MenLHK-II/2015 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014, tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh.

Berdasarkan ketetapan itu, hutan di Aceh dibagi menjadi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam [1.058.144 hektar], Hutan Lindung [1.788.265 hektar], Hutan Produksi Terbatas [141.771 hektar], Hutan Produksi Tetap [554.339 hektar], dan hutan yang dapat dikonversi [15.409 hektar].

Baca: Hutan Aceh Rusak? Tiga Masalah Besar Ini Harus Diselesaikan

 

Hutan Leuser yang penting bagi kehidupan manusia dan satwa liar di dalamnya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana kondisinya saat ini?

Berdasarkan data geographic information system yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA], hingga 2018, luas tutupan hutan sekarang 3.004.352 hektar. Atau menyusut 553.576 hektar.

Dalam laporan HAkA kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, dijelaskan ada perambahan di dua lokasi.

Pertama, di hutan rawa gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil, di Desa Ladang Rimba, Kecamatan Trumon Timur seluas 68 hektar, dan di Desa Ie Meudama, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, lebih enam hektar. Kedua, di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL], wilayah Kabupaten Aceh Tenggara tepatnya di Mutiara Damai, Kecamatan Lawe Alas seluas 35 hektar.

“Kami telah melaporkan perkebunan sawit ilegal di dalam hutan konservasi, di Taman Nasional Gunung Leuser maupun Suaka Margasatwa Rawa Singkil, April 2019 lalu. Dalam laporan kami sampaikan informasi detil, foto dan koordinat kebun ilegal,” terang Crisna Akbar, perwakilan Yayasan HAkA, baru-baru ini.

Crisna mengatakan, kebunan sawit ilegal tersebut, ada yang dibuka dan ditanami sawit usia lima tahun lebih. Selain itu, tambah dia, Rumoh Transparansi Aceh [RTA] juga melaporkan perusahaan sawit di Kabupaten Aceh Tamiang, tepatnya di Desa Kaloy, Kecamatan Tamiang Hulu, yang diduga merambah hutan produksi tanpa izin seluas 302 hektar.

“Kami menduga, kebun tersebut tidak memiliki izin hak guna usaha. Sekitar 105 hektar hutan produksi yang dirambah itu telah ditanami sawit yang umurnya di atas lima tahun,” ujarnya.

Baca: Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang berada di Gayo Lues ini terlihat dirambah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang menghubungkan Kabupaten Aceh Barat Daya dengan Kabupaten Gayo Lues, atau biasa disebut jalan Babah Rot – Terangun juga mulai dirambah, dijadikan kebun sawit. Termasuk di dalam hutan produksi dan hutan Lindung.

Jalan Babah Rot – Terangun, baru bisa dilalui kendaraan sekitar 2016, setelah pemerintah melebarkan jalan itu serta melakukan pengerasan.

“Kawasan hutan yang dirambah untuk kebun sawit dan yang baru dibersihkan itu, berada di dalam hutan lindung dan hutan produksi. Masih di Kabupaten Aceh Barat Daya,” jelas Lukmanul Hakim, Staf GIS Yayasan HAkA, sambil memperlihatkan peta dan koordinat.

Baca: Laporan RAN: Pembukaan Lahan Seluas 245 Hektar Terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser

 

Perambahan hutan di Aceh Barat Daya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada Mei 2019, tim investigasi lapangan Rainforest Action Network [RAN] juga mendokumentasikan bukti pembukaan baru di wilayah timur Kawasan Ekosistem Leuser. Hutan yang berada di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang itu merupakan habitat penting gajah sumatera dan satwa liar lainnya.

“Kawasan hutan ini jalur gajah sumatera menuju wilayah hutan utuh lebih luas,” terang Koordinator Komunikasi RAN di Indonesia, Leoni Rahmawati.

Leoni mengatakan, kerusakan hutan terjadi di lahan yang dialokasikan untuk tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu PT. Nia Yulided, PT. Indo Alam, dan PT. Tualang Raya.

“PT. Nia Yulided, yang tercatat melakukan pembukaan lahan terbesar dan mendapatkan izin sejak Januari 2019. Sementara itu, sejak September 2018, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan instruksi menghentikan penerbitan izin baru pembukaan lahan untuk minyak kelapa sawit dan meninjau kembali izin perusahaan yang ada,” terangnya.

 

Sawit ilegal yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pembukaan masih sering

Pelaksana Tugas [Plt] Gubernur Aceh, Nova Iriansyah seperti dilaporkan Antara mengatakan, tidak ada perkebunan sawit di Aceh yang merusak lingkungan, seperti informasi negatif yang selama ini beredar di negara luar.

“Dampak fitnah yang dilancarkan pihak tertentu terhadap komoditas sawit, juga berimbas pada turunnya harga jual minyak sawit milik petani di daerah ini, karena ditolak negara luar termasuk Uni Eropa,” ungkap Nova, pertengahan Juli 2019.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Muhammad Nur membantah penyataan tersebut, kepada Mongabay Indonesia dia mengungkapkan fakta sesungguhnya di lapangan.

“Pembukaan lahan sawit dengan cara membakar masih sering dilakukan sehingga menimbulkan pencemaran udara. Tidak hanya itu, terganggunya koridor satwa memicu terjadinya peningkatan konflik,” ujarnya.

 

Rawa Singkil yang tak luput dari perambahan untuk dijadikan kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Nur mencatat, dalam rentan waktu lima tahun terakhir, permasalahan karena sawit timbul di Aceh. Terutama sengketa lahan masyarakat dengan HGU perusahaan yang berdampak serius hilangnya wilayah kelola masyarakat.

“Juga, ancaman dan intimidasi terhadap warga yang coba memperjuangkan haknya. Bahkan berujung tuntutan hukum.”

Begitu pula dengan pengelolaan pabrik kelapa sawit yang banyak dikeluhkan masyarakat. Walhi Aceh mendapat sejumlah laporan, seperti dugaan pencemaran limbah di Kabupaten Aceh Timur, Nagan Raya, Subulussalam, dan Aceh Singkil.

“Sumber air masyarakat tercemar, bau tidak sedap muncul yang tentunya mengganggu kehidupan masyarakat,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version