Mongabay.co.id

Akankah Masyarakat Pesisir Disingkirkan Pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

 

Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur sebagai ibu kota Indonesia yang baru menggantikan DKI Jakarta dipastikan hanya akan melahirkan masalah baru di kawasan pesisir provinsi tersebut. Hal itu, karena pemindahan ibu kota Negara hanya akan merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan di kawasan Teluk Balikpapan.

Pernyataan tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, awal pekan ini, menyikapi keputusan Presiden RI Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota Negara dari DKI Jakarta ke Kaltim. Pemindahan tersebut, diyakini akan melahirkan banyak masalah baru, karena ruang hidup masyarakat pesisir yang dirampas.

KIARA mencatat, pada 2019 di Kaltim ada 10 ribu lebih nelayan yang setiap hari mengakses dan menangkap ikan di Teluk Balikpapan. Jumlah ini terdiri dari 6.426 nelayan dari Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), 2.984 nelayan dari Kab Penajam Paser Utara, dan 1.253 nelayan dari Kota Balikpapan.

Menurut Susan, pentingnya Teluk Balikpapan bagi masyarakat pesisir di Kaltim, karena kawasan tersebut menjadi jalur utama lalu lintas kapal-kapal tongkang batu bara. Maka dari itu, tak heran jika kawasan tersebut akan menjadi satu-satunya jalur pengiriman logistik untuk kebutuhan pembangunan ibu kota yang baru.

baca : Resmi, Ibu Kota Indonesia Pindah ke Kalimantan Timur

 

Presiden Joko Widodo saat mengumumkan secara resmi pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur, saat konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Foto : Agung/Setkab

 

Melihat pentingnya kawasan Teluk Balikpapan, Susan menyebutkan kalau pemindahan ibu kota akan melahirkan masalah baru untuk pesisir, karena hingga saat ini Kaltim belum memiliki peraturan daerah (Perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Tanpa perda tersebut, segala kerumitan yang muncul tidak mungkin bisa diselesaikan dengan regulasi yang sekarang ada.

Namun, Susan menambahkan, walaupun Perda RWP3K belum selesai, dia menduga dalam proses penyelesaianya, perda tersebut akan diarahkan untuk menyesuaikan dengan kepentingan pembangunan ibu kota Negara yang baru. Dengan kata lain, Perda RZWP3K juga tidak akan mempertimbangkan kepentingan masyarakat pesisir.

“Khususnya di sekitar Teluk Balikpapan, tetapi untuk pembangunan ibu kota baru dan kepentingan industri batu bara,” ujarnya.

 

Pesisir Tergusur

Pernyataan Susan tersebut diamini Pemerhati Sektor Kelautan dan Perikanan Abdul Halim. Menurut dia, rencana pemindahan ibu kota Negara dari DKI Jakarta ke Kaltim, hanya akan menjadi ajang penggusuran masyarakat pesisir. Ancaman itu ada, karena hingga saat ini belum ada pemaparan yang jelas dan tegas bagaimana integrasi rencana tersebut dengan sektor kelautan dan perikanan.

“Belum jelas integrasinya seperti apa,” ucapnya.

Sementara, bagi Jaringan Tambang Nasional (JATAM), pemindahan ibu kota ke Kaltim menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki rencana yang baik dan terstruktur. Hal itu, karena hingga saat ini tidak ada kajian ilmiah yang seharusnya menjadi kebutuhan utama dan syarat yang harus dipenuhi sebelum ditetapkan Kaltim menjadi pengganti DKI Jakarta.

“Hal itu, menunjukkan kalau pemindahan tersebut tak lebih dari sekedar proyek besar saja. Tidak adanya kajian ilmiah, menunjukkan kalau pemindahan dilakukan dengan terburu-buru dan serampangan,” ungkap Koordinator JATAM Merah Johansyah.

baca juga : Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

 

Lokasi ibukota negara yang baru di Kalimantan Timur. Sumber : Setkab

 

Tanpa ada kajian ilmiah, pemindahan Ibu Kota hanya akan memperparah kerusakan lingkungan yang sudah ada di DKI Jakarta maupun Kaltim. Permasalahan tersebut, seharusnya menjadi perhatian utama Presiden Joko Widodo dan berpikir bagaimana untuk melaksanakan pemulihannya.

“Terkesan hanya mengejar proyek bernilai ratusan triliun rupiah,” ucapnya dalam keterangan resmi yang dikirim kepada Mongabay, awal pekan ini.

