- Dalam perayaan HIMAS dan HUT AMAN ke-20 di Taman Ismail Marzuki, satu film dokumenter masyarakat adat berjudul “Hidup dan Tanah” bercerita soal daun gatal, yang tumbuh liar di Papua. Tumbuhan ini jadi senjata ampuh dalam mengobati berbagai penyakit.
- Hutan Papua, merupakan supermarket bagi masyarakat adat di sana. Mereka mengibaratkan hutan seperti kartu ATM yang ditinggalkan oleh leluhur mereka buat generasi penerus. Tumbuh-tumbuhan yang hidup bisa dimanfaatkan setiap saat.
- Komunitas adat juga menampilkan berbagam hasil hutan, termasuk pbat-obatan, seperti Komunitas Masyarakat Adat Kereng Bengkerai menjual obat-oabt tradisional sebagai produk unggulan Suku Dayak Kalimantan Tengah. Ada pasak bumi, seluwang belum, bawang Dayak, kunyit putih dan sekitar 41 macam akar-akaran lain yang bisa untuk menyembuhkan penyakit.
- Salah satu yang menyedot perhatian dalam perayaan HIMAS dan HUT ke-20 AMAN lalu, adalah permainan tradisional oleh anak-anak sekolah adat dari berbagai daerah, antara lain, sekolah adat Kampoeng Batara, Tonussa Hatalepu, Inang Na Uli Basa, Samabue, Bowonglangit, Punan Semeriot, dan Bayan.
”Alam telah menyediakan apa yang manusia butuhkan.” Begitulah petikan pembuka film “Hidup dari Tanah” yang ditayangkan dalam The Indigeneous Peoples Cinema Week (IPCW) 2019. Film yang disutradarai Faizal Abdul Aziz bercerita tokoh, Agus Kalalu dari Suku Moi Kelim, Sorong, Papua Barat, dan daun gatal.
Daun gatal, yang tumbuh liar di Papua jadi senjata ampuh dalam mengobati berbagai penyakit. Daun gatal mudah ditemui di hutan Papua. Daun lebar, bagian bawah memiliki bulu-bulu halus. Bagian itulah yang dibalurkan pada bagian tubuh yang sakit.
”Kalau kami sakit, pakai daun gatal, kalau perut sakit digosok di perut, atau di kepala atau kaki. Bahkan, sampai ada yang diikat di kepala,” kata Agus Kalalu, dalam film yang dipusat memperingati Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) dan HUT 20 tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. .
Bagi yang pertama kali pakai, kulit seperti ditusuk-tusuk duri dan bentol seperti terkena ulat bulu. Lama kelamaan rasa sakit hilang seiring dengan hilangnya rasa pegal.
Dia punya satu hektar lahan yang panen seminggu tiga kali. Bila dijual, Agus bisa mendapatkan Rp600.000– Rp1 juta sekali panen.
Bagi Suku Moi Kelim, daun gatal, obat leluhur juga bernilai ekonomi tinggi.
Baru-baru ini, di Kalimantan Tengah, heboh dengan temuan penelitian siswa soal tumbuhan babajak bisa menyembuhkan kanker. Sebenarnya, tumbuhan ini merupakan obat turun menurun, masyarakat adat di Kalimantan. Bukan hal baru, kalau di hutan-hutan adat itu merupakan apotik raksasa. Dalam satu hutan adat saja, bisa ribuan tumbuhan obat.
Begitu juga hutan di Papua, merupakan supermarket bagi masyarakat adat di sana. Mereka mengibaratkan hutan seperti kartu ATM yang ditinggalkan oleh leluhur mereka buat generasi penerus. Tumbuh-tumbuhan yang hidup bisa dimanfaatkan setiap saat.
Papua Barat, memproklamirkan menjadi provinsi konservasi pertama di dunia. Inisiatif yang berani dengan menjaga sumber daya alam. ”Kami membangun komitmen terhadap pengelolaan hutan dan laut kita. Ini sesuatu yang esensial dan penting, dengan membuat perdasus pembangunan rendah karbon, penataan tata ruang dan pengakuan hak wilayah adat,” kata Charlie D. Heatubun, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat.
Pemerintah Papua Barat, katanya, mengedepankan investasi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
”Kita sedang membuat green design ekonomi berkelanjutan, ekonomi hijau berbasis hutan dan lahan, ekonomi biru berbasis kekayaan laut dan ekonomi jingga terkait kreativitas dan inovasi masyarakat.”
Pengembangan ekoturisme dan komoditas lokal masyarakat adat, katanya, menjadi keunggulan pemerintah daerah, bukan lagi bisnis skala besar. ”Sepanjang sejarah dan penelitian, sawit tidak pernah mensejahterakan masyarakat Papua.”
Untuk itu, Papua Barat, akan kaji ulang izin konsesi HPH dan perkebunan sawit. Kalau izin tidak layak, maka lahan akan kembali ke masyarakat adat untuk dikelola lebih produktif dan berkelanjutan.
Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan AMAN Nasional mengatakan, masyarakat adat memposisikan diti bukan sebagai penguasa alam, tetapi bagian dari alam.
Kampung-kampung adat yang masih kental dan menjunjung tinggi kearifan lokal, budaya ini, kata Abdon, adalah masa depan Indonesia. ”Tidak sulit bagi Indonesia sebenarnya mengurangi emisi karbon dan mencegah keragaman hayati dari kepunahan dengan mengakui masyarakat adat.”
Media bercerita
Film dokumenter yang ditampilkan dalam IPCW menjadi media dalam menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat kampung. Langkah ini juga memberikan pemahaman kepada para masyarakat luas untuk bercerita bagaimana masyarakat adat bertahan menghadapi krisis lingkungan dan bagaimana menjaga hutan dan wilayah adat.
”Membuat film itu menjadi penguatan bagaimana masyarakat adat bisa bangkit dan berani menceritakan tentang kampung dan ancaman yang dihadapi saat ini,” kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN.
Nanang Sujana, pembuat film mengatakan, film dokumenter masyarakat adat ini menyadarkan kembali tentang keberagaman yang dimiliki Indonesia.
”Indonesia itu punya akar dengan keberagaman masyarakat. Semoga ini ( pesan dari IPCW 2019-red) bisa ditangkap oleh masyarakat di metropolitan. Bahwa, keragaman di daerah itu bisa menjadi fondasi dan akar dari Indonesia,” katanya.
Sutradara dalam film dokumenter “Kesepakatan Rahasia Hancurkan Surga Papua” ini mengatakan, masyarakat lokal menginginkan arah pembangunan berkeadilan bagi mereka dan mendapatkan porsi pembangunan tanpa kehilangan martabat dan tanah. Pesan ini, katanya, seringkali sulit dimengerti masyarakat maupun pemerintah.
Kekayaan dan keberagaman seni budaya
Dalam HIMAS dan HUT ke-20 AMAN di TIM, 9-11 Agustus lalu, mulai dari pameran foto, pameran kerajinan tangan, pangan lokal, obat, budaya dari masyarakat adat dipertunjukkan.
Cerita-cerita dari komunitas adat, dan berbagai permainan trandisional hadir di tengah masyarakat Jakarta.
Saat memasuki Teater Kecil TIM terpampang partisi-partisi yang bercerita visual soal masyarakat adat, seperti, kearifan lokal masyarakat adat dalam memintal kapas jadi kain, budaya gawai gedang di Masyarakat Talang Mamak, Riau dan banyak lagi.
Pameran produk lokal, kerajinan tangan, obat-obatan, budaya dan karya hadir membawa cerita keseharian masyarakat adat. Pondok-pondok bambu memamerkan karya mereka.
Ada dari Maluku dan Maluku Utara, Komunitas Osing (Banyuwangi), Lombok Utara, Mentawai, Meratus, Tano Batak, Baduy, Tana Toraja, Flores, Talang Mamak, Moi Kelim dan lain-lain.
Kameliati, dari Komunitas Masyarakat Adat Kereng Bengkerai menjual beberapa obat tradisional sebagai produk unggulan Kalimantan Tengah dari Suku Dayak. Ada pasak bumi, seluwang belum, bawang Dayak, kunyit putih. “Juga ada sekitar 41 macam akar-akaran lain yang bisa untuk menyembuhkan penyakit,” katanya.
Melalui pemasaran tanaman obat dari lahan pertanian sendiri, dia pun mampu meningkatkan kesejahteaan dan membangun ekonomi keluarga. Ke depan, dia hendak bergabung dengan perempuan AMAN untuk bersama-sama mengelola dengan masyarakat sekitar untuk meningkatkan ekonomi.
Ada permainan tradisional oleh anak-anak sekolah adat dari berbagai daerah, antara lain, sekolah adat Kampoeng Batara, Tonussa Hatalepu, Inang Na Uli Basa, Samabue, Bowonglangit, Punan Semeriot, dan Bayan.
Permainan tradisional ini memperlihatkan kekayaan budaya nusantara. Ada permainan turngup-tungup dari Batak Toba.
“Permainan ini untuk melatih mengenal teman-teman dan mengidentifikasi teman,” kata Juita Manurung, dari sekolah adat Inang Na Ulo Basa.
Marolop Manalu, koordinator acara mengatakan, permainan oleh anak-anak sekolah adat ini penting lestari dan dikenalkan kepada generasi muda. “Permainan ini bagian dari pengetahuan yang diwariskan leluhur.”
Ada juga permainan lipong fi’at dari Kalimantan Utara, konon ini cara menyelamatkan diri dari harimau. Ia permainan tangan dengan buah defai dan rotan.
Kemudian, banyak lagi permainan macam, ning ning se, gemgem tanaq garu, lappedang, bulan bintang, dhar dhar pereng, dhar dhar batok, benteng, asen-asen, pang’ka gasing, basilat, a’denda. Juga, a’bangnga, pebak haeng, pelumpa’ nyupit, semprak, selentik, margala, pu’ karupu’an, pos katapos, enggo basambunyi, bom bom, porlos, panca ben, cimpluk, dan anak kayu.