Mongabay.co.id

‘Perang’ Gubernur Maluku Karena Kesal Tak Kunjung Jadi Lumbung Ikan Nasional

 

 

Kekesalan Gubernur Maluku Ismail Murad sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia mempertanyakan janji Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang akan menjadikan Provinsi Maluku sebagai lumbung ikan nasional (LIN) dan diungkapkan setelah Susi dilantik menjadi Menteri pada 2014. Janji tersebut terucap saat Susi berbicara di depan DPRD Provinsi Maluku.

Maka itu, saat pelantikan penjabat Sekretaris Daerah Maluku di kantor Gubernur, Senin (2/9/19), Ismail Murad dengan terang-terangan menyatakan perang terhadap Susi Pudjiastuti dan kebijakannya untuk Maluku. Susi tidak bisa merealisasikan janji yang sudah diucapkan dan diulanginya pada 2018 di Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

Sebelumnya, saat berpidato pada sidang paripurna DPRD Provinsi Maluku, 11 Desember 2014, Susi Pudjiastuti menjanjikan membantu Maluku memperoleh dana Rp1 triliun untuk implementasi program LIN.

Tetapi, janji tersebut tak kunjung terwujud, karena Murad menyebut kalau Peraturan Presiden (Perpres) tentang LIN tidak pernah ditandatangani Susi.

“Di depan paripurna istimewa DPRD Provinsi Maluku pada 11 Desember 2014, ibu Susi berjanji untuk membantu Maluku memperoleh Rp1 triliun sebagai implementasi dari program LIN dalam membangun industri perikanan di Maluku. Janji itu tidak pernah dia penuhi,” lanjut Murad.

“Padahal, Perpres semestinya sudah sampai ke meja Presiden RI sejak dua tahun lalu. LIN juga masuk dalam Renstra (Rencana Strategis) KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk tahun buku 2015-2019,” ucap Murad, Rabu (4/9/2019).

baca : Setelah Nyatakan Perang, Gubernur Maluku Bersikukuh Tegaskan 5 Tuntutan Kepada Menteri Kelautan

 

Gubenur Maluku, Murad Ismail di Kantor Gubernur Maluku, Ambon, Kamis (5/9/19) menjelaskan hasil pertemuan dengan pejabat KKP utusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang pernyataan perang Murad kepada Susi tentang beberapa hal terkait kondisi sektor perikanan dan kelautan di Maluku. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Pangkal Masalah

Pemerhati Sektor Kelautan dan Perikanan Abdul Halim menanggapi keluhan Gubernur Maluku tersebut sebagai akibat adanya ketimpangan pendapatan dari sektor perikanan untuk provinsi tersebut. Padahal, perairan laut Maluku sangat strategis dan masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 714, 715, dan 718.

Sebelum Susi menjadi Menteri pada 2014, Maluku termasuk salah satu provinsi yang mendapatkan pemasukan cukup dari sektor perikanan. Namun, setelah Susi menjabat, kemudian diterapkan kebijakan moratorium eks kapal asing di seluruh Indonesia. kebijakan tersebut langsung memengaruhi pendapatan Maluku dari perikanan.

“Itu yang menjadi pangkal masalah saat ini. Di satu sisi, Maluku itu sumber daya ikannya banyak, namun kapal yang mencari ikan sangat sedikit. Biasanya, kapal di Maluku sebagian besar adalah kapal asing,” jelasnya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (4/9/2019).

Menurut Halim, fakta tersebut yang selalu membayangi sektor perikanan di Maluku dan juga wilayah Indonesia lainnya dalam beberapa tahun terakhir. Khusus Maluku, provinsi tersebut menjadi istimewa, karena memiliki Laut Arafura yang dikenal memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Perairan tersebut selalu menjadi buruan kapal ikan bertonase besar.

Berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Halim menyebutkan kapal berukuran di bawah 30 gros ton (GT) sebagian besar perizinannya sudah tidak aktif lagi dari 2015 hingga 2019. Dengan berkurangnya armada kapal, maka pendapatan daerah juga otomatis turun, karena produksi perikanan tangkap tidak sebanyak sebelum kebijakan moratorium diberlakukan.

“Belum ada perpanjangan (izin kapal dibawah 30 GT) sampai sekarang,” katanya.

baca juga : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Ilustrasi. Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mengenai kebijakan pengaturan 12 mil laut yang diprotes Gubernur Maluku, Halim menyebut kebijakan tersebut berkaitan dengan pola hubungan dan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Melalui kebijakan tersebut, diatur kapal ikan yang boleh berlayar di bawah dan di atas 12 mil laut.

