Mongabay.co.id

Merawat Tradisi Pasar Mambunibuni dengan Sistem Barter Hasil Bumi

 

Kabupaten Fakfak, Papua Barat, terletak di daerah ketinggian, sehingga jika berkunjung pada pagi hari dengan menggunakan pesawat jenis ATR 72/600, akan mengalami penundaan hingga siang hari. Sebab di pagi hari, kabut menyebabkan jarak pandang hanya 2 km. Padahal sementara dalam standar penerbangan, perlu jarak pandang 5 km di Bandara Torea, Fakfak.

Provinsi yang terkenal dengan keanekaragaman hayati terutama keindahan bawah laut ini, juga menyimpan beberapa kebudayaan peninggalan leluhurnya. Salah satunya, Pasar Mambunibuni. Pasar tradisional yang masih mempertahankan sistem barter.

Dari Kota Fakfak, menuju Kampung Mambunibuni, Distrik Kokas, memiliki jarak tempuh sekitar 60 km, dengan jalanan menanjak dan berkelok-kelok, dan diapit oleh tebing dan jurang dengan pepohonan lebat.

Pasar Mambunibuni hadir hanya pada Hari Sabtu, demi merawat tradisi leluhurnya, mengambil pangan dari bumi darat dan laut dengan seperlunya saja, tanpa eksploitasi besar-besaran. Jika di pasar biasa terjadi transaksi jual beli dengan uang, maka di Pasar Mambunibuni, hingga penghujung tahun 2019 ini masih melestarikan sistem barter.

baca : Cerita Daun Gatal Papua sampai Pasak Bumi Kalimantan

 

Warga Mambubuni dan sekitarnya dari pegunungan dan dari pesisir bertemu pada pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pasar yang diadakan hanya hari Sabtu ini masih mempertahankan kearifan lokal dengan sistem barter dalam perdagangannya. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Pasar Mambunibuni ini terletak di antara lembah dan hulu sungai. Dari sungai itulah menjadi jalan masuk bagi warga pesisir atau kepulauan, dengan menggunakan perahu ukuran sedang, bermesin memasuki ke Mambunibuni, dengan membawa hasil pangan dari laut, seperti ikan segar, ikan kering, atau ikan asar, dan kerang.

Sementara, pangan di darat seperti sagu, sayur-sayuran, pisang, umbi-umbian, sirih, pinang, dan kapur yang menjadi hal yang selalu wajib ada di tanah Papua.

Seperti pada hari Sabtu (10/8/2019) kemarin. Sejak pukul 05.00 WIT, masyarakat telah siap. Namun, tidak akan ada yang akan memulai proses tawar menawar atau tukar menukar sebelum ada komando dari kepala pasar.

Seorang lelaki paruh baya dengan pengeras suara, di tengah kerumunan itu adalah Baltasar Hegemur adalah Kepala Pasar Mambunibuni, yang dipercaya sebagai komando dimulainya proses barter.

Hur wa regni biwo in opeh rangge dewedop opeh rajeh? (mereka sudah turun dari gunung dan dari pantai, sudah turun semuakah belum?),” kata Baltasar.

Jika masyarakat menyebutkan sudah siap, maka sang kepala pasar akan menyebutkan rajeh yang berarti mulai. Maka terjadilah proses barter.

baca juga : Ramai-ramai Berkomitmen Selamatkan Sagu Papua

 

Seorang warga menjual hasil bumi dengan sistem barter di di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pasar ini masih mempertahankan kearifan lokal dengan masih menggunakan sistem barter dalam perdagangannya. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Ada yang bertukar pisang satu tandan dengan ikan asin. Ada yang menukar sagu dengan kerang, atau ikan segar dengan hasil perkebunan lainnya, tergantung dari kesepakatan mereka.

“Jadi semua masyarakat di sini memang sangat menghargai kesepakatan ini sejak turun temurun,” ujar Baltasar.

Kadir Herobat, salah seorang pemilik perahu mengatakan, dia setiap hari Sabtu subuh, akan mulai ke lokasi ini, dengan membawa hasil tangkapan nelayan, dengan menyusuri sungai, dengan waktu tempuh sekitar 15 menit saja.

