Mongabay.co.id

Kalpataru buat Masyarakat Adat Penyelamat Lingkungan dari Merangin

Hutan adat Serampas nan terjaga. ia memberikan begitu banyak manfaat bagi masyarakat. Foto: KKI Warsi

 

 

 

 

Masyarakat adat Serampas di Desa Rantau Kermas, menerima penghargaan Kalpataru dari Pemerintah Indonesia, tahun ini. Penghargaan bidang lingkungan kategori penyelamat lingkungan  tersemat kepada kelompok pengelola hutan adat Depari Kara Jayo Tuo di Kabupaten Merangin, Jambi, ini.

Hidup di perbukitan pada ketinggian 900-1.800 meter, masyarakat adat Serampas, memiliki banyak lembah dan sungai berarus deras. Hutan di desa yang menyangga tebing jadi bagian terpenting untuk selalu terjaga. Masyarakat Desa Rantau Kermas menyebutnya dengan hulu aek atau hulu air.

 Baca juga: Buah Manis Masyarakat Adat Serampas dalam Menjaga Hutan

Puncak tertinggi dari desa ini adalah Gunung Masurai. Danau Depati Empat, di bagian bawah. Dari semua keindahan itu, ada bahaya longsor kala mereka salah urus.

“Kami mengelola kawasan ini berdasarkan adat. Desa kami berada di bukit. Jika kami salah kelola, bencana akan datang,” kata Hasan Apede, Kepala Desa Rantau Kermas.

Sejak dulu, adat Serampas, begitu ketat mengatur kawasan hulu air dan lereng perbukitan. Kawasan itu jadi sumber air dan daerah terlarang untuk perladangan.

“Kalau ada yang buka lahan, atau nebang pohon akan kena sanksi adat,” katanya.

 

Kayu manis, komoditas selain kopi di masyarakat adat Serampas. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2017, masyarakat adat menangkap tiga orang luar yang ketahuan membuka lahan di hutan adat. Adat Serampas mengatur, ladang dan sawah hanya boleh dibuka di kawasan Ajun Arah, di bawah hulu air.

Perlindungan kawasan hutan adat ini awalnya hanya disepakati lisan. Aturan tertulis untuk perlindungan kawasan dengan sebutan hutan adat mulai berlaku pada 2000. Saat itu, masyarakat Rantau Kermas menyepakati peraturan desa Nomor 01/kades/RK/3/2000 tentang kelompok pengelola, sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat.

Perdes yang ditetapkan 16 April 2000 itu berlaku hingga sekarang. Ia jadi dasar pengajuan hak kelola hutan kepada Bupati Merangin. Perlu waktu panjang dan harus berulang kali mengajukan usulan agar hutan adat Rantau Kermas juga kawasan penyangga TNKS itu diakui Bupati Merangin.

Setelah lima tahun, pengakuan bupati baru datang melalui SK No.146/Dishunhut /2015, menetapkan areal 130 hektar di dua lokasi sebagai hutan adat Desa Rantau Kermas. Ia kemudian diikuti SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.6741/Menlhk-pskl/kum.1/12/2016 tentang penetapan hutan adat Marga Serampas Rantau Kermas.

Hutan adat ini jadi satu dari lima skema perhutanan sosial yang menjadi program pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat di kawasan hutan.

Pada 2019, Kelompok pengelola hutan adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas dianugerahi Kalpataru kategori penyelamat hutan. Penghargaan ini sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, lewat surat bernomor 416 tentang Penerimaan Kalpataru 2019 yang diteken 28 Juni 2019.

“Pengakuan ini bentuk penghargaan untuk masyarakat yang sudah mengelola hutan dengan baik, di tengah ancaman makin tinggi,” kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf.

Dalam catatan KKI Warsi, sepanjang 2012-2016, tutupan hutan di Jambi, hilang sekitar 189.125 hektar, setara delapan kali lapangan bola per jam. Data analisis citra satelit Lansat 8 menunjukkan, tutupan hutan di Jambi, tersisa 900.000 hektar dari luas hutan 2,054 juta hektar.

Warsi mendampingi masyarat Desa Rantau Kermas sejak 1996, melalui pre implementasi program integrated conservation and development project (ICDP) pada Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

 

Kawasan hutan adat masyarakat adat Serampas di Kabupaten Merangin

 

 

Sumber listrik

Hidup jauh dari ibukota Kabupaten Merangin, membuat masyarakat adat Serampas sulit mendapatkan listrik PLN. Perlu tiga jam perjalanan dari ibukota kabupaten untuk sampai ke desa.

Meskipun begitu, pemenuhan listrik bukan masalah kala aliran Sungai Batang Langkuk, yang membelah desa begitu deras dan mereka jadikan penggerak genetaror pembangkit mikro hidro. Air ini pun bisa mengalirkan listrik berkapasitas 41.000 watt ke rumah-rumah warga.

Sekarang 127 keluarga, bisa menikmati listrik. Hutan yang lestari membuktikan mampu menjaga aliran sungai tetap stabil sepanjang tahun.

“Kami tak menyangka dengan menjaga hutan kami bisa hidup seperti orang di kota, malahan tidak ada istilah listrik mati,” kata Hasan Apede.

Menurut Rudi, apa yang dilakukan masyarakat Desa Rantau Kermas, menujukkan, masyarakat adat mampu menjaga hutan adat dengan baik. Mereka juga mampu mencegah bencana ekologis, sekaligus mendapatkan manfaat nyata dari hutan.

“Sekarang mereka bisa menikmati listrik 24 jam nonstop dengan biaya murah. Juga ada pengembangan kopi Serampas yang sudah mulai menembus pasar premium,” kata Rudi.

Gushendara, Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Jambi, menyebut, kalpataru yang diraih masyarakat Serampas pertama di Jambi.

“Kalau dari izin perhutanan sosial ini (kalpataru) yang pertama.”

Dia meyakini, dengan sistem pengelolaan hutan lestari, masyarakat di hutan bisa sejahtera sekaligus mencegah perambahan.

“Saat hutan itu dijaga masyarakat lokal, orang luar (perambah) akan sulit masuk. Karena mereka tahu kalau hutan rusak, mereka yang pertama kali kena dampak.”

Gushendra berharap, skema perhutanan sosial bisa menjaga sisa tutupan hutan di Jambi, tak terus tergerus.

 

Keterangan foto utama:  Hutan adat Serampas nan terjaga. ia memberikan begitu banyak manfaat bagi masyarakat. Foto: KKI Warsi

 

 

Exit mobile version