Mongabay.co.id

Kembangkan Energi Terbarukan, Begini Masukan buat Pemerintahan Jokowi Jilid II

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sektor energi berperan penting dalam pembangunan dan ketahanan nasional. Kondisi ini membuat pengelolaan seringkali melewati target rencana umum energi nasional dan mengorbankan lingkungan. Berbagai kalangan, menngingatkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo, jilid II harus berani lakukan terobosan revisi kebijakan guna mempercepat pertumbuhan energi terbarukan dan pengurangan energi fosil.

Dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan konsumsi energi sekitar 5% per tahun. Abadi Purnomo, mantan anggota Dewan Energi Nasional, mengingatkan, tujuan kebijakan energi untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam mendukung pembangunan nasional berkelanjutan.

Masalah pertama dan utama dalam sektor energi saat ini, katanya, sumber daya energi masih jadi sumber devisa negara. Pemanfaatan energi domestik belum optimal karena infrastruktur terbatas dan nilai tambah belum maksimal.

“Sumber daya energi tak jadi komoditas ekspor semata tapi sebagai modal pembangunan nasional,” katanya.

Saat ini, energi jadi sektor penting dalam pembangunan dan ketahanan nasional. Ia jadi penghasil devisa dan sumber investasi, pemasok bahan baku industri dan bahan bakar sektor transportasi serta pendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Sisi lain, pangsa minyak bumi dalam bauran energi masih tinggi, sedang produksi dalam negeri turun secara alamiah.

“Konsumsi energi masih boros dan subsidi tak tepat sasaran,” katanya. Kondisi ini, katanya, menyebabkan, penggunaan energi terbarukan terbatas meski potensi sangat besar.

Selain itu, penurunan produksi dan gejolak harga migas karena eksplorasi belum optimal dan perizinan rumit. Akses dan infrastruktur energi masih mengalami kendala geografis hingga kekurangan infrastruktur di daerah dan ada disparitas harga energi.

Ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan gas, juga jadi masalah lain sektor energi saat ini. Kebutuhan bahan bakar meningkat, namun produksi menurun karena kapasitas kilang terbatas.

Sedangkan, harga energi terbarukan belum kompetitif karena teknologi masih mahal dan pemerintah masih memberi subsidi buat BBM dan listrik.

Bicara soal cadangan energi nasional, kata Abadi, belum ada mandatori untuk cadangan energi nasional berisiko ketahanan energi turun.

Hal lain yang jadi sorotan DEN adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas karena sinergitas antar lembaga terbatas dan kerjasama masih lemah.

Pemanfaatan energi juga dinilai belum efisien karena peralatan efisiensi energi mahal, dan sistem transportasi masal belum maksimal.

Pemanfaatan energi terbarukan pun masih rendah karena kebijakan harga belum maksimal. “Proses perizinan masih rumit dan masih ada masalah lahan dan tata ruang,” kata Abadi.

 

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong, Sulawesi Utara. PLTPB Lahendong merupakan lapangan panas bumi pertama di kawasan Indonesia Timur yang memproduksi listrik. Foto : ebtke.esdm.go.id

 

 

Bagaimana dorong energi terbarukan?

Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat, selama 2010-2014 pembangkit energi terbarukan bertambah 1.760 megawatt. Pada 2014-2018, hanya bertambah 985 megawatt. Estimasi sampai akhir 2019, hanya akan bertambah 400-450 megawatt hingga total kapasitas 2014-2019 jadi 1300-1350 megawatt.

“Perkembangan energi terbarukan lima tahun terakhir melambat. Dalam lima tahun mendatang, beban mengembangkan energi terbarukan makin besar,” kata Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

Dia bilang, dari 75 power purchase agreement (PPA) yang ditandatangani pada 2017-2018, delapan sudah beroperasi komersial dengan kapasitas 37,35 megawatt. Sebanyak, 35 PPA total 634,71 megawatt sedang masa kontruksi dan 30 lain tahap persiapan financial close.

Ada sembilan proyek PPA efektif sudah menyerahkan jaminan proyek sebesar 10% berjumlah 400,1 megawatt. Sisanya, 21 proyek belum efektif dengan kapasitas 304,72 megawatt.

Sementara dua proyek dengan kapasitas total 4,2 megawatt sudah diterminasi. Batas terminasi dari masing-masing proyek yang belum dapat pendanaan, berbeda-beda, pada Juni, Juli dan September 2019. Ada 21 PPA yang akan ditandatangani pada 2019.

Kalau melihat target dan realisasi investasi energi terbarukan 2015-2019–kecuali 2016—, realisasi selalu berada di bawah target rencana dan strategi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).

“Bahkan di bawah target penyesuaian,” katanya.

Kalau ditarik lebih jauh, melihat perbandingan target energi terbarukan di rencana umum energi nasional (RUEN) dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028, target selalu di bawah target RUEN. Pada 2019, target energi terbarukan di RUEN 13,9 gigawatt, RUPTL hanya 9,9 gigawatt. Pada 2025, target energi terbarukan RUEN mencapai 45,2 gigawatt, jauh lebih tinggi dari target RUPTL hanya 23,7 gigawatt.