“Saya memang baru beberapa tahun terakhir ini membawa perahu dan mengangkut hasil laut untuk dijual di sini, tapi kegiatan seperti ini sudah sejak lama, bahkan sejak saya kecil sudah ada,” ujarnya.

Salah seorang warga yang terlibat dalam sistem barter itu, Edison Rohrohmana, mengatakan, sistem tersebut dan dianggap tidak merugikan siapapun sejak dulu hingga kini. “Jadi kami memang saling bertukar makanan yang sudaah diolah atau yang belum,” ujarnya.

menarik dibaca : Ekowisata, Jawaban Persoalan Deforestasi Papua Barat?

 

Kerang menjadi salah satu barang yang diperdagangkan di Pasar Mambunibuni di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Pasar ini masih mempertahankan kearifan lokal dengan masih menggunakan sistem barter dalam perdagangannya. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Jefri Hindom, Penjabat Kepala Distrik Kokas, mengatakan, barter pangan ini memang menjadi tradisi yang patut dilestarikan, apalagi didukung oleh pemerintah Fakkfak, dengan adanya rencana pembangunan dan perluasaan jembatan, agar memudahkan akses para pemilik perahu saat menambatkan perahunya.

“Ada warga dari lima distrik yang ada di sini, sehingga pasar ini memang sangat ramai,” jelasnya.

Sementara, Bupati Fakfak, Papua Barat, Muhammad Uswanas menyebutkan, pasar barter ini adalah pasar tradisional yang sudah ada sejak dia lahir. Sebagai generasi lanjut, dia mengaku sudah seharusnya menjaga kearifan lokal yang mungkin sudah terkikis di Indonesia.

“Dulu ada di Teter, Kayoni, Kampung Timur, Samnggram, dan Weri. Namun, seiring perkembangan infrastruktur membuat pasar barter hal itu tidak ada lagi. Terkecuali daerah terjauh masih tetap mempertahankan seperti di sini (Mambunibuni),” jelasnya.

Sistem barter masih dijalankan, lanjutnya, bukan karena tidak bisa membangun persaingan ekonomi modern, tetapi warga berkomitmen untuk mempertahankan unsur tradisional.

“Saya harap paling tidak, jika terus mengalami perkembangan zaman, unsur barter ini bisa tetap dipertahankan 60%. Dan pemerintah tentunya sangat mendukung pasar sistem barter ini,” papar Muhammad.

baca juga : Melestarikan Papua Barat, Awali dengan Pengakuan Hak Tanah Adat

 

Warga pesisir Mambubuni distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat menggunakan perahu menuju Pasar Mambunibuni. Foto : Rahmi Djafar/Mongabay Indonesia

 

Dia menyebutkan, salah satu bentuk dukungan dari pemerintah yakni dengan membentuk tim evaluasi dan tim kerja untuk pembangunan jembatan. Sebab, saat ini, jika air laut surut, maka perahu milik warga pesisir dan Pulau tidak bisa melintas lagi, karena perahunya kandas, sehingga harus menunggu hingga malam untuk bisa kembali ke pesisir.

“Mungkin sekitar 50 meter akan kami bangun untuk tambatan perahu yang baik, Apalagi ini pasar tradisional barter yang menjaga nilai-nilai kita dalam mengenal ekonomi,” tandasnya.

Dia menyebutkan, kemajuan tidak berarti merusak kearifan lokal, termasuk berkomitmen menjaga keseimbangan lingkungan.

“Sebagai anak Fakfak, saya takut kalau ini (pasar barter) hilang. Generasi saya saja sudah lupa-lupa ingat, sehingga harus terus dipertahankan,”

“Kita punya keluarga bisa pertemukan pantai dan darat (gunung) dan pasar ini hanya untuk memenuhi kebutuhan, barter tidak boleh hilang, keuntungan sedikit, tapi nilai-nilainya yang dipertahankan,” tambahnya.

 

Exit mobile version