Mongabay.co.id

Aneka Potensi dari Kawasan Pulau Terluar Samudera Pasifik

 

Seruan Nawa Cita ‘Membangun dari Pinggiran’ mulai menggema ke seantero Indonesia setelah Joko Widodo terpilih sebagai Presiden RI pada 2014. Sejak saat itu, pulau-pulau dan juga kawasan pinggiran yang sebelumnya sering dilupakan oleh pembangunan, secara perlahan mulai menjadi tokoh utama dalam rencana pembangunan nasional.

Lima tahun setelah Nawa Cita berlayar di lautan Nusantara, semakin banyak pihak yang menyadari keberadaan pulau kecil dan terluar yang menjadi bagian dari negara kesatuan RI (NKRI). Lembaga yang paling serius memperhatikan, salah satunya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada 2018, lembaga riset Negara itu menggelar ekspedisi pulau terluar bersama 55 orang peneliti.

Adapun, pulau terluar yang menjadi objek penelitian, adalah pulau Yiew (Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara), pulau Budd, pulau Fani (Kabupaten Sorong, Papua Barat), pulau Brass, pulau Fanildo (Kabupaten Supiori, Papua Barat), pulau Liki (Kabupaten Jayapura, Papua), pulau Bepondi (Kabupaten Biak Numfor, Papua), Meossu yang terdiri dari dua pulau, yakni pulau Amsterdam dan pulau Middelburg (Kabupaten Tambrauw, Papua Barat), serta satu gugusan kepulauan Ayau (Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat).

Meski jumlah pulau yang didatangi oleh tim ekspedisi tak semua, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan kalau pulau-pulau tersebut tetaplah berharga dan menjadi aset Negara. Sepuluh pulau dan satu gugusan pulau yang menjadi bagian dari 111 pulau terluar tersebut, juga harus mendapat perhatian dan perlindungan dari Pemerintah Indonesia.

Pulau-pulau tersebut, adalah bagian terdepan NKRI karena berbatasan langsung dengan negara tetangga, termasuk dengan Samudera Pasifik. Namun sayangnya, pulau-pulau tersebut masih belum diketahui publik, mengingat sangat minim informasi tentang mereka. Padahal, ada potensi sumber daya alam di setiap pulau yang akan bermanfaat untuk Negara dan masyarakatnya.

“Itu yang mendorong LIPI untuk melakukan ekspedisi Nusa Manggala dari Oktober hingga Desember 2018,” ujarnya.

baca : Ekspedisi Laut Dalam Selatan Jawa, Peneliti Temukan Berbagai Spesies Tak Biasa

 

Para peneliti dalam ekspedisi Nusa Manggara LIPI yang meneliti potensi sumber daya alam di pulau-pulau terluar di Papua dan Maluku. Foto : Sumaryanto Bronto/Media Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Batas Laut

Tentang pemilihan pulau-pulau tersebut, menurut Laksono, didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka adalah kawasan perbatasan laut Indonesia dengan negara lain dan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.26/2008 tentang Kawasan Strategis Nasional. Sebagai kawasan perbatasan, kehadiran Negara sangat dibutuhkan sampai kapan pun.

“Ekspedisi Nusa Manggara merupakan salah satu bukti kehadiran Negara di pulau-pulau terluar,” sebutnya.

Pentingnya keberadaan pulau-pulau tersebut, diakui juga oleh Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin. Menurut dia, Ekspedisi Nusa Manggara menjadi kegiatan penelitian untuk menggali data dan informasi berkaitan dengan sumber daya alam hayati dan non hayati di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) Indonesia.

“Kegiatan ini bertujuan mengidentifikasi pandangan, konsep pengelolaan dan best practices pengelolaan sumber daya pesisir di pulau-pulau kecil terluar untuk memberikan rekomendasi pengelolaan pulau-pulau terluar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta karakteristik sumber daya alamnya,” terang dia.

Selama melakukan ekspedisi yang berlangsung 60 hari, Zainal mengatakan bahwa tim melaksanakan penelitian untuk bidang ekologi, daya dukung lingkungan, sosial kemanusiaan, dan geomorfologi. Dalam proses yang memakan daya jelajah sejauh 6.000 kilometer itu, tim menemukan berbagai fakta menarik yang selama ini belum diketahui publik.

baca juga : Ekspedisi LIPI 2015 Ungkap Biodiversity Dan Biogeokimia Di Samudra Hindia

 

Seorang peneliti dalam ekspedisi Nusa Manggara LIPI meneliti keaneragaman hayati di pulau-pulau terluar di Maluku dan Papua. Foto : Sumaryanto Bronto/Media Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Di antara fakta tersebut, adalah tentang penemuan salah satu atol terbesar di Indonesia dengan luas area mencapai lebih dari 3.000 hektare. Atol tersebut ditemukan saat tim ekspedisi menjelajah pulau Brass dan Fanildo di kepulauan Mapia. Penemuan Atol itu turut dikonfirmasi juga oleh Koordinator Ekspedisi Nusa Manggala Dirhamsyah.

