Mongabay.co.id

Ombudsman Minta DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Sengketa antara warga dengan PTPN XIV di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. Lahan ini telah dikelola warga selama 15 tahun terakhir yang diklaim PTPN sebagai bagian dari konsesi HGU mereka. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

DPR dan pemerintah menyatakan, akan mengesahkan rancangan Undang-undang Pertanahan (RUU Pertanahan) September ini. Berbagai kalangan protes minta ditunda. Begitu juga Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih meminta DPR menunda pengesahan RUU Pertanahan.

“Dalam proses pembahasan RUU Pertanahan ini, konsultasi publik belum memadai,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, pekan lalu.

Dia bilang, organisasi masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan lain-lain tidak dilibatkan walau eksekutif sudah sosialisasi kepada beberapa perguruan tinggi.

“Menurut kami, ini kurang pas. Perguruan tinggi dari sisi sosial, mereka bukan representasi perwakilan masyarakat yang akan terdampak RUU ini. Sebaiknya, pembahasan RUU ini secara partisipatif,” kata Alamsyah.

Selain itu, katanya, dari substansi isi RUU Pertanahan, masih banyak kekurangan, antara lain, bertentangan dengan semangat UU Nomor 5/1960 tentang Pokok Agraria. “Terkait hak pengelolaan, menimbulkan kekacauan penguasaan tanah dan menghidupkan kembali konsep domein verklaring yang sebenarnya sudah dihapus UU Pokok Agraria,” katanya.

Soal aturan hak guna usaha (HGU), katanya, dalam draf RUU Pertanahan, ada gejala HGU prioritas bagi perusahaan-perusahaan besar.

Ombudsman, sangat konsen dengan beneficial ownership dalam penguasaan tanah. “Perusahaan holding bisa menguasai tanah sampai ratusan ribu hektar. Sementara jumlah rata-rata penguasan tanah pertanian makin minim. Ini akan memicu maladministrasi dan sengketa konflik yang akan merepotkan Ombudsman. Jadi, RUU Pertanahan ini perlu dipikirkan ulang.”

 

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya?
Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

Alamsyah mengatakan, dalam draf RUU Pertanahan, terlihat kontradiksi dengan spirit agenda reforma agraria. Sekup reforma agraria dalam draf RUU Pertanahan diperkecil jadi sebatas program penataan aset dan akses.

“Padahal, banyak yang harus diatur, misal, HGU yang sudah habis jangka waktu, bagaimana diatur untuk redistribusinya. Tanah-tanah aset milik negara yang terabaikan dan dikuasi masyarakat sampai sekarang belum pernah selesai karena tanah negara tak bisa deregister, selalu jadi masalah.”

Terkait menerapkan redistribusi tanah untuk masyarakat dengan proses komunal juga tak ada dalam RUU Pertanahan.

Kemudian, dalam konteks reforma agraria, RUU ini juga tak mengatur kelembagaan sosial ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan tanah.

“Terkait penyelesaian konflik agraria, RUU ini juga tak mengatur. Soal hak ulayat masyarakat adat. Sampai detik ini status hak ulayat belum terdaftarkan. Kalau tak menetapkan tanah ulayat secara pasti, diperkirakan jadi konflik masif bersamaan dengan pengesahan RUU ini. Perlu ada mekanisme aktif mendaftarkan tanah ulayat.”

Kembali dia tekankan, perlu ada kajian ulang atas RUU ini. “Kami sering menerima laporan warga yang warkah tanah hilang di BPN. Ini membuat status tanah mereka jadi ngambang. Harusnya RUU ini juga menjawab bagaimana menjawab ini. RUU ini tak menyelesaikan maladminsitrasi terkait hilangnya dokumen tanah di BPN,” katanya.

Kemudian mengenai pemanfataan tanah yang harus menyesuaiakan tata ruang. Dia bilang, banyak sekali maladministarsi berkaitan pembangunan dan tata ruang, termasuk kerusakan lingkungan.

Dalam draf RUU Pertanahan ini, katanya, pemanfataan tanah harus sesuai tata ruang. Frasa harus, dianggap Alamsyah kurang kuat. Dia sarankan, frasa harus diganti dengan wajib hingga menimbulkan konsekuensi hukum.

“Apabila HGU habis dan kemudian tak dilanjutkan, atau dingin di-enclave oleh pemerintah, biasa muncul soal perdata. Warga yang ingin mendapatkan hak di atas tanah biasa diminta mengganti rugi atas benda-benda di atas tanah. Hak administarsi selesai, tetapi perdata belum. Ini menyebabkan banyak sekali kasus diadukan ke Ombudsman.”

