Mongabay.co.id

Menjaga Hutan, Memastikan Keberlangsungan Sumber Air Warga Jembrana [2]

 

Sebuah film dokumenter bertajuk Air Sumber Kehidupan yang diproduksi 2009 oleh warga didampingi Yayasan IDEP bercerita tentang krisis air di Kabupaten Jembrana, Bali, dimana warga mulai kesulitan air sejak tahun 1990-an. Bisa jadi film dokumenter itu merupakan sejarah, tetapi kekhawatiran warga kini menjadi nyata.

Sepuluh tahun kemudian, apa yang ditakutkan I Wayan Nastra, pengurus kelompok subak ini terjadi. Makin banyak sawah kekeringan dan sungai-sungai mengering saat kemarau.

Ia mengatakan, perambahan hutan makin luas dan saluran kuno irigasi sawah sudah makin kering. “Aungan atau saluran irigasi ini sekitar 6 kilometer, dan setelah tahun 2000 mulai kering,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis (4/7/2019).

Kini, tak sulit menemukan sawah yang memiliki sumur bor di Jembrana. Ini menjadi pemandangan ironis di daerah yang memiliki luasan hutan hampir setengah dari luas daerahnya.

baca : Mengingat Banjir Bandang, Menengok Hutan Jembrana [1]

 

Sejumlah desa di Jembrana bernama Yeh, artinya air. Dampak banjir bah masih terlihats etelah enam bulan berlalu. Kini, saat kemarau sungai tak bisa digunakan berendam. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Bali termasuk yang melalaikan tata ruang minimal 30% melestarikan kawasan hutan. Karena hanya dipenuhi sekitar 20% saja.

Wayan Diana adalah generasi keluarga petani di Dusun Dangin Pangkung Jangu, Desa Pohsanten, kecamatan Mendoyo, Jembrana yang tergantung pada air sumur bor untuk mengairi lahan sawahnya. Ia memasang pompa yang akan menarik air untuk kebutuhan tanam padi. “Biaya tambahan untuk listrik lumayan besar,” katanya. Namun ia tak tergantung pada hasil sawah karena sebagian lahannya berupa kebun berisi kakao.

Putu Bawa, warga Jembrana lainnya mengatakan sumber air Jembrana adalah hutan. Pipa-pipa air swadaya masyarakat makin kecil debitnya. “Puncaknya saat musim kering sungainya kering, dulu masih bisa berendam. Saat musim hujan air terlalu cepat ke laut,” keluh pegiat Yayasan IDEP Selaras Alam ini.

Merambah hutan biasa disebut ngawen. Berasal dari kata sawen, bermakna sebuah tanda. “Habis nyabit lahan, biasanya ada tanda seperti patok berbagai jenis tanaman,” tutur Bawa. Ia mengatakan rumahnya hampir dilempar karena menolak ikut ngawen.

Warga bertanam pisang dan vanili dengan buka lahan lagi di hutan. Jika perambahan hutan terus menerus terjadi, ia khawatir Jimbarwana, asal kata Kabupaten Jembrana yang bermakna hutan lebat ini tak lagi bermakna.

Hutan juga memberikan identitas budaya, misalnya Jembrana terkenal dengan seni Kendang Mebarung. Alat musik dari kayu besar, berkah kesuburan hutan. Ada juga Jegog, dari bambu petung besar, yang suaranya keras.

baca juga : Terancam Banjir, Warga Kedonganan Bali Beraksi Menolak Reklamasi

 

Hamparan kebun pisang terlihat di tengah hutan di Jembrana, Bali. Tanaman umur pendek ini dinilai lebih menghasilkan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Pengelolaan Hutan

Dikutip dari laman Pemkab Jembrana  pengelolaan hutan lindung dititikberatkan pada fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan daerah bawahan, namun pada kenyataannya sebagian areal hutan tidak berfungsi optimal karena terjadinya perubahan secara fisik. Perubahan fungsi hutan menjadi kawasan budidaya akibat dari perilaku illegal logging, perambahan/pengawenan, penggembalaan ternak, dan lainnya.

Skala prioritas pengelolaan harus mengarah pada prinsip ekologi, kemudian prioritas masalah sosial selanjutnya orientasi ekonomi. Bidang pertanian sebagai tulang punggung pembangunan bidang ekonomi sangat tergantung pada kondisi tata lingkungan dan tata air serta ekosistem wilayah hulu. Sedangkan potensi hasil hutan selain kayu adalah lebah madu, sutra alam, dan bambu.

Agus Sugiyanto, Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bali Barat yang dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis (01/8/2019) meyakini kondisi hutan di Jembrana mulai membaik, hutan kini juga dialokasikan untuk pemanfaatan. Dalam hutan lindung ada blok pemanfaatan, misalnya untuk perhutanan sosial. Ini akses legal dengan masyarakat yang hidup disekitar hutan. Ada 5 skema pemanfaatkan ini yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Bagaimana membedakan pemanfaatan dengan perambahan?

Ia mengatakan dilihat dari surat keputusan (SK) pemanfaatan, ada yang sudah keluar dan belum. “Blok pemanfaatan akan dikelola bersama masyarakat, investor, atau koperasi. Kawasan hutan dijaga kelestarian juga berkontribusi kesejahteraan masyarakat dan PAD,” urainya.

Bagaimana mengontrol? Menurutnya dilihat dari dokumen rencana pengelolaan jangka panjang dan target tanam misalnya duren, manggis, pala, sejenisnya. Ini masuk hasil hutan bukan kayu. Namun, di lapangan, masih banyak perambahan dengan pohon pisang.

“Pisang akan hilang pelan-pelan. Kalau vanili bisa di bawah tegakan pohon,” lanjut Agus. Hasil hutan bukan kayu boleh dikembangkan.

