Mongabay.co.id

Cerita Warga Dusun Berjuang Dapatkan Izin Kelola Lahan di Hutan Lindung Egon Ilimedo [bagian-1]

 

Sudah sejak lama warga Kampung Wairbukang, Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka terisolasi dari warga desa lainnya. Lokasi kampung ini berada di jauh di dalam Kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo. Untuk sampai ke kampung pengunjung harus menempuh perjalanan yang lumayan panjang, yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Pagi itu saya ditemani pendamping kelompok dari LSM Kasih Mandiri Flores Alor & Lembata (Sandi Florata). Rute yang kami tempuh berbukit-bukit, menembus hutan dan semak serta kadang menanjak hingga 30 derajat.

Langkah kaki pun harus berhati-hati karena ada beberapa kayu tumbang yang dibiarkan. Kadang-kadang kami harus menunduk untuk menghindari dahan pohon. Jarak antara jalan negara hingga Wairbukang sekitar 3 kilometer.

Baca juga: Hidup dalam Kemiskinan, Kampung ini Berada dalam Kawasan Hutan Lindung 

“Kalau yang belum terbiasa paling bisa makan waktu 2 jam. Kalau kami warga Wairbukang paling setengah jam saja karena sudah terbiasa,” kata Bernadus Brebo (64) yang mendampingi saya. Dia adalah Ketua HKm Wairtopo, yang membawahi tiga dusun dalam kawasan.

Saat rehat sejenak meluruskan badan, Bernadus menunjuk ke arah pohon menggeris (Koompassia malaccensis). Di dahan tajuk terlihat beberapa sarang lebah madu hutan (Apis dorsata).  Bernardus sebut madu-madu tersebut kerap dipanen warga Wairbukang untuk dijual.

 

Perjalanan melewati hutan menuju Kampung Wairbukang, yang berada dalam kawasan Hutan Lindung lindung Egon Ilimedo. Jalan setapak melewati hutan dan semak yang kering dan panas. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Pesan Leluhur

Ada keunikan tersendiri saat mengetahui ada tiga kampung yang letaknya di tengah Hutan Lindung Egon Ilimedo. Menurut Tana Puan atau Ketua Adat Wairbukang, Bernardinus Keko (72) ada tiga kampung (dusun) yang masih dihuni, yaitu Wairbukang (44 Kepala Keluarga), Leng (23 KK), dan Kokongpuat (23 KK).

Dia menyebut, sudah bergenerasi nenek moyangnya tinggal dan menetap di kawasan hutan lindung. Bahkan dia menyebut nama lama Wairbukang adalah Kloang Mude atau Kloang Bola. Dia bilang ada dua suku yang ada di wilayah ini, Liwu dan Lewuk.

Meski tinggal di tengah hutan, leluhur menyebut mereka harus menjaga alam. Tidak boleh asal menebang pohon, yang dapat membuat mata air menjadi kering. Jika ada yang melanggar maka akan dapat sanksi adat.

“Sanksinya harus buat upacara adat dan sediakan babi, beras, moke (arak),” sebut Bernardinus.

Dia bilang nama Wairbukang sendiri artinya air yang terpendam. Masyarakat percaya saat terjadi kekeringan, tetua adat akan datang ke Wua Mahe, sebuah lokasi keramat, untuk melakukan upacara adat minta turun hujan.

Juga untuk membuka ladang, tidak boleh dilakukan sembarangan. Harus melalui ritual adat dan petunjuk leluhur kepada tetua adat lewat mimpi. Demikian pula, saat hendak panen dilakukan lagi dengan upacara tertentu.

Namun karena lokasinya yang ada di hutan lindung, warga di tiga kampung ini pun kerap diminta turun oleh pemerintah, baik alasan keamanan maupun alasan ekologis.

 

Rumah warga Kampung Wairbukang. Rumah ini jika malam gelap, karena tanpa penerangan listrik. Kampung ini berjarak sekitar 3 kilometer dari jalan Trans Flores. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

“Tahun 1965 saat G30S PKI semua warga diminta untuk turun ke dekat jalan negara, yang sekarang jadi pemukiman Dusun Wodong,” sebutnya mengenang.

Saat itu, sebagian warga setuju untuk pindah bahkan ditransmigrasikan ke luar pulau. Bernardinus salah satu yang kukuh menolak pindah. Dia beralasan tak bisa meninggalkan tanah kelahiran. Katanya, secara adat dia dimandatkan jadi penunggu tanah moyangnya di Egon Ilimedo.

“Tahun 1986 kami dipanggil menghadap camat, diminta daftar ikut transmigrasi. Kami disuruh turun gunung, saya tak mau. Tapi ada juga [warga] yang pindah menetap ke Desa Nangatobong dan Dusun Wodong, Desa Wairterang,” ungkapnya.

Bernardinus bersama belasan keluarga lainnya akhirnya dibiarkan menetap di hutan lindung.Warga lainnya termasuk ketua adat memilih menetap di dusun Wodong. Meski demikian mereka tetap was-was jika suatu saat diminta turun, karena secara legal status lahan mereka yang dianggap masih bermasalah.

 

Kelola Lahan lewat HKm

Namun kondisi ini mulai berubah sejak tahun 2017. Secara serempak 208 penduduk di tiga dusun Egon Ilimedo (IUP HKm Wairtopo) memperoleh izin yang disahkan SK Menteri LHK bernomor 6639/Men LHK-PSKL/PSL.0/12/2017 yang meliputi wilayah kelola seluas 1.000 hektar.

Melalui skema HKm, warga diperkenankan mengelola lahan dengan aturan tertentu yang telah ditetapkan, dengan syarat tetap mempertahankan fungsi ekologis yang ada.

Alfons Hery (35) Sekretaris Sandi Florata menjelaskan proses pendampingan masyarakat di dalam hutan lindung yang berjalan selama  bertahun-tahun.

Sebutnya, sebagai pendamping mereka harus memahami tentang sejarah pengelolaan lahan di Egon Ilimedo, perspektif legal formal pemerintah, sebaliknya perspektif sosiologis-kultural masyarakat.

 

Mama Yuventa da Ros, seorang warga Kampung Wairbukang yang menetap di dalam hutan lindung sedang berjalan menuju kebun di lahan HKm. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

“Sekitar 1950-an sudah ada penetapan batas kawasan hutan. Tahun 1984 ada penetapan kawasan hutan dan perluasan, sehingga sebagian besar tanah masyarakat dijadikan kawasan hutan,” tutur Hery.

Hery bilang hingga tahun 2000-an, pemerintah lewat Dinas Kehutanan melakukan identifikasi hasil dan potensi di dalam kawasan hutan. Bagi warga yang ada dalam kawasan, ini dilihat sebagai “akal-akalan”, bagian upaya untuk mengusir mereka keluar kawasan.

Kesempatan itu akhirnya muncul. Di tahun 2010 Kemenhut mengeluarkan SK pencadangan area yang memungkinkan masyarakat mengelola kawasan hutan lewat skema HKm.

Momentum itu digunakan oleh Sandi Florata untuk melakukan pendampingan agar warga dapat mengelola hutan secara legal. Sayangnya upaya pendampingan dan pemetaan yang mereka lakukan saat itu, terkendala dengan periode transisi perubahan kebijakan.

“Tahun 2010 masih menggunakan Permenhut Nomor 37/2007, kewenangan memberikan [izin] HKm didapat dari Bupati,” tutur Hery.

Di tahun 2014 aturan berganti. Keluar UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan perizinan beralih ke provinsi dan pejabat yang berwenang mengeluarkan izin adalah Menteri Kehutanan.

Meski demikian, pendampingan tetap berlanjut. Hingga akhirnya pada bulan Desember 2017 lima kelompok HKm yang mereka usulkan diterima. Termasuk, IUP HKm Wairtopo yang dikelola oleh masyarakat tiga dusun dalam kawasan.

Gladi Hardiyanto, Manajer Proyek Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dari Kemitraan menyebut tujuan HKm di Sikka adalah merupakan misi mendorong tata kelola di sektor kehutanan, lewat pemberian akses pemanfatan hutan kepada masyarakat.

Dia bilang tujuannya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan meminimalkan konflik sumberdaya hutan.

“Kami bekerjasama bersama mitra kerja kami di daerah untuk memfasilitasi perluasasan hak dan akses masyarakat lewat skema perhutanan sosial,” terangnya.

Sampai saat ini, katanya sudah lebih dari 800 ribu ha areal perhutanan sosial yang Kemitraan dan mitranya fasilitasinya. Kebanyakan dalam bentuk hak pengelolaan lahan secara perhutanan sosial.

“Semua skema, baik HKm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat, Kemitraan Kehutanan [dapat] difasilitasi. Tergantung dari kebutuhan dan keinginan masyarakat,” terangnya.

 

 

Exit mobile version