Untuk di bawah 12 mil laut, kebijakan itu ada di tangan Pemprov, dalam hal ini adalah Provinsi Maluku. Seluruh kapal ikan yang akan mencari ikan di bawah 12 mil laut di Maluku, maka proses perizinannya menjadi tanggung jawab Pemprov Maluku. Sementara, untuk kapal yang akan mencari ikan di wilayah perairan di atas 12 mil, maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Pemerintah Pusat.

Sedangkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan berpendapat agar Gubernur Maluku lebih bijak dalam menanggapi persoalan tersebut. Meski Suhufan paham Maluku terkena imbas dari kebijakan moratorium eks kapal asing.“Kebetulan, jumlahnya banyak di Maluku,” sebutnya.

Protes keras Murad, lanjut Suhufan, karena Maluku sejak lama menjadi magnet bagi kapal ikan berukuran besar untuk perairan Laut Arafura. Di sana, kapal ikan yang beroperasi sekarang jumlahnya mencapai 1.200 unit dan berukuran di atas 30 GT. Sementara, pada 2014, di lokasi yang sama juga ada 1.200 kapal berukuran sama, namun 800 kapal adalah punya asing.

Dengan fakta tersebut, ketimbang membuat gaduh dengan mempersoalkan kebijakan moratorium eks kapal asing, Suhufan menyaranka nGubernur Maluku segera memanfaatkan potensi sumber daya ikan di wilayahnya dengna cara mendorong para pelaku usaha lokal untuk berinvestasi di sektor perikanan tangkap. Cara tersebut, diyakini akan menjadi solusi lebih bijak karena bisa menyeimbangkan pendapatan daerah.

perlu dibaca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru : Kondisi Nelayan Kecil [Bagian 1]

 

Ilustrasi, Sepasang kapal penangkap ikan yang barengan melaut. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Amanat UU

Pemanfaatan potensi ikan, menurut Abdi Suhufan juga berkaitan dengan kebijakan pengaturan wilayah 12 mil laut. Kebijakan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan bertujuan untuk memperluas serta memperkuat kewenangan provinsi dalam mengelola wilayah lautnya.

“Termasuk. Dalam pemanfaatan sumber daya ikan,” tegasnya.

Dengan kata lain, kebijakan 12 mil laut juga sudah dipertimbangkan justifikasi ilmiahnya oleh Pemerintah Indonesia. Pengelolaan wilayah laut di atas 12 mil, itu diserahkan kepada Pusat karena memang itu untuk perikanan skala besar. Sebaliknya, untuk wilayah laut di bawah 12 mil pengelolaannya dilakukan oleh Provinsi, karena itu masuk perikanan skala kecil.

Disisi lain, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) berpendapat protes Gubernur Maluku muncul karena kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti tidak berbasis kajian yang komprehensif. Dalam praktiknya, Susi lebih sering menekankan aspek kuratif (efek jera) untuk para pelaku illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF).

“Kebijakan perikanan yang dijalankan oleh Susi Pudjiastuti tidak punya skema sistematis dan terarah untuk menghubungkan antara penegakan hukum sekaligus kedaulatan di laut dengan cara mengusir pelaku IUU Fishing dari negara lain, dengan peningkatan ekonomi daerah, khususnya Provinsi Maluku yang memiliki ketergantungan terhadap sektor kelautan,” papar Sekjen KIARA Susan Herawati.

Tetapi KIARA menilai keberatan Gubernur Maluku seharusnya tidak terjadi, karena nilai ekspor perikanan Provinsi Maluku meningkat setidaknya sejak 2015 hingga 2017. Sepanjang tahun tersebut, tercatat nilai ekspor perikanan Provinsi Maluku pada 2015 sebanyak USD62,828 miliar menjadi USD66,381 miliar pada 2017.

Menurut Susan, dengan fakta tersebut, Gubernur Maluku seharusnya lebih fokus pada agenda pembangunan di provinsi kepulauan ini, karena sampai saat ini angka kemiskinannya sangat tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat, jumlah penduduk miskin di Provinsi Maluku sebanyak 3.205.100 orang.

Selain itu, Gubernur Maluku juga diminta untuk segera menyelesaikan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh nelayan, diantaranya dampak tambang emas di Pulau Romang dan juga tambang emas di Pulau Buru. Kedua proyek ini selain merusak ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, juga memberikan dampak buruk bagi nelayan kecil.

baca juga : Pemkab Maluku Tenggara Barat Belum Dukung Pembangunan SKPT Saumlaki?

 

Gubenur Maluku, Murad Ismail (tiga dari kiri) didampingi pejabat eselon 1 KKP di Kantor Gubernur Maluku, Ambon, Kamis (5/9/19) menjelaskan hasil pertemuan dengan pejabat KKP utusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang pernyataan perang Murad kