Mongabay.co.id

Mansur Yasong, Penjaga Habitat Maleo di Tanjung Matop

 

 

“Sejak kecil, saat pulang sekolah dasar di kelas 3, saya sudah ikut bapak menggali pasir mencari telur maleo.”

Mansur Yasong, lelaki berusia senja mengucapkan kalimat itu ketika bersiap naik perahu. Tubuhnya kurus dan berkacamata minus. Sejak mata sebelah kirinya mengalami kebutaan di tahun 2014, kacamata selalu menempel di wajahnya. Segera ia mendorong perahu menjauh pesisir, dengan cekatan langsung naik ketika air laut membasahi separuh badannya.

Saat ditanya berapa umurnya, Mansur tak tahu persis. Bapak 12 anak ini hanya bisa memperkirakan.

“Mungkin 70-an tahun. Lebihnya tidak tahu,” katanya. “Tidak penting bagi orang seperti saya mengingat tanggal dan tahun kelahiran. Saya hanya lulusan sekolah dasar. Ijazah sudah tidak ada.”

Mansur penjaga habitat maleo, burung endemik Sulawesi di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Kepala Resortnya adalah Tamrin Latrei, dengan anggota berjumlah lima orang. Namun hanya dua orang yang ditugaskan di pesisir Tanjung Matop; Mansur Yasong dan Suleman Gobel. Usia Suleman lebih muda, yakni 50 tahun, dan baru bergabung menjadi penjaga maleo di 2012.

Baca: Konservasi Maleo Senkawor Melalui SRAK, Seperti Apa?

 

Mansur Yasong memperlihatkan telur maleo yang dapatkan. Setelah itu, telur-telur dibawa ke tempat penetasan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mansur mulai aktif sejak 1985. Hingga saat ini, dia menjadi ujung tombak Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sulawesi Tengah, khusus tempat yang kini menjadi prioritas utama perlindungan maleo senkawor [Macrocephalon maleo].

“Dalam surat tugas, saya di sini penggali telur maleo. Kalau Pak Suleman penjaga burung maleo,” ujarnya.

Sejak kecil hingga kini, usianya banyak dihabiskan di Tanjung Matop. Dulu, ia hampir setiap hari jalan kaki dua jam dari rumah ke pesisir pantai Tanjung Matop, hanya untuk memastikan maleo aman dari perburuan. Sejak ada perahu, ia cukup menempuh 20 menit saja.

Mansur seperti tidak bisa dijauhkan dari Tanjung Matop. Di pantai sepanjang satu kilometer itu, ia tahu persis kapan maleo kawin, bermain, dan bertelur. Setelah itu, ia bisa mendeteksi lubang pasir apakah ada isi telur atau tidak. Pengetahuan itu ia dapatkan langsung dari sang ayah, yang memang terkenal sebagai pencari telur maleo ulung di Desa Pinjan, Tanjung Matop.

“Dulu, ketika saya kecil, telur maleo yang didapat diserahkan bapak saya ke Pak Camat atau pemuka kampung. Juga untuk ritual adat, atau bagi yang sakit telur maleo dianggap sebagai obat penawar,” kata Mansur.

Kini, kebiasaan memberikan “upeti” telur maleo sudah tidak ada lagi. Mansur bersama Tamrin Latrei, memberikan penyadaran kepada masyarakat di sekitar Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop untuk menjaga maleo. Tak hanya itu, orang-orang yang biasanya memasang jerat, perlahan disadarkan.

Baca juga: Bukan Cara Biasa Menjaga Maleo

 

Mansur Yasong ditemani Suleman Gobel ketika menggali telur maleo. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mendapat Kalpataru

8 Agustus 2019, menjelang sore. Usai menyeruput kopi hitam dan menarik asap rokok dalam-dalam, Mansur bangkit dari duduknya di pos jaga, menghadap laut. Di sebelah kanan pos berdiri penangkaran ukuran 4X7 meter, berisi 64 ekor anakan maleo satu bulan atau lebih. Di sebelahnya lagi, dua tempat penetesan telur. Telur-telur maleo yang ditemukan ditetaskan di tempat ini. Hanya dalam hitungan jam, sudah ada dua telur yang menetas dan dipindahkan ke penangkaran.

