Mongabay.co.id

Organisasi Masyarakat Sipil: Pidato Jokowi Kurang Tunjukkan Komitmen Lingkungan

Seorang petugas berlari menghindari asap saat terjadi kebakaran hutan Gunung Panderman, Kota Batu, Jawa Timur, pada Senin, (22/07). Berdasarkan laporan petugas di lokasi, ada satwa kera ekor panjang yang turun sampai ke kaki Gunung Panderman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Kita sedang menghadapi dinamika ekonomi global yang terus bergejolak dan menghadapi perubahan geopolitik. Krisis ekonomi melanda beberapa belahan dunia, krisis iklim mengancam dunia kerusakan lingkungan menjadi ancaman kita bersama.”

Begitu bunyi pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8/19). Jokowi ingin menggambarkan betapa kondisi dunia tak pasti, dan tak terduga.

Apalagi Indonesia, katanya, di kelilingi ring of fire hingga bencana bisa tanpa terduga. Hampir seluruh wilayah Indonesia, kata Jokowi, rentan bencana. “Gempa bumi, tanah longsor gunung meletus, tsunami, kebakaran hutan, banjir. Sikap sigap dan waspada menghadapi ketidakpastian sangatlah penting!”

Pembangunan Indonesia, katanya, harus sensitif berbagai risiko. “Infrastruktur harus disiapkan mendukung mitigasi risiko bencana. Masyarakat juga harus waspada dan sadar risiko.”

Isi pidato lainnya, Jokowi singgung soal peningkatan sumber daya manusia, dan penguasaan teknologi agar keluar dari kutukan sumber daya alam. “Memang negara kita ini kaya bauksit, batubara, sawit, ikan, dan masih banyak lagi. Tapi tidak cukup di situ. Kalau kita hilirisasi industri kita pasti bisa melompat lagi,” katanya.

Dia bicara soal membangun industri pengolahan bauksit hingga impor alumina tak perlu, termasuk hilirisasi batubara hingga bisa mengurangi impor jutaan ton LPG setiap tahun. “Kita bangun hilirisasi industri nikel menjadi ferro nikel hingga nilai tambah nikel kita akan meningkat empat kali lipat.” Jokowi juga singgung pengembangan B20, B30 sampai B100.

Kalangan organisasi masyarakat sipil menilai, pidato Jokowi kurang menunjukkan komitmen serius memperbaiki kualitas lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

“Pidato Jokowi terlalu elitis. Fokus pada capaian lembaga tinggi negara tanpa bicara kualitas dari capaian itu,” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) saat dihubungi Mongabay, Jumat (16/7/19).

Dodo, sapaan abranya, mengatakan, pidato Jokowi seperti disusun istana untuk istana pula. Dalam pidato tak melihat problematika lapangan, seperti persoalan kebakaran hutan dan lahan, lubang tambang, ruang hidup rakyat terampas, dan lain-lain.

“Seharusnya, itu diangkat dan jadi refleksi bersama dengan seluruh lembaga negara yang hadir,” katanya.

Khalisah Wahid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional mengatakan, Jokowi dalam pidato bilang Indonesia sedang menghadapi dinamika ekonomi global yang terus bergejolak dan menghadapi perubahan geopolitik.

“Krisis iklim dan kerusakan lingkungan sebagai tantangan global disebutkan dalam pidato. Artinya, presiden telah memahami kondisi krisis, bahwa perubahan iklim menciptakan kondisi genting untuk segera diatasi. Namun, presiden tak menyampaikan tegas langkah revolusioner mengatasi krisis atau kegentingan karena krisis iklim dan kerusakan lingkungan.”

“Kami belum melihat penyelesaian persoalan struktural menghadapi risiko bencana, karena tak juga disebutkan perubahan model pembangunan yang justru memicu risiko-risiko yang akan dihadapi oleh rakyat,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Menurut dia, tawaran solusi presiden tak tepat dalam menjawab ancaman atau permasalahan besar itu. Bahkan, , tawaran mendorong ke pengembangan B20, B30 dan bahkan B100, justru makin memperbesar ancaman krisis.

