Mongabay.co.id

Tiga Perusahaan Sawit jadi Tersangka Kasus Kebakaran

Perkebunan sawit perusahaan yang terbakar di Kalimantan Barat. Foto: Facebook Direktorat Penegakan Hukum, KLHK

 

 

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menetapkan tiga perusahaan sawit sebagai tersangka dalam kasus pidana kebakaran hutan dan lahan di Ketapang, Kalimantan Barat seluas 980 hektar. Hingga kini, masih ada 24 perusahaan sudah bersegel dan proses investigasi.

”Telah kami tetapkan empat tersangka, satu perseorangan dan tiga perusahaan. Kami sedang proses pengumpulan bahan keterangan terhadap 24 perusahaan lain,” kata Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum, KLHK saat jumpa media di Jakarta (29/8/19).

Baca juga: Pemerintah Segel 18 Konsesi Perusahaan Terbakar, Langkah Lanjutan?

Para tersangka itu, katanya, PT SKM di Kecamatan Muara Pawan, Ketapang, Kalimantan Barat 800 hektar dan PT ABP di Kecamatan Sungai Melayu Rayak dan Kecamatan Nanga Tayap, Ketapang seluas 80 hektar. Kemudian, PT AER di Kecamatan Benoa Kayong, Ketapang seluas 100 hektar dan satu orang, insial UB di Kecamatan Ambawang, Kabupaten Kubu Raya seluas 274 hektar.

Adapun total luasan terbakar dalam penyelidikan dan penyidikan dari 27 perusahaan itu sekitar 4.490 hektar. Perusahaan-perusahaan itu, ada konsesi perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan tambang tersebar di 17 konsesi di Kalimantan Barat, empat di Kalimantan Tengah, Riau (4), Jambi (1) dan Sumatera Selatan (1).

Jumlah tersangka, kata Roy, sapaan akrabnya, berpotensi bertambah karena yang lain masih proses penyelidikan.

Dia mengatakan, luasan wilayah terbakar bisa bertambah seiring pengumpulan bukti keterangan. Dugaan pembakaran lahan untuk pembersihan lahan itu, katanya, masih didalami.

Untuk kasus perorangan, katanya, masih didalami, memang petani atau pesuruh korporasi. Kalau petani kecil, katanya, hanya mengelola kebun sawit sekitar lima sampai enam hektar hektar.

”Kami sedang dalami ini perseorangan atau korporasi. Kami belajar dari sebelumnya, kami akan penegakan hukum lebih keras. Kami intensifkan pidana.”

 

Direktorat penegakan Hukum, KLHK kala menyegel salah satu konsesi perusahaan yang terbakar di Kalimantan Barat. Foto: dari Facebook Direktorat Penegakan Hukum KLHK

 

Dalam penegakan hukum ini, katanya, KLHK akan gunakan pasal berlapis, seperti UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Roy memastikan, KLHK akan mengimplementasikan Pasal 119 UU Nomor 32/2009 tentang perampasan keuntungan untuk pelaku korporasi. Dia berharap, dengan upaya ini akan memberikan efek jera bagi pelaku.

Selain pidana, perusahaan juga akan kena sanksi administratif dan perdata.

 

Dorong pemerintah daerah beri sanksi

Roy mendorong, pemerintah daerah mampu menindak dengan sanksi administratif kepada pemilik izin konsesi.

Menteri, katanya, memiliki kewenangan lebih dalam second line law enforcement untuk menindak pemilik izin kalau pemerintah daerah tak menjalankan tugas dan wewenang. Untuk itu, KLHK pun mendorong upaya sanksi administratif oleh pemerintah daerah sebagai penerbit izin usaha perkebunan.

”Pemberi izin berwenang mengawasi dan menindak atuapun mencabut izin konsesi. Sanksi bisa diterapkan gurbernur, bupati maupun menteri. Kami sedang exercise ini untuk pemda,” katanya.

Jasmin Ragil Utomo, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK menyebutkan, perusahaan sebagai tersangka pidana mungkin mendapatkan sanksi perdata, meski akan dikaji lebih lanjut soal luasan.

Sebelumnya, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015, ada sembilan korporasi kena sanksi perdata, luas paling kecil 511 hektar di PT Palmina Utama, Kalimantan Selatan.

Sementara, , per 29 Agustus 2019, KLHK telah memberikan surat peringatan soal karhutla kepada 210 perusahaan. Ada 11 perusahaan insentif pengawasan terkait karhutla karena titik api berulang di lapangan.

 

Preentasi BMKG

 

Roy mengatakan, surat peringatan ini hanya satu kali. Kalau perusahaan tak mengindahkan, saat pengawasan dan terbukti ada kebakaran, akan langsung penyegelan lahan.

Raffles B Panjaitan, Direktur Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK mengatakan, luas karhutla periode Januari-Juli 2019 mencapai 135.747 hektar, lebih tinggi dibandingkan 2018 seluas 71.959 hektar.

Berdasarkan satelit Terra Aqua Modis, titik panas di Indonesia sejak Januari-Agustus 2019 mencapai 5.422 titik. Kalau dibandingkan 2015, ada penurunan titik panas sekitar 61%, meski mengalami kenaikan dibandingkan 2018 sekitar 17,6%.

”Luas kebakaran gambut tahun ini lebih kecil dibandingkan 2018, tahun ini 31.002 hektar, tahun lalu 56.358 hektar.”

Penetapan status siaga oleh sejumlah daerah pun mengindikasikan, upaya pencegahan dan penanganan karhutla sebenarnya sudah disadari sejak awal.

Berdasarkan hitungan tingkat emisi karhutla tahun ini lebih rendah dari 2018, meski karhutla belum tuntas. Pada 2015, emisi CO2 karena karhutla mencapai 802 juta ton CO2e, 90 juta ton CO2e (2016), (2017) 24 juta ton CO2e, pada 2018 sebesar 162 juta ton CO2e, dan pada angka 82 juta ton CO2e dalam 2019.

Indah Prasasti, perwakilan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengatakan, kondisi kemarau harus terus diwaspadai terutama di Sumatera dan Kalimantan.

”Kondisi di seluruh Indonesia mengalami kekeringan dan asap, meski indikator potensi tingkat kemudahan penyulutan api atau rentannya kebakaran menurun di beberapa wilayah. Masih cukup ekstrem di Sumatera Selatan hingga lampung, Kalimantan Timur bagian selatan, Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Tengah,” katanya.

Kalau melihat perbandingan Juli dan Agustus, pada periode 2019, titik hotspot meningkat sangat tajam, terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Riau.

Menurut Indah, Lapan mengidentifikasi, areal terpantau satelit pada April di Teluk Bano, Rokan Hilir, Riau, alami kebakaran tetapi Juli, lahan bekas terbakar tertutup vegetasi.

”Kami lihat indikasinya sawit, tetapi perlu pengecekan lebih,” katanya.

Adi Ripaldi, Kepala Sub Bidang Analisis dan Informasi Iklim menyebutkan, 97% wilayah Indonesia sudah memasuki kemarau. Jadi, kataya, masih harus terus waspada karhutla terutama di Sumatera dan Kalimantan.

”Monitoring dampak hotspot, Agustus ini beberapa provinsi sudah meningkat, seperti Riau, Jambi, Kalbar. Kemarau masih satu sampai dua bulan lagi. Perlu waspada.”

 

Perkebunan sawit perusahaan yang terbakar di Kalimantan Barat. Foto: Facebook Direktorat Penegakan Hukum, KLHK Keterangan foto utama:

 

Exit mobile version