Menurut Johansyah, salah satu bukti adanya kajian ilmiah, hingga saat ini tidak ada pelibatan publik terkait penunjukkan lokasi Kaltim untuk menggantikan DKI Jakarta. Tidak saja soal anggaran yang akan dikucurkan, namun juga lebih dari itu, adalah tentang beban lingkungan yang saat ini ditanggung kedua provinsi.

Melalui kajian ilmiah, diyakini kalau permasalahan yang akan muncul di masa mendatang bisa diteropong lebih dini dan dicarikan antisipasinya. Misalnya, adalah bagaimana kebudayaan masyarakat lokal di Kaltim bisa menyikapi masuknya jutaan orang dari luar provinsi tersebut ke daerah mereka. Tanpa dilakukan kajian, dampak negatif dikhawatirkan akan muncul dan tidak bisa diantisipasi.

Johansyah menyebutkan, tanpa melakukan kajian pun, masyarakat dan khususnya pemerhati lingkungan akan menolak rencana tersebut. Hal itu, karena pemindahan tersebut hanya akan menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasaan lahan saja, dan bukan masyarakat secara umum di Kaltim.

 

Desain Ibu Kota Negara Indonesia di Kalimantan Timur. Sumber: Kementerian PUPR

 

Kajian Ilmiah

Di luar itu, Johansyah juga sudah bisa membaca bahwa ada yang tidak beres dalam penunjukkan Kaltim sebagai pengganti DKI Jakarta, karena adanya komunikasi yang tidak baik antara Presiden dan para pembantunya yang mencakup Menteri dan pejabat tinggi lain. Saat itu, ada ralat tentang penyebutan Kaltim sebagai Provinsi setelah Joko Widodo membantah ucapan dari menterinya.

“Menunjukkan rencana ini jauh dari pembicaraan yang mendalam dan tidak solid,” tuturnya.

Di atas semua itu, Johansyah memprotes keras kepada Pemerintahan sekarang, kenapa tidak ada proses pelibatan masyarakat melalui jajak pendapat sebelum Kaltim resmi ditunjuk. Dengan bertanya terlebih dulu kepada warga setempat, itu menunjukkan bahwa Negara menghargai hak warga untuk menyampaikan pendapat.

Dengan kata lain, dia berpandangan kalau hak warga untuk menyampaikan pendapat sudah dipangkas oleh Negara dan itu berarti, ada tindakan yang bersifat diktator karena suara warga Kaltim, termasuk di dalamnya adalah masyarakat adat, tidak diberikan ruang sedikit pun. Padahal, mereka adalah pemilik sesungguhnya wilayah Kaltim sejak lama.

Khusus bagi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), rencana pemindahan ibu kota Negara ke Kaltim, menjadi penjelas bahwa Negara tidak melihat masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan segera. Misalnya, adalah masalah polusi yang terjadi di DKI Jakarta, ibu kota Negara sekarang. Hingga sekarang, masalah tersebut belum diselesaikan oleh Negara.

“Dari banyak masalah utama yang harus diselesaikan negara ini, pemindahan ibu kota berada di daftar bawah,” ucap Kepala Departemen Advokasi WALHI Nasional Zenzi Suhadi.

 

Banjir yang merendam Samarinda , Kalimantan Timur, terjadi akibat rusaknya lingkungan. Foto: Yovanda/Mongabay Indonesia

 

Menurut dia, Presiden RI Joko Widodo seharusnya menempatkan masalah polusi udara sebagai pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan. Terlebih, Presiden RI adalah salah satu pihak yang digugat publik atas permasalahan polusi udara di DKI Jakarta. Dengan masalah tersebut, kepemimpinan Joko Widodo sedang diuji, apakah ikut bertanggung jawab mencari solusinya ataukah tidak.

“Atau malah lari memindahkan ibu kota, meninggalkan rakyat dengan persoalan dan beban, ini menjadi cermin juga untuk persoalan lingkungan lainnya,“ katanya.

Di saat masalah lingkungan masih belum teratasi di DKI Jakarta, di saat yang sama Kaltim juga kondisinya sedang memprihatinkan. Menurut dia, seluruh Kaltim saat ini sudah tersandera konsesi pertambangan, perkebunan sawit dan izin kehutanan dan sisanya adalah hutan lindung.

“Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta,” tegasnya.

 

Exit mobile version