“Mengejar program B20, B30 dan B100 makin meningkatkan penggunaan biofuel akan beriringan dengan peningkatan kebutuhan lahan. Kami mengkhawatirkan praktik perampasan tanah akan makin meningkat.”

 

Lubang bekas tambang batubara yang merenggut nyawa.  Aktivitas pencarian jenazah almarhum Alif di lubang bekas tambang. Foto dok Jatam Kaltim

 

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pidato kenegaraan presiden hambar, tak mengupas masalah fundamental bangsa. Pancasila, katanya, sebagai ideologi bangsa sebatas mantra pidato politik, yang tak tercermin sebagai spirit berbangsa dalam membangun Indonesia ke depan.

“Akibatnya, aspek keadilan sosial dan kemanusiaan yang dinantikan rakyat kecil terdengar tenggelam. Masalah-masalah struktural yang diakibatkan distribusi kekayaan nasional mengalir di segelintir kelompok, seperti ketimpangan, konflik agraria dan kemiskinan petani, penggarap, buruh tani, nelayan dan masyarakat adat, tak sedikit pun disinggung,” katanya.

Inovasi perlu dan penting dalam memghadapi kompetisi global, katanya, tetapi tak akan mampu menjawab masalah keadilan sosial negeri. Termasuk, proses hilirisasi industri sekadar mengejar produktivitas, tanpa memperkuat badan-badan usaha milik rakyat, koperasi petani, koperasi nelayan, dan tetap menyerahkan pada usaha-usaha raksasa akan makin memperparah ketimpangan.

“Ironi pula berbicara agar birokrat tak kaku membuat terobosan karena dibelenggu peraturan perundang-undangan. Sementara puluhan ribu desa dan tanah rakyat berada dalam konsesi-konsensi perkebunan dan kehutanan, termasuk diklaim aset kekayaan negara membuat hak konstitusi rakyat tak kunjung dipenuhi karena kekakuan birokrat.”

Sisi lain, kata Dewi, demi penyusunan RUU seperti RUU Pertanahan , yang penuh kontroversi, pemerintah dan DPR sibuk studi  banding ke luar negeri. Sayangnya, melupakan etika konsultasi publik yang memadai dengan rakyat kecil justru jadi pihak paling terdampak oleh produk UU.

Sebelumnya, berbagai kalangan organisasi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan juga memberikan masukan agar presiden tegas menyampaikan komitmen terkait perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.

“Presiden Jokowi sekarang mengalami fase transisi dan juga akan memegang tampuk tertinggi. Isu-isu lingkungan dan sumber daya alam, maupun gagasan terkait perlindungan rakyat, itu hilang. Saya pikir itu yang harus dijawab dalam pidato kenegaraan,” kata di Jakarta, Kamis (15/8/19).

Dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan linkungan, ada problematika cara berpandang presiden. Dalam pidato bertajuk Visi Indonesia yang disampaikan pasca terpilih, Jokowi menyoroti soal pembangunan sumber daya manusia, ditopang kesehatan dan pendidikan. Tetapi, dia alpa menyebut, kualitas sumber daya manusia terpengaruh dengan kualitas lingkungan.

“Ada dikotomi manusia dengan aspek diamana dia tinggal, yaitu lingkungan. Bagaimana bisa kualitas sumber daya manusia baik, kalau anak-anak di Palangkaraya, Kalteng terpapar asap. Ada problementika besar luput dan harus dijawab.”

Selama ini, katanya, pemerintah seringkali melihat alam sebagai benda yang terbentang buat eksploitasi. Dalam berbagai pidato, narasi selalu soal eksploitasi sumber daya alam dan investasi. Pandangan ini yang harus diubah.

