Mongabay.co.id

Audit BPK Temukan Banyak Perkebunan Sawit Besar Bermasalah

Seorang pekerja sedang menebang kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan lindung di KEL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui laporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) atas perizinan, sertifikasi dan implementasi pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan serta kesesuaian kebijakan dan ketentuan internasional, memperlihatkan kebun-kebun sawit banyak bermasalah. Laporan yang disampaikan kepada beberapa menteri kabinet kerja di Gedung BPK, Jakarta, Jumat (23/8/19) itu mengungkap berbagai permasalahan dalam industri perkebunan sawit.

Rizal Djalil, anggota IV BPK mengatakan, BPK telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil audit tentang perkebunan sawit di seluruh Indonesia. “Kita tahu, penerimaan negara dari minyak sawit mentah sudah melampaui minyak dan gas. Penerimaan devisa sawit sangat signifikan. Namun, dalam proses pelaksanaan, perkebunan sawit mulai dari 1980 sampai sekarang itu bermacam-macam persoalan yang harus kita selesaikan,”katanya.

Berbagai masalah perkebunan sawit temuan BPK itu, katanya, antara lain, perusahaan perkebunan sawit masih banyak belum memiliki hak guna usaha (HGU), banyak kebun plasma belum dibangun, tumpang tindih dengan pertambangan, menggarap kawasan di luar izin yang sudah diberikan pemerintah.

“Kira-kira 81% tak memenuhi ketentuan berlaku baik jumlah luasan, ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil-red), plasma dan lain-lain. Sekarang kita mau penuhi dan perbaiki,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim, pada kesempatan sama di Jakarta.

Luhut mengklaim, berbagai masalah itu ‘warisan’ 20 atau 25 tahun lalu. “Rusak-rusak ini kesalahan yang mungkin sudah 20 atau 25 tahun lalu. Sekarang kita perbaiki. Harus cari solusi, tidak boleh dibiarkan seperti ini. Masalah sawit berdasarkan hasil World Bank maupun BPK sama angkanya,” katanya.

Rizal tak mau mengungkap perusahaan-perusahaan mana saja yang bermasalah. Dia hanya menyebut, masalah di perusahaan-perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham. Luas perkebunan sawit yang bermasalah tersebut disebut jutaan hektar di berbagai provinsi, seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.

“Semua ada di situ. Semua pemain besar. Saya tidak usah sebut. Jumlah jutaan hektar.”

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Perusahaan juga membuka wilayah adat Kinipan, yang tak masuk dalam  HGU. Perusahaan membangun kebun sawit tanpa HGU di Indonesia, seakan sah karena tak ada tindakan apapun dari pemerintah sebagai pembuat aturan. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Belum lagi, katanya, perusahaan-perusahaan yang buka kebun di hutan konservasi, maupun hutan lindung. “Itu persoalan yang muncul. Saya terus terang tidak mau menyebut satu demi satu perusahaannya. Semua perusahaan perusahaan ini terdaftar di bursa. Kami sudah membuat rekomendasi kepada pemerintah, sudah diserahkan dan mungkin akan dibahas di level pemerintah,” katanya.

BPK, katanya, merekomendasikan pemerintah melibatkan Kapolri dan Kejaksaan Agung, dalam menyelesaikan berbagai sengkarut dalam tata kelola perkebunan sawit ini. Hal ini, penting karena permasalahan muncul terkait pidana UU Kehutanan maupun UU Perkebunan.

“Saya berharap dalam penyelesaian masalah ini tetap menjamin kepastian penerimaan negara. Kalau pengusaha sudah mengikuti semua ketentuan, jangan sampai ada persoalan di belakang,” katanya.

Luhut bilang, temuan BPK ini dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo untuk tindak lanjut.

“Memang banyak sekali bermasalah.”

Dalam laporan BPK, katanya, terungkap berbagai permasalahan, seperti ekspor crude palm oil (CPO), perkebunan di lahan gambut, sampai pengelolaan limbah.

Luhut bilang, sedang menyusun langkah-langkah penyelesaian. Para menteri terkait akan melaporkan kepada presiden dan meminta rapat kabinet terbatas membahas ini.

Dalam pertemuan itu, kata Luhut, juga akan membahas sanksi kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit yang melanggar ketentuan. “Apakah akan kena denda atau sanksi lain, akan dibahas bersama presiden untuk menentukan kebijakan yang tepat guna.”

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, akan menindaklanjuti hasil audit BPK. Menurut dia, harus segera selesai berbagai masalah terkait tumpang tindih dengan kawasan hutan dan gambut, maupun banyak perusahaan sawit belum memiliki HGU.