“Sudah jam 4 sore. Ayo kita lihat maleo bermain dan bertelur,” ajak Mansur.

Ditemani Suleman Gobel, Mansur menyusuri pesisir pantai ke arah timur tanpa alas kaki. Dalam perjalanan tak sampai 10 menit itu, Mansur memperlihatkan pasir pantai yang banyak berlubang tempat maleo bertelur. Burung maleo jika bertelur, akan menggali beberapa lubang yang berfungsi sebagai jebakan untuk mengelabui predator. Namun Mansur bisa mendeteksi keberadaannya.

“Lihat di sana ada maleo menggali pasir,” ujar Suleman menunjuk.

“Iya betul. Itu pasirnya terangkat-,” kata Mansur.

 

Mansur Yasong sejak 1985 menjaga habitat maleo di kawasan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Keduanya lalu berjalan pelan dan kadang sedikit merunduk. Jarak ke tempat maleo bertelur sekitar 500-an meter. Dari kejauhan, burung itu seperti ayam hitam. Jumlahnya sekitar empat pasang. Maleo betina jika bertelur selalu ditemani jantan. Perilaku ini sering diamati Mansur.

“Biasanya hanya satu maleo menggali pasir dan mereka melakukannya bergantian. Yang satu lagi memantau sekitar. Jika sudah selesai, mereka menimbun telurnya bersamaan,” jelas Mansur.

Namun saat ia semakin dekat maleo, tiba-tiba seekor langsung lari dan diikuti lainnya. Hilang. Maleo pergi ke hutan. Memang sore itu, Mansur hanya ingin menunjukan bahwa maleo di Tanjung Matop masih banyak dan dengan mudah dijumpai. Untuk bisa melihat langsung maleo bertelur dan bermain, ia menyarankan agar datang lebih awal sebelum maleo turun menggali pasir.

“Waktu terbaik pagi. Besok subuh kita harus datang lebih awal, bersumbunyi di tempat pengintaian ini. Kita harus lebih dulu datang dari maleo,” ungkap Mansur.

 

Suleman Gobel memperlihatkan anakan maleo yang baru. Setelah itu, dipindahkan ke tempat penangkaran dan tidak lama kemudia dilepas ke alam bebas. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Karena pengetahuan, dedikasi, dan upayanya dalam menjaga maleo di Tanjung Matop, Mansur mendapat apresiasi. Tak tanggung-tanggung, pada 5 Juni 2004, saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Mansur Yasong diundang Presiden RI saat itu, Megawati Soekarno Putri ke Istana Negara di Jakarta.

Ia mendapat penghargaan Kalpataru, ajang bergengsi yang khusus diberikan negara kepada kelompok atau perorangan yang memiliki jasa melestarikan lingkungan hidup Indonesia. Ia juga diundang pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digelar di Surabaya.

Tugas Mansur Yasong sebagai penggali telur maleo dan merawatnya hingga menjadi anakan serta bisa kembali ke alam bebas, ikut membawa dampak terhadap penyelamatan maleo. Burung berstatus Genting [Endangered/EN] yang dilabeli IUCN [International Union for Conservation Nature], badan konservasi internasional dan terdaftar juga dalam Cites Appendiks I.

Saat ini, maleo masuk dalam arahan rencana strategis konservasi spesies nasional dan salah satu satwa prioritas nasional untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen setiap tahun.

Berkat dedikasi dan upaya mereka menjaga kawasan di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, angka keberhasilan hidup maleo meningkat. Dalam setahun rata-rata 600-an telur maleo menetas menjadi anakan, ditangkarkan, kemudian dilepas ke alam bebas di habitatnya, Tanjung Matop.

 

Tempat penangkaran maleo ini semacam penampungan, sebelum anakan maleo ini dilepasliarkan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Duka menjadi penjaga maleo

Pagi ketika matahari belum terbit, Mansur dan Suleman sudah bersiap. Keduanya berbagi peran. Suleman memantau maleo bertelur, jika sudah selesai Mansur menggali dan menyelamatkan telur-telur itu. Suara ombak terdengar jelas, menyapu pesisir pantai Tanjung Matop.

“Biasanya, maleo turun jam 06.00 pagi dan selesai menimbun telurnya dengan pasir pada jam 09.00 atau 10.00. Kita harus berada duluan di tempat pengintaian sekitar 05.30 pagi,” kata Mansur.