Refleksi dari banjir bandang akhir 2018 lalu, Agus mengatakan bukan karena perambahan hutan. Tapi curah hujan tinggi, sementara daerah tangkapan air di hulu sungai Bilukpoh terpanjang dan luas. “Walau tak ada hujan, sepanjang tahun sumber airnya besar karena ditopang 3 sungai besar di atas,” tangkisnya. Menurutnya kondisi di hulu masih bagus. “Jangan salah mengartikan, kalau banjir bandang dianggap kawasan hutan rusak. Mindset diubah, ada sumber air besar, perlu dikelola, bukan jadi bencana,” paparnya.

perlu dibaca : Longsor di Sejumlah Kabupaten di Bali, 12 Meninggal

 

Kayu-kayu gelondongan dari hutan di Jembrana, Bali, yang terbawa banjir masih terlihat di pinggir sungai. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018 tentang penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung di Bali, luasnya 105.400 hektar (Ha). Terdiri dari Hutan Lindung 96.505 Ha (90%), Hutan Produksi Tetap 2000 Ha, dan Hutan Produksi Terbatas 6895 Ha.

Hutan KPH Bali Barat terbentang dari Gilimanuk sampai Pengeragoan, luasnya 38.537 Ha. Terbagi dalam 5 resort pengelolaan, yakni resort Penginuman-Melaya (hutan produksi terbatas/penyangga Taman Nasional Bali Barat), resort Candikusuma (hutan lindung dan hutan produksi), resort Tegalcangkring, resort Yehembang, dan resort Pulukan. Ada 29 desa penyanding, serta akses kelola bersama masyarakat di 9 hutan desa dan 11 kemitraan kehutanan.

Luas hutan di Jembrana saat ini berkurang dibanding Data Dinas Kelautan dan Kehutanan Kabupaten Jembrana pada 2015, yang menyebutkan luas kawasan hutan adalah 41.351,27 Ha atau sekitar 7% dari luas Pulau Bali. Penurunan luasannya hampir 3000 hektar selama 3 tahun saja. Padahal kawasan hutan Jembrana ini lebih dari 30% dari seluruh kawasan hutan di Bali.

Menurut Agus, luasan hutan di KPH Bali Barat tetap, namun ada pengalihan sebagian ke KPH Bali Selatan. Saat ini, banyak pihak yang mengalokasikan dana ke pemanfaatan hutan, ada dinas pariwisata, pekerjaan umum, dan dana desa. “Paradigma sekarang berbeda. Dulu merusak untuk dapat uang, sekarang memelihara hutan untuk penghasilan bersama. Apalagi di Jembrana 60% kebutuhan air disuplai dari dalam hutan,” urainya.

Ia juga mengingat pada 1999, penebangan hutan saat itu menurutnya luar biasa, termasuk oleh warga yang tidak perlu kayu. “Sengaja dirusak. Debit air menurun,” kata Agus. Masyarakat hampir semua dapat pasokan air dari hutan, memasang pipa, menangkap di atas dan debit air di hilir menurutnya pasti jauh berkurang. Sedikitnya ada 305 pengelolaan air bersih berbasis masyarakat di Jembrana. Masuk akal, ketika debit air mengecil, otomatis warga resah karena tergantung dengan sumber air di hutan.

baca juga : Apakah Bali punya Masa Depan untuk Kualitas Lingkungannya?

 

Papan tanda reboisasi ini memandai upaya penanaman kembali hutan dengan pohon kayu di Jembrana, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perambahan Hutan

Gusti Made Loka Putra yang akrab dipanggil Ajik Roi adalah mantan pemimpin (Bendesa) adat Yeh Buah, Kecamatan Mendoyo, Jembrana. Ia tak lupa, perambahan hutan masif pada tahun 1999, setelah reformasi dan krisis moneter 1998. Warga mulai banyak masuk hutan, ada nuansa politis dan kecemburuan sosial, selain alasan ekonomi. “Kenapa dia boleh, saya tidak,” ingatnya saat itu ketika dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis (01/8/2019). Ada juga yang meracun pohon dengan zat kimia di batang dan akarnya.

Pernah ada aturan tertulis tidak boleh menebang hutan, kalau masih ada yang nakal ada sanksi seperti tak boleh bercocok tanam lagi di hutan. Namun tidak ada aturan khusus soal pelarangan berkebun dalam hutan ini karena alasan menghindari konflik dan kecemburuan sosial itu.

Ia mengaku mengajukan mekanisme hutan rakyat biar warga bisa ikut kelola juga, tidak ada kecemburuan. Mantan Bendesa Pekraman Yeh Buah ini mengatakan pernah ikut mengajukan Kelompok Tani Hutan. Seingatnya anggotanya sekitar 200 orang, yang sepakat bisa mengelola lahan sekitar 50 are per orang.

Ia menyadari sumber air bersih warga adalah dari hutan. Kampungnya, Yeh Buah bermakna sumber air. Sampai akhirnya hutan tak bisa menyerap air hujan dengan cepat dan berbuah air bah. Menurut Ajik Roi, banjir bandang bukan hal baru di Jembrana tapi menurutnya bukan karena warga bercocok tanam di kawasan desanya, tapi ada kawasan hulu lain yang longsor. “Mungkin kayu-kayunya sudah tua,” sebutnya.

Solusi menjaga hutan menurutnya dengan pendidikan dan usaha agrowisata. Jika berpendidikan, anak-anak menurutnya tidak mungkin masuk hutan untuk merambahnya. Selain itu usaha jasa lingkungan bisa memberikan penghasilan dibanding menebang kayu.

 

Sebuah pura di tengah hutan Desa Yehembang ini terasa sangat teduh karena pepohona besar masih berdiri. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Exit mobile version