“Strategi sudah ada, perlu dibicarakan lebih lanjut. Ini kan pada tingkat teknis pelaksanaan. Policy-nya ditentukan dulu, apakah didenda dan lain-lain, nanti harus ditentukan dulu kebijakannya. Itu sesuai rekomendasi BPK.”

 

Satgas karhutla bersama tim perusahaan berusaha memadamkan api di gambut PT MAS di Mauarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Audit KPK

Temuan BPK ini, senada dengan hasil audit Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 yang menyimpulkan, Indonesia tak memiliki sistem kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mencegah pelanggaran dan korupsi di industri minyak sawit.

KPK menemukan, korupsi merajalela dalam proses penerbitan izin untuk perkebunan, dengan banyak perusahaan bisa menebang dan menanam di kawasan hutan yang terlarang untuk budidaya sawit. Di Riau, saja, KPK menemukan 10.000 kilometer persegi perkebunan sawit ilegal dan tak berizin.

Audit KPK ini sebagai respons terhadap kebakaran hutan pada 2015 yang begitu parah. Sebagian besar kebakaran hutan dan lahan itu untuk membuka kebun sawit, termasuk hutan gambut. Dampaknya, kabut asap membuat jutaan orang terdampak dan ribu orang menderita penyakit, penutupan bandara, dan penyebaran kabut asap ke negara-negara tetangga, hingga memicu pertikaian diplomatik.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, dengan dua audit resmi oleh berbagai lembaga yang merujuk kepada masalah kepatuhan besar-besaran di industri minyak sawit Indonesia, pemerintah tak punya alasan menutup mata.

“Temuan dan keberanian BPK dalam mengungkapkan penyakit tata kelola sawit yang menyebabkan kerugian negara sangat besar, patut dihargai, mengingat bagaimana pemerintah enggan menanggapi temuan serupa oleh LSM dan organisasi masyarakat sipil lain,” kata Teguh kepada Mongabay.

Dia mengatakan, pemerintah Indonesia mulai mengatasi masalah ini dengan memberlakukan moratorium, yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2018. Dengan kebijakan ini, membekukan penerbitan izin baru untuk perkebunan sawit. Langkah ini, juga mensyaratkan kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk peninjauan besar-besaran terhadap data izin perkebunan.

Tinjauan ini, kata Teguh, seharusnya diawasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sementara temuan dilaporkan kepada presiden setiap enam bulan. Sayangnya, kata Teguh, tak ada pengumuman publik tentang kemajuan inisiatif ini.

“Sudah hampir satu tahun sejak moratorium berlaku, tetapi kami belum melihat kemajuan signifikan dan proses cenderung tertutup untuk publik dan eksklusif, sedikit ruang partisipasi publik,” katanya.

Teguh juga meminta, pemerintah Indonesia membuka data dan peta perkebunan kepada publik untuk kepentingan transparansi. Kalau transparansi minim, katanya, memunculkan serangkaian masalah pada industri sawit, termasuk deforestasi, konsesi tumpang tindih, perampasan lahan, dan pelanggaran hak-hak pekerja.

Terlepas dari retorika berulang pemerintah menyatakan, betapa penting transparansi, pejabat tinggi, termasuk Luhut, telah menolak menyajikan data perkebunan kepada publik, dengan alasan informasi itu milik dan kepentingan strategis nasional.

Penolakan terus-menerus untuk mempublikasikan data itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung, bahwa peta terperinci dan dokumen terkait tentang perusahaan perkebunan yang beroperasi di negara ini harus tersedia untuk umum.

Dengan publikasi data, kata Teguh, akan memperjelas perusahaan mana yang bertanggung jawab atas deforestasi, kebakaran, dan konflik lahan, serta memungkinkan pertanggungjawaban lebih besar atas berbagai pelanggaran ini.

Kalau pemerintah serius menindak perusahaan yang melanggar, kata Teguh, harus secara menyeluruh, termasuk terhadap perusahaan yang berelasi dengan penguasa atau pejabat tinggi pemerintahan.

“Mereka tidak bisa menjatuhkan sanksi secara pilih-pilih,” kata Teguh.

Audit sawit oleh BPK dan KPK ini, katanya, juga bisa membantu memulihkan kepercayaan terhadap minyak sawit Indonesia di pasar ekspor seperti Uni Eropa.

 

Keterangan foto utama:  Seorang pekerja sedang menebang kebun sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan lindung di KEL. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Indonesia produsen sawit terbesar dunia. Di lapangan, kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air dampak limbah sawit di sungai, danau dan lain-lain banyak terjadi di berbagai daerah. KPK sudah menangani satu kasus di Kalteng. Diduga, ini banyak terjadi dan berharap KPK terus menyasar kasus-kasus kerusakan lingkungan sektor sawit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version