Mongabay.co.id

Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur

 

 

Jarum jam menunjukkan angka 08.00 WIB. Iringan enam mobil menelusuri jalan aspal sunyi menuju Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh.

Tiga Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negera [PTUN] Banda Aceh, tim penggugat dari Walhi Aceh, tim tergugat yaitu Pemerintah Aceh dan perwakilan PT. Kamirzu yang akan melaksanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur, berada di rombongan tersebut.

Pada 1 Agustus 2019 itu, Hakim Ketua Muhammad Yunus Tazryan beserta Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago sebagai hakim anggota, melakukan sidang lapangan di lokasi rencana pembangunan PLTA Tampur.

Di Desa Lesten, majelis hakim didampingi penasehat hukum dari penggugat dan tergugat hampir setengah hari mengarungi sungai dengan perahu kayu, menuju lokasi pengeboran. Juga, lokasi pembangunan bendungan dan melihat langsung masyarakat Desa Lesten yang belum direlokasi.

Majelis hakim ingin memastikan juga lokasi pembangunan mega proyek itu berada di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

Baca: Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang rencananya akan ditenggelamkan demi alasan pembangunan PLTA Tampur. Foto: Junaid Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Walhi Aceh menggugat Pemerintah Aceh dengan tergugat intervensi PT. Kamirzu. Alasannya, Pemerintah Aceh mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan [IPPKH] untuk pembangunan PLTA Tampur di hutan KEL. Inilah tujuan utama sidang lapangan dilakukan.

Setelah konflik bersenjata selesai Agustus 2005 silam, Pemerintah Aceh mencari cara agar pembangunan jalan yang menghubungkan ke Desa Lesten dibangun. Tujuannya, masyarakat di paling ujung Kabupaten Gayo Lues itu tidak terisolir.

Perencanaan dimulai sejak 2007, namun pengaspalan jalan sepanjang 18 kilometer, baru dilakukan 2016 hingga 2017. Biaya yang dihabiskan Rp30 miliar. Anggaran bersumber dari dana otonomi khusus.

Sejumlah pegiat lingkungan sempat menolak rencana pembangunan jalan, khawatir akan mempermudah para perambahan menghancurkan KEL. Terlebih, hutan di sekitar desa tersebut merupakan jalur lintasan satwa dilindungi, dari pantai timur Aceh ke zona inti hutan Leuser.

Aktivis lingkungan termasuk Walhi Aceh, saat itu menawarkan masyarakat Desa Lesten dikeluarkan dari tempat tinggal mereka. Atau, direlokasi ke tempat lain yang lebih dekat dengan Ibu Kota Kecamatan Pining.

Baca: Alasan Listrik, PLTA akan Dibangun di Sungai Alas-Singkil

 

Setelah pembangunan jalan selesai dilakukan, Pemerintah Aceh justru setuju PLTA Tampur dibangun dan masyarakat Lesten direlokasi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Namun, Pemerintah Aceh tetap pendirian dengan alasan masyarakat Lesten juga masyarakat Aceh yang harus dimerdekakan. Juga, menolak usulan relokasi karena masyarakat Lesten tinggal di kampungnya.

“Pembangunan jalan sangat penting, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan harus dikejar,” ujar Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang saat ini menjabat sebagai Plt. Gubernur Aceh pada 2017 lalu.

Pemerintah Kabupaten Gayo Lues juga mendorong agar pembangunan jalan Lesten – Pining dilakukan, demi menyelamatkan 70 kepala keluarga yang tinggal di pelosok. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama juga dibangun, termasuk fasilitas publik.

Setelah jalan Lesten-Pining selesai dibangun 2017, waktu tempuh dari Desa Lesten ke Ibu Kota Kecamatan Pining sekitar satu jam. Sebelumnya, lima hingga delapan jam, ketika jalan masih lumpur.

Masyarakat Desa Lesten antusias mendukung. “Kami sangat senang jalan ini selesai. Kami lebih mudah belanja atau menjual hasil pertanian dengan sepeda motor,” ujar Rahman, warga Lesten.

Baca: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa

 

Desa Lesten akan ditenggelamkan, karena berada di lokasi genangan PLTA Tampur. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

PLTA Tampur

Namun, semua cerita berubah. Jalan Lesten-Pining itu, digunakan untuk mempermulus rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur. PLTA berkapasitas 443 megawatt, dengan tinggi bendungan mencaoai 193,5 hektar, diperkirakan bakal menenggelamkan Desa Lesten yang masuk wilayah genangan air. Diperkirakan, seluas 4.070 hektar.

Akan tetapi, hingga saat ini belum ada keputusan kemana masyarakat dipindahkan. Padahal, pihak perusahaan telah berjanji, akan membangun rumah tipe 45, tempat ibadah, sekolah mulai TK sampai SMP, beserta fasilitas olahraga.