Dia berharap, dalam RUU ini ada klausul yang mengatur batasan waktu bagi perusahaan yang sudah habis HGU untuk pengosongan sendiri. “Katakanlah, misal, enam bulan. Apabila tidak, benda-benda jadi milik pemerintah dan dididstrubsikan kepada masyarakat.”

Terkait beneficial ownership, katanya, ketentuan batasan penguasan tanah dalam RUU Pertanahan tak dibuat menurun justru lebih mengutamakan keuntungan ekonomi skala besar.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sedang kebutuhan masyarakat terkait tanah, kian hari makin tinggi. Kalau dibiarkan, akan memicu konflik agraria makin tinggi.

“Baiknya, RUU Pertanahan mengatur ini secara konkrit. Bukan hanya menyebut diksi-diksi dan kalimat abstrak seperti hak akses, penataan akses dan penataan aset. Harus ada aturan konkret, misal, setiap pepanjangan HGU, 30% harus dilepas untuk objek reforma agraria,” katanya.

Kemudian soal penguasaan tanah yang masuk area di luar ketentuan, misal, HGU masuk kawasan hutan. Dalam draf RUU Pertanahan, diatur melalui skema pajak progresif.

Menurut Alamsyah, bahasa ini istilah halus pemutihan dari pelanggaran. Dengan pajak progresif, katanya, otomatis tanah itu jadi hak mereka.

“Ini kurang bagus. Jauh lebih baik terbitkan sistem administrasi tersentral. Jika diketahui ada hal ini,segera tertibkan, masuk jadi tanah obyek reforma agraia. Jangan dorang dengan skema pajak progresif.”

Kalau dibiarkan, katanya, bisa jadi justifikasi orang merambah area-area tertentu hanya dengan membayar pajak. “Dengan kata lain, ini terlalu liberal dan tak aman bahkan menurut kita seperti melegalkan pelanggaran.”

Ombudsman RI akan menyampaikan keberatan kepada DPR. Ombudsman, katanya, akan menyampaikan nota dan bertemu langsung DPR membahas ini. Pengesahan RUU Pertanahan, katanya, tak perlu tergesa-gesa.

Dalam RUU ini, katanya, Ombudsman dukung soal single land administration system. Dia mendukung, Kementerian ATR/BPN jadi sentral meregistrasi semua aspek pertanahan baik hutan maupun juga areal-areal pertambangan.

“Jadi, bukan registrasi persil, juga kawasan-kawasan. Supaya dipetakan yang overlap dan bisa diambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikannya. Selama ini kan ada tarik menarik antar kementerian.”

Mengenai peradilan agraria yang tercantum dalam RUU Pertanahan, katanya, perlu ada garansi dari Mahkamah Agung dalam memastikan peradilan agraria benar-benar siap.

“Apabila tak siap, di Mahkamah Agung banyak sulit, akan makin banyak laporan ke Ombudsman. Sebetulnya, kami ingin Mahkamah Agung bersuara terkait ini. Jangan sampai ini jadi maslaah baru.”

Dewi Kartika, Sekjen KPA Dewi Kartika meminta, Ombudsman mengirimkan nota ke DPR agar lembaga itu terlibat dalam proses pembahasan RUU Pertanahan.

“Perlu disadari, tanah itu menyangkut hajat hidup orang banyak perlu mempertimbangkan banyak kepentingan kelompok dengan ragam kepentingan,” katanya.

Selain itu, juga perlu memperhatikan konstitusi Pasal 33 dan TAP MPR 9/2001 tentang pembaruan agraria dan sumber daya alam. Juga da UU Pokok Agraria 1960 yang mengamanatkan penguasaan tanah sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

“Itu sudah jadi konsesus politik yang harus ditaati.”

RUU Pertanahan, katanya, harus mampu menjawab lima pokok persoalan agraria, yakni, pertama, ketimpangan struktur agraria yang tajam, kedua, konflik agraria struktural marak. Ketiga, kerusakan ekologis meluas, keempat, laju alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian dan kelima, kemiskinan struktur agraria menindas.

 

Keterangan foto utama:  Sengketa antara warga dengan PTPN XIV di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. Lahan ini telah dikelola warga selama 15 tahun terakhir yang diklaim PTPN sebagai bagian dari konsesi HGU mereka. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo
Exit mobile version