Menurut dia, atol yang ditemukan itu menjadi habitat unik bagi beragam biota laut sepertu karang hias Lobophyllia, Physogyra, dan Cynarina lacrimalis. Tak cukup di situ, sebagai salah satu atol terbesar di Indonesia, hampir semua jenis kerang kima yang jumlahnya mencapai tujuh jenis di Indonesia, juga bisa ditemukan di sana.

“Dengan tambahan lagi, ada sebaran baru kehadiran jenis di Indonesia, yaitu Tridacna noae,” jelasnya.

Diketahui, atol adalah karang di laut yang membentuk lingkaran dengan formasi menyerupai cincin. Lubang yang dikeliling karang tersebut, kemudian menjadi perairan unik dan disukai oleh beragam biota laut. Di Indonesia, atol terbesar tetap ada di Taman Nasional Takabonerate, Sulawesi Selatan.

menarik dibaca : Kala Ekspedisi LIPI Temukan Tikus Baru di Sulawesi

 

Ekspedisi Nusa Manggara LIPI menemukan atol terbesar di Indonesia dengan lingkaran cincin terumbu karang yang utuh di Pulau Bras dan Fanildo. Foto : Sumaryanto Bronto/Media Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Rumah Kima

Koordinator tim peneliti Leg 2 I Wayan Eka menambahkan, penemuan menarik juga didapat saat tim meneliti kawasan pulau Meossu. Di sana, diketahui bahwa ada potensi kekayaan hayati dan non hayati yang banyak dan juga ada peninggalan sejara yang dominan dan ditemukan di perairan yang dangkal.

Di antara kekayaan hayati yang ditemukan, adalah terumbu karang yang terdiri dari 200 jenis dengan komposisi oleh Genus Porites bercabang, Isopora, Acropora, Pocillopora, Heliopora, dan Galaxea, serta komunitas karang lunak yang. Di dalam ekosistem terumbu karang yang ditemukan, juga ada biota laut yang bernilai ekonomi tinggi.

Sebut saja, kima (Tridacna sp.), siput lola (Tectus miloticus), dan teripang (Holothuroidea sp.). Bahkan, untuk kima, di satu lokasi, bisa ditemukan dengan kepadatan hingga 680 individu per ha.

Wayan menambahkan, berdasarkan data terbaru pada 2018, luas rataan terumbu karang di Meossu mencapai 1.530,7 ha yang terdiri dari 285,5 ha adalah zona habitat karang, 221,8 ha adalah zona habitat lamun, dan 428,3 ha adalah zona tutupan pasir, serta 595,2 ha adalah kawasan yang tertutupi substrat campuran.

Semua potensi di atas, ternyata menurut dia belum mencakup potensi yang ada di dalam perairan laut dalam wilayah pengelolaan perikanan RI (WPP RI) 717 yang mencakup kawasan Samudera Pasifik. Padahal, pada 2017 saja, diketahui kalau potensi subkategori perikanan sudah mencapai Rp4,671 miliar.

baca juga : Temuan LIPI Ini Kemungkinan Jenis Katak Baru dari Sulawesi

 

Di atol Pulau Bras dan Fanilldo, ditemukan beberapa spesies terumbu karang dari jenis Lobophylia dan Tubipora yang banyak terdapat di kawasan Oceania. Foto : Sumaryanto Bronto/Media Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Secara umum, Wayan menyebutkan kalau terumbu karang yang ditemukan di pulau Meossu kondisinya cukup baik sampai baik, dengan tutupan karang hidup berkisar antara 30 sampai 50 persen dengan rerata 40 persen. Kemudian, ada juga rekrutmen karang yang cukup tinggi dan infeksi penyakit rendah pada karang.

Keseluruhan, selama ekspedisi berjalan, tim LIPI menemukan 300 spesies ikan yang 30 spesies di antaranya adalah masuk dalam daftar terancam punah. Hal itu diungkapkan salah satu koordinator Ekspedisi Nusa Manggala Udhi Eko Hermawan. Menurut dia, kekayaan hayati yang ada pada pulau-pulau tersebut, menjadikan mereka sebagai kawasan yang unik.

“Pulau terluar itu saya usulkan sebaiknya dijadikan kawasan konservasi alam saja. Pulau yang layak untuk menjadi kawasan konservasi alam, ada Mapia, Liki, dan Meossu. Tapi itu baru diusulkan dan hingga kini belum ada tindak lanjut,” tutur dia.

 

Exit mobile version