Mongabay.co.id

Ironi, Tidak Ada Kajian Khusus Kerajaan Sriwijaya dan Kejayaan Maritimnya

 

 

Baca sebelumnya: Jika Kerajaan Sriwijaya Fiktif, Bagaimana Kedaulatan Maritim Indonesia?

**

 

Ironi. Sejarah Indonesia dikenal internasional karena adanya Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai maritim Asia Tenggara selama beberapa abad. Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki pusat studi atau penelitian kejayaannya.

Singapura, yang tidak memiliki sejarah kuat dengan Kerajaan Sriwijaya justru punya pusat penelitian Sriwijaya. Mengapa?

“Mempelajari khusus kerajaan-kerajaan di Indonesia [di perguruan tinggi] dapat dikatakan nyaris tidak ada. Apalagi khusus Sriwijaya. Banyak hal yang dapat digali dari Sriwijaya untuk membangun bangsa ini,” kata Bambang Budi Hutomo, arkeolog lahan basah dari Pusat Arkeologi Nasional, kepada Mongabay Indonesia, Selasa [03/2/2019].

“Di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, tempat saya kuliah dulu, pelajaran sejarah kerajaan masuk dalam kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Semua diinfokan pada mahasiswa selama dua semester. Boleh jadi tidak mendalam. Kalau mau mendalami, ya sendiri-sendiri, atau setelah lulus. Saya tertarik mempelajari Sriwijaya setelah ada seminar internasional awal 1980-an,” kata lelaki yang akrab dipanggil “Tomi” yang melakukan penelitian Kerajaan Sriwijaya sejak 1985.

“Nah, sekarang ini, tampaknya belum ada lagi yang mau menekuni, mencari dan membaca referensi buku-buku Sriwijaya. Apalagi meneliti lapangan,” jelasnya.

Dia mengatakan, langkah pemerintah terkait pentingnya menggali dan mengembangkan sejarah Kerajaan Sriwijaya sebagai ilmu pengetahuan belum terlihat. “Pemerintah sekarang masih direpotkan masalah-masalah seperti Papua, perpindahan ibu kota, ekonomi, dan lainnya,” katanya.

Lanjut dia, jangankan pemerintah, para peneliti sejarah dan budaya saja masih kurang peduli dengan Sriwijaya. Misalnya menulis buku atau artikel di media massa maupun jurnal, berdasarkan kajian teks yang didukung penelitian lapangan. “Atau, kegiatan pendidikan lainnya, sehingga opini Sriwijaya fiktif tidak mungkin lahir atau muncul, gugur sebelum ditulis atau disebarkan.”

 

Relief kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Diajarkan ke sekolah dan perguruan tinggi

Dr. Najib Asmani, akademisi dari Universitas Sriwijaya mengatakan, sejarah Kerajaan Sriwijaya memang dipelajari di perguruan tinggi. Tapi, perlu diajarkan di sekolah juga.

“Banyak hal yang dapat diungkap. Mulai sikap masyarakatnya yang pemberani, egaliter dan terbuka, juga pemimpin dermawan. Terpenting, ada ajaran menjaga alam semesta atau Bumi yang tercermin dalam Prasasti Talang Tuwo,” kata mantan Koordinator Tim Restorasi Gambut [TRG], yang kini menjabat staf khusus Bupati Muba Bidang Pembangunan Hijau.

“Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan generasi muda saat ini yang akan membangun Indonesia masa depan,” katanya.

Bambang Budi Utomo sangat mendukung jika sejarah Kerajaan Sriwijaya menjadi muatan lokal di sekolah Indonesia, terkhusus Sumatera Selatan, Jambi, Lampung, dan Bangka-Belitung. “Sehingga, akan lahir generasi muda paham.”

 

Prasasti Talang Tuo, warisan Kerajaan Sriwijaya yang sejak dulu mengajarkan para pemimpin Indonesia untuk menjaga lingkungan. Sumber: Wikipedia Commons/Louis Constant Westenenk/Public Domain

 

Dr. Tarech Rasyid, akademisi dan penggagas Badan Pemajuan Kebudayaan [Bapeka] Sumatera Selatan, mengatakan seharusnya sejumlah perguruan tinggi negeri atau swasta di Sumatera Selatan, sebagai wilayah lahir dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya, melakukan kajian khusus. Misalnya, program studi sejarah atau filsafat Sriwijaya.

Selama ini, kata Tarech, sejarah Sriwijaya hanya menjadi pengetahuan dasar pelajar, seperti halnya mereka mengenal kerajaan-kerajaan di Nusantara. Termasuk pula di perguruan tinggi.

“Kita berharap, Sriwijaya yang telah melahirkan peradaban tinggi menjadi perhatian pemerintah, khususnya Pemerintah Sumatera Selatan,” ujarnya.

Pemerintah daerah dapat mengambil kebijakan di dunia pendidikan dengan menjadikan Sriwijaya dan peradaban melayu sebagai muatan lokal. Seperti, SLTP dan SLTA.

“Kebijakan ini tentu saja butuh kajian mendalam. Tujuannya, lahir modul atau buku ajar yang tepat, menjawab moderenitas yang dihadapi masyarakat Sumatera Selatan,” katanya.

Sonia Anisah Utami, seniman dan seorang dosen seni, sangat setuju jika sejarah Sriwijaya dipelajari mahasiswa di Sumatera Selatan. “Kenapa? Sebab Sriwijaya telah melahirkan peradaban luhur. Hanya bangsa berpengetahuan dan memiliki budaya tinggi yang dapat melahirkannya,” tuturnya.

 

Laut Indonesia yang tidak hanya kaya tetapi juga jalur strategis pelayaran dunia. Foto: Rhett Buter/Mongabay Indonesia

 

Nilai-nilai luhur dan ilmu pengetahuan Sriwijaya

Banyak nilai luhur atau ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari manusia Indonesia hari ini. “Bukan hanya tata kelola lingkungan, juga kerukunan beragama, dan kemaritiman,” lanjut Bambang Budi Utomo.

Di masa pemerintahan Sriwijaya, mayoritas rakyatnya menganut Buddha, tapi ajaran agama lain diterima. “Misalnya, sebuah arca Buddha dihadiahkan pendeta Hindu kepada Maharaja Sriwijaya. Maharaja juga mengirim surat ke Khalifah Umar bin Abdul Azis disertai permintaan dikirimkan mubaligh untuk mengajarkan hukum-hukum Islam di Sriwijaya.”

“Paling penting itu dunia kemaritiman. Mulai dari teknologi perkapalan, hingga menata perniagaan lautan yang saat ini sebagian besar wilayahnya masuk Indonesia. Sriwijaya itu berdaulat di laut,” katanya.

 

Wilayah Kekuasaan Sriwijaya abad ke-8 Masehi yang membentang luas dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaysia. Sumber: Wikimedia commons/Gunawan Kartapranata/Atribusi Berbagi 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Tarech melihat, ada tujuh nilai yang dapat dipelajari dari peradaban Sriwijaya. Pertama, religious, menempatkan sang pencipta sebagai dasar berkehidupan dan berberbangsa. Kedua, pemahaman agama menciptakan masyarakat toleran.

Ketiga, menghargai alam yang diciptakan bukan hanya untuk manusia, juga semua makhluk hidup. Keempat, menghargai perempuan. Di Prasati Talang Tuwo terdapat pandangan memuliakan perempuan. Ada larangan perselingkuhan.

Kelima, penghargaan pada generasi mendatang. Dalam pembuatan Taman Sriksetra, Raja Sriwijaya menanam pohon-pohon dan tanaman untuk semua makhluk hidup. Bukan hanya saat ini, juga masa mendatang.

Keenam, kerja keras. Ini terlihat dari para pemimpin dan masyarakatnya yang mengarungi lautan, bertemu banyak suku bangsa secara damai. Peperangan diambil jika terpaksa. Ketujuh, penghargaan ilmu pengetahuan. Tercermin dalam teknologi perkapalan dan pelayaran.

“Menjaga tanah air Indonesia hari ini dan mendatang, harus sunguh-sungguh mempelajari Sriwijaya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version