Presiden Jokowi, kata Dodo, seringkali melemparkan berbagai gagsan investasi, pembangunan ekonomi dan reformasi birokrasi. Sayangnya, terkait gagasan besar perlindungan lingkungan, seringkali tak muncul.

 

Saat ini saja udara Jakarta sudah penuh polusi salah satu oleh transportasi dan sebaran dari pembangkit batubara, apatah lagi kalau pembangkit-pembangkit baru batubara bakal beroperasi. Foto: dari laporan Greenpeace/ Mongabay Indonesia

 

Senada dikatakan Alin. Dalam konteks visi indonesia 2045, dinyatakan sumber daya manusi jadi tulang punggung. Sayangnya, sumber daya manusia terancam kerusakan lingkungan yang masih persoalan.

“Lingkungan hidup rusak mengancam potensi bonus demografi sumber daya manusia Indonesia,” katanya.

Dia yakin, dalam pidato kenegaraan presiden besok, akan lebih banyak menyasar persoalan ekonomi. Hanya, dia menyarankan konteks pembangunan berkelanjutan jadi konsen.

Alin bilang, pemerintah tak bisa lagi terus mengikuti pola pembangunan saat ini. Kalau terus jalan, katanya, berpotensi besar menjebak Indonesia pada krisis ekonomi.

Contoh, penentuan harga crude palm poil (CPO) atau hasil tambang, seringkali Indonesia tak berdaya dengan mekanisme harga pasar global. “Kita tak berdaulat, harga tergantung pasar, ada kerentanan masyarakat. Berharap, presiden bisa menjawab tantangan itu dan mengubah model pembangunan saat ini.”

Astrid Puspitasari dari Sawit Watch menekankan, soal industrialisasi elapa sawit di Indonesia. Berdasarkan catatan, perizinan di Indonesia terkait sawit sudah 22,2 juta hektar. Sayangnya, tata kelola kebun sawit masih buruk.

“Di tengah perang dagang ekonomi global, harga minyak sawit makin turun, itu bukti kita tak bisa hanya mengekspor bahan mentah. Kita harus bisa mendorong hilirisasi produk minyak mentah dalam negeri,” katanya.

Gladi Hardiyanto dari Kemitraan mengatakan, pemerintah harus mengedepankan tata kelola pemerintahan yang baik termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. “Harus ada komitmen transparansi dan akuntabilitas, misal, soal transparansi data konsesi, HGU dan lain-lain.”

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional ingin melihat janji perubahan dalam pidato presiden. Dalam berdekade negara ini berjalan, katanya, ada banyak hal tak berubah, terutama perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.

“Ada yang salah dalam cara pemerintah melihat pembangunan. Pemerintah selama masih melihat aktor utama pembangunan adalah korporasi atau unit-unit usaha bermodal besar.”

Pemerintah, katanya, tak bisa lagi memberikan ruang berlebih kepada korporasi sebagai aktor utama pembangunan. Seharusnya, kata Yaya, panggilan akrabnya, memberikan kesempatan kepada rakyat jadi aktor utama pembangunan.

Dia benarkan, pemerintah sudah jalankan program reforma agraria dan perhutanan sosial. Tetap saja, katanya, warga sulit mendapatkan karena harus memenuhi syarat panjang dan berbelit. “Sangat berbeda dengan perlakuan kepada perusahaan yang dijanjikan perizinan selesai dalam waktu tiga hari,” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Kebakaran hutan dan lahan bencana berulang. Seorang petugas berlari menghindari asap saat terjadi kebakaran hutan Gunung Panderman, Kota Batu, Jawa Timur, pada Senin, (22/07). Berdasarkan laporan petugas di lokasi, ada satwa kera ekor panjang yang turun sampai ke kaki Gunung Panderman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tata kelola buruk bikin konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di mana-mana. Banyak terjadi tumpang tindih antara lahan masyarakat dengan pegusaha, maupun antara satu izin usaha dengan izin lain, Foto: Agapitus Batbual

 

Exit mobile version