“Sampai sekarang janji belum direalisasikan. Bahkan, tempat relokasi warga belum ada keputusan,” terang Sataruddin, warga Desa Lesten yang memberikan kesaksian di Pengadilan Tata Usaha Negera [PTUN] Banda Aceh, 25 Juni 2019.

“Masyarakat masih diiming-iming janji manis seperti dibangun rumah layak, serta mendapat pekerjaan,” sebut Muhammad Nasir, Kepala Divisi Kampanye dan Advokasi Walhi Aceh.

Pria yang kerap disapa Nasir Buloh juga mengatakan, dulu pemerintah membangun jalan ke Desa Lesten agar masyarakat tidak kesusahan. Saat aktivis lingkungan menawarkan ide mereka direlokasi, ditolak.

“Tapi, saat PT. Kamirzu datang untuk membangun PLTA Tampur, dengan catatan Lesten harus ditenggelamkan, pemerintah justru setuju,” ujarnya.

Nasir menjelaskan, Walhi Aceh menggugat Gubernur Aceh karena menerbitkan IPPKH, melalui surat Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I pada 9 Juni 2017.

“Gugatan ke PTUN Banda Aceh dilakukan karena Gubernur Aceh dianggap melampaui kewenangan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Kewenangan pemberian IPPKH pada menteri,” terangnya.

Baca: Masyarakat Aceh Desak Gubernur dan Menteri LHK Batalkan Proyek PLTA Tampur

 

Masyarakat Lesten yang memanfaatkan sumber air berlimpah untuk kehidupan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nasir menambahkan, menteri melimpahkan sebagian kewenangannya kepada gubernur, namun sifatnya terbatas. Hanya pembangunan fasilitas umum nonkomersil. Kewenangan gubernur juga dibatasi, paling luas lima hektar, sehingga bila dihubungkan IPPKH itu bertentangan.

“Dalam diktum ke lima IPPKH yang diberikan disebutkan dalam jangka waktu palling lama satu tahun setelah terbit IPPKH, PT. Kamirzu wajib menyelesaikan tata batas areal IPPKH disupervisi Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVIII Banda Aceh. Juga, menyelesaikan relokasi Desa Lesten,” jelasnya.

Tapi di lapangan, belum dilaksanakan perusahaan. “Sesuai ketentuan undang-udangan, pemegang IPPKH yang tidak menyelesaikan tata batas dalam jangka waktu tertentu dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Gubernur Aceh terkait IPPKH Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur tidak berlaku lagi,” urai Nasir.

Baca juga: Pembangunan PLTA Tampur, Apakah Kelestarian Hutan Leuser Diperhatikan?

 

Burung rangkong masih terlihat di hutan seputar Desa Lesten, Gayo Lues. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kewajiban perusahaan

Pada 3 Juli 2019, Walhi Aceh juga menghadirkan pakar dari Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Zainal Abidin, ke PTUN Banda Aceh, sebagai saksi ahli. Zainal menyampaikan, satu tahun setelah terbit izin, PT. Kamirzu mempunyai beberapa kewajiban. Jika tidak dilakukan berdampak pada batalnya IPPKH yang telah diperoleh.

“Kewajiban meliputi, menyelelesaikan tata batas, menyampaikan peta lokasi penanaman rehabilitasi daerah aliran sungai, menunjukkan baseline kawasan hutan sesuai hasil tata batas dan menyelesaikan relokasi Desa Lesten,” terangnya.

Perusahaan juga diwajibkan menyampaikan pernyataan dalam bentuk akta notaris, bersedia mengganti biaya investasi pengelolaan/pemanfaatan hutan kepada pengelola/pemegang izin sesuai perundang-undangan.

 

Sidang lapangan PTUN Banda Aceh yang dilakukan di Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Pasal 8 Permen LHK No P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dijelaskan, IPPKH diberikan Menteri berdasarkan permohonan. Namun, pemberian izin dapat dilimpahkan ke Gubernur untuk beberapa kegiatan, salah satunya pembangunan fasilitas umum non-komersial paling luas lima hektar,” ungkap Zainal.

Fasilitas non-komersial mencakup pembangunan instalasi pembangkit, transmisi dan distribusi listrik, serta teknologi energi terbarukan.

“Sesuai SK Dirjen Planologi Kehutanan Nomor SK.8/VII-PKH/2013 tentang Standar Pelayanan Pemberian IPPKH, mengharuskan adanya rekomendasi kepala daerah proyek dilakukan. Untuk PLTA Tampur, ada empat rekomendasi, yakni Gubernur Aceh, Bupati Gayo Lues, Bupati Aceh Tamiang, dan Bupati Aceh Timur. Faktanya, rekomendasi Bupati Aceh Timur tidak ada,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version