- Pembalakan liar, perambahan untuk kebun, dan pertambangan adalah tiga masalah besar yang menyebabkan rusaknya hutan di Aceh
- Data Yayasan HAkA menunjukkan, luas tutupan hutan Aceh yang hilang 2015-2018 mencapai 75.007 hektar
- Luas tutupan hutan Aceh keseluruhan sekitar 3.004.352 hektar
- Rusaknya hutan tidak hanya mengundang datangnya bencana longsor dan kekeringan tetapi juga menyebabkan terjadinya konflik manusia dengan satwa liar
Hutan di Aceh memang belum bebas dari kerusakan. Pembalakan liar, perambahan untuk kebun, hingga pertambangan adalah tiga masalah besar yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Data yang dirilis Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) 23 Januari 2019 menyebutkan, sejak 2015-2018 luas tutupan hutan di Aceh yang hilang mencapai 75.007 hektar. Rinciannya, pada 2015 (21.056 hektar), 2016 (21.060 hektar), 2017 (17.820 hektar), dan 2018 (15.071 hektar).
Khusus 2018, empat besar daerah yang paling tinggi deforestasinya adalah Kabupaten Aceh Tengah (1.924 hektar), Aceh Utara (1.851 hektar), Gayo Lues (1.494 hektar), dan Kabupaten Nagan Raya (1,261 hektar).
“Keseluruhan, tutupan luas hutan Aceh hingga akhir 2018 adalah 3.004.352 hektar. Pemantauan kerusakan melalui teknologi citra satelit dibantu deteksi otomatis GLAD Alerts dari Global Forest Watch (GFW) yang kemudian dilakukan interpretasi visual. Area terpantau rusak langsung di-ground check tim lapangan,” ungkap Agung Dwinurcahya, Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan HAkA.
Baca: Hutan Leuser yang Selalu di Hati Salman Panuri
Untuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terpantau juga kerusakannya akibat perkebunan, pertambangan dan illegal logging. Angka deforestasi 2018 ini sebesar 5.685 hektar.
Jika dihitung berdasarkan kabupaten yang terdapat di Ekosistem Leuser, Gayo Lues menempati urutan pertama seluas 1.063 hektar. Diikuti Nagan Raya (889 hektar) dan Aceh Timur (863 hektar).
“Angka deforestasi ini menurun dibandingkan 2016 (10.384 hektar) dan 2017 (7.066 hektar),” tutur Agung.
Sementara Taman Nasionan Gunung Leuser (TNGL) wilayah Aceh, pada 2018 luas tutupan hutan hilang seluas 807 hektar. Angka ini naik jika dibandingkan dengan 2017 (624 hektar) dan 2016 (460 hektar).
Baca: 2.778 Hektar Hutan Leuser Telah Direstorasi
HAkA juga memantau titik api selama 2018 menggunakan sensor MODIS (482 titik) dan VIIRS (3.128 titik). “Jika dianalisis berdasarkan Batas Fungsi Kawasan Hutan SK KemenLHK No. 103 Tahun 2015, setelah APL, kawasan hutan yang mengalami deforestasi tertinggi adalah hutan lindung (3.577 ha), hutan produksi (2.728 ha), dan TNGL (807 hektar). Laju deforestasi terutama di KEL sangat berdampak pada bencana yang terjadi di Aceh seperti banjir dan kekeringan,” jelas Agung.
Keseluruhan, KEL adalah sumber air penting empat juta masyarakat Aceh. KEL juga berfungsi sebagai mitigasi bencana seperti banjir dan longsor. “Kita berharap, pemerintah dan penegak hukum lebih serius melindungi hutan dan menghijaukan kembali yang rusak,” ungkap Agung.
Baca: Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang
Kasus meningkat
T. Pahlevie, Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser (FKL) mengungkapkan, pada 2018, temuan kasus pembalakan, perambahan dan pembukaan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser meningkat.
FKL menemukan 2.418 kasus pembalakan liar dengan jumlah kayu hilang mencapai 4.353,81 meter kubuk. Berikutnya, 1.838 kasus perambahan dengan luas hutan hilang mencapai 7.546,3 hektar. Untuk pembukaan jalan di hutan ada 108 kasus dengan panjang 193.85 kilometer.
“Kabupaten tertinggi pembalakan adalah Aceh Selatan (473 kasus), diikuti Aceh Timur (437 kasus) dan Aceh Tamiang (377 kasus). Kabupaten teratas perambahan adalah Aceh Timur (378 kasus), Gayo Lues (326 kasus) dan Aceh Tenggara (316 kasus),” ujarnya.
Pahlevie mengatakan, semua data kegiatan ilegal di KEL, secara berkala telah dilaporkan ke pihak berwenang. Mulai dari Kepada Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh termasuk Kesataun Pengelolaan Hutan (KPH), Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh hingga kepolisian.
“Kami masyarakat sipil, tidak berwenang melakukan penegakan hukum. Kami hanya melaporkan sejumlah temuan itu kepada pihak berwenang,” jelasnya.
Baca: KLHK: PT. EMM, Perusahaan Tambang Emas di Beutong, Tidak Memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Koordinator Tim Perlindungan Satwa Liar FKL Dedy Yansyah, menambahkan untuk temuan kasus perburuan di KEL pada 2018 menurun. Namun jumlah perangkap/jerat naik. Ada 613 perburuan, sementara di 2017 ditemukan 729 kasus. Untuk jumlah jerat 834 buah, ini naik dibandingkan tahun lalu sebanyak 814 perangkap.
“Terhitung 2014-2018, tim telah memusnahkan 5.529 jerat yang dipasang pemburu untuk menyakiti landak dan trenggiling hingga gajah, harimau, dan badak sumatera,” jelasnya.
Dedy mengatakan, tim FKL melakukan patroli lapangan di KEL selama 15 hari setiap bulan. “Tim menemukan kegiatan ilegal paling banyak di hutan lindung, hutan produksi, dan TNGL.”
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo, berkali mengatakan, rusaknya hutan akibat perkebunan dan pembalakan menyebabkan jalur lintasan dan habitat satwa menyempit. Satwa terjepit dan konflik tidak bsa dihindari.
“Perkebunan yang dibuka, ada yang merupakan jalur lintasan atau habitat satwa, terutama gajah sumatera,” ujarnya.
Aceh tidak sama dengan daerah lain di Sumatera, karena provinsi paling barat Indonesia ini sebagian besar habitat satwa liarnya tidak hanya berada di kawasan konservasi. Tapi juga di hutan lindung, hutan produksi dan areal penggunaan lain (APL).
“Sebagian besar konflik satwa liar yang terjadi karena habitatnya rusak. Saat konflik gajah terjadi, tim yang melakukan penggiringan sering menemukan kegiatan ilegal dan kebun yang ada di hutan.”
Masalah lain, konflik satwa liar dengan manusia dimanfaatkan pemburu untuk membunuh satwa. “Pemburu hanya menunggu informasi di mana pertikaian terjadi, setelah itu turun ke lokasi tanpa harus menghabiskan banyak waktu di rimba,” tandasnya.