Tempat pengintaian berjarak 500 meter sebelah timur dari gubuk yang menjadi pos jaga. Mansur dan Suleman membuat tempat pengintaian berukuran 2X2 meter, dari daun-daun sekitar. Mereka menyebutnya “blind”. Maleo bertelur atau berkejaran, terlihat jelas dari tempat ini. Pagi itu, tak kurang 10 pasang atau 20 ekor maleo turun terpanyau.

Menurut Mansur dan Suleman, Agustus merupakan bulan terakhir maleo bertelur, sehingga tidak terlalu banyak. Awal maleo bertelur akhir Maret, puncaknya pada April, Mei, Juni dan Juli.

 

Burung maleo ketika akan bertelur di pesisir Tanjung Matop. Agustus menjadi musim pengujung maleo bertelur. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Setelah empat jam mengintai, maleo-maleo itu selesai menimbun telur, lalu pergi meninggalkan pantai. Mansur segera menggali telur, mengamankan dari ancaman predator. Kedalaman lubang, rata-rata 60 cm. Untuk mencari tahu keberadaan telur, Mansur membawa kayu kecil sepanjang 40 cm dengan diameter 0,5 cm. Kayu itu ditusuk ke pasir seperti mendeteksi keberadaan telur.

“Kayu ini lunak. Kalau terkena telur, tidak akan pecah. Kami menyebutnya kayu telur, karena memang digunakan khusus,” kata Mansur.

Tak sampai satu jam, Mansur mendapatkan lima butir telur maleo. Disela mencari telur itu, Mansur bercerita dukanya.

“Saya pernah dipukul orang hingga pingsan, berdarah. Sampai sekarang saya tidak tahu siapa pelakunya dan apa motifnya,” ungkap Mansur.

Saat itu, ia pulang dari Tanjung Matop menuju rumahnya di Desa Pinjan. Mansur berjalan kaki melewati pesisir dan juga perkebunan kelapa. Ketika menengok buah kelapa, ia mendengar suara orang dan tiba-tiba merasakan pukulan keras di kepalanya. Lalu gelap. Ia tak ingat apa-apa lagi. Ketika bangun, sudah bersimbah darah dikerumuni orang kampung yang menggotongnya.

 

Maleo disebut macrocephalon atau si kepala besar. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia

 

Kejadian pahit menimpa Mansur di tahun berikutnya. Menjelang siang sekitar pukul 11.00 Wita, 20 butir telur maleo sudah berada di keranjang. Dan ia masih menggali telur berikutnya. Tiba-tiba, angin kencang menerjang seperti badai. Posisinya yang sedang menggali terhempas, pasir beterbangan menghantam matanya. Perih. Ia berjalan pelan mencari tempat berteduh. Namun ia tak tahan dengan mata kirinya itu, digosok terus dengan tangan. Berharap rasa sakit hilang. Sejak itu, matanya tak bisa melihat.

“Saya sempat dioperasi di Makassar. Teman-teman dari RRI Tolitoli, RRI Palu, dan RRI Pusat yang menggalang dana. Namun mata saya tetap tak bisa melihat,” ungkap Mansur.

Tak hanya itu, peristiwa tidak mengenakkan, belum lama ini juga menimpa Mansur Yasong dan Suleman Gobel. Pagi ketika maleo bertelur, keduanya sempat berteriak ke perahu nelayan yang mencari ikan dengan cara melempar pukat. Tujuannya agar nelayan tidak merapat ke pantai dan menggangu maleo.

Namun tidak lama kemudian, 4 orang turun dan seorang menghunuskan parang. Mereka mendorong tubuh Suleman Gobel dan mengancam Mansur Yasong. Ketegangan terjadi. Beruntung tidak berlangsung lama. Setelah itu, mereka melaporkan 4 pelaku ke kantor polisi.

“Kerja kami menjaga maleo penuh suka duka. Tapi lebih banyak dukanya. Nyawa bisa terancam,” ungkap Mansur Yasong dengan tawa kecilnya.

Meski demikian, Mansur Yasong dan Suleman Gobel tak pernah lelah menjaga Kawasan Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop. Merawat dan melestarikan maleo dari segala ancaman kepunahan.

 

 

Exit mobile version