Menurut Fabby, tantangan dalam mengembangkan energi terbarukan lima tahun ke depan adalah mengejar target sesuai kebijakan energi nasional dan RUEN. Pemerintah, juga harus memulihkan kepercayaan investor swasta, mengatasi disparitas antara target RUEN dan RUPTL.

Untuk mencapai 35 gigawatt dalam enam tahun, katanya, setidaknya harus dibangun 5-6 gigawatt per tahun. Keperluan investasi mencapai US$75-120 miliar atau US$8-10 miliar pertahun sampai 2025.

“Untuk itu perlu partisipasi BUMN dan swasta,” kata Fabby.

Tantangan lain, katanya, masuknya pembangkit intermitten pada sistem ketenagalistrikan, kehandalan dan biaya untuk menjaga sistem harus jadi perhatian.

Presiden Jokowi, katanya, dalam periode pemerintahan kedua ini mesti fokus pada aksi strategis mendorong investasi sektor energi terbarukan dengan alokasi risiko berimbang, tarif jual beli listrik ekonomis, dan memberikan insentif fiskal secara selektif.

“Pemerintah perlu mengoptimalkan APBN untuk menarik investasi swasta .”

Selain insentif fiskal, katanya, Fabby mengusulkan instrumen viability gap fund (VGF) untuk mengatasi disparitas tarif listrik PLN dengan yang ditawarkan swasta dan insentif suku bunga domestik untuk proyek skala kecil. VGF, katanya, bisa menutupi selisih harga listrik energi terbarukan dengan biaya pokok pembangkitan PLN setempat.

Isu penting lain, katanya, perlu segera ganti regulasi-regulasi yang menghambat investasi energi terbarukan. Dia contohkan, Permen ESDM No10/2017 tentang pokok-pokok perjanjian jual beli tenaga listrik dan Permen ESDM No.50/2017 soal pemanfaatan energi terbarukan untk penyediaan tenaga listrik.

Selain itu, penting percepatan pengembangan energi terbarukan untuk kawasan Indonesia timur dengan substitusi bahan bakar minyak dan diesel. Ada total 5,2 gigawatt PLTD di Indonesia, sekitar 2,3 gigawatt di Indonesia timur.

PLN juga perlu mendapatkan insentif untuk pengembangan energi terbarukan lewat performance based regulation, berdasarkan target pencapaian energi terbarukan.

 

 

“Berikan insentif pada daerah untuk mengembangkan energi terbarukan misal lewat parameter kapasitas energi terbarukan sebagai basis perhitungan dana alokasi umum,” katanya.

Pembangunan pembangkit energi terbarukan juga perlu akselerasi, seperti, memacu pengembangan panas bumi meliputi risiko eksplorasi, tarif, insentif fiskal dan regulasi sektoral.

Untuk memacu perkembangan energi surya perlu akselerasi listrik surya atap untuk bangunan pemerintah, pemerintah daerah, fasilitas publik, gedung dan fasilitas BUMN serta rumah mewah dengan substitusi subsidi listrik dengan listrik surya atap.

Perkembangan energi biomassa juga perlu dengan pembangunan kebun biomassa untuk bahan bakar pembangkit listrik di pulau-pulau kecil, co-firing biomassa dan pengembangan kebun energi skala besar serta tersebar.

Tak ketinggalan, katanya, perlu pengukuran dan pemetaan potensi angin, penyediaan lahan (land provision), skala utilitas dan reverse auction untuk energi bayu.

Irwandy Arif dari Indonesia Mining Institute mengatakan, revisi UU Mineral dan Batubara (UU Minerba) harus mampu menerjemahkan paradigma pertambangan untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, kelangkaan sumber daya dan kerusakan lingkungan.

Pemerintah, katanya, perlu konsolidasi nasional dalam mengendalikan jumlah pelaku usaha pertambangan.

“Arah pertumbuhan per korporasi harus segera,” katanya.

KESDM, sebagai kementerian teknis yang bertanggungjawab atas pengelolaan minerba diharapkan berada di depan dalam konsolidasi di tengah tekanan politik daerah yang berkepentingan atas eksistensi operasi izin usaha pertambangan.

“Tanpa konsolidasi nasional, pemerintah akan dihadapkan pada munculnya masalah kerusakan lingkungan hidup di wilayah usaha pertambangan.”

Pada manajemen dampak sosial dan lingkungan, pemerintah harus segera meningkatkan peraturan agar perusahaan dapat melaporkan dan dapat persetujuan pemerintah environment protection and resources preservation (EPRP). Juga perlu formalisasi tambang rakyat agar pengawasan lingkungan tambang ketat oleh pemerintah.

“Kapasitas institusi terus diperkuat, melalui peningkatan anggaran, fasilitas dan peningkatan kualitas sumber daya manusia mengingat dampak kerusakan lingkungan tambang.”

Pemerintah, katanya, harus ketat dan adil ke semua perusahaan dalam melakukan pengawasan lingkungan.

 

Keterangan foto utama:  tri mumpuni2-Energi terbarukan dari Turbin Angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto dok Tri Mumpuni

 

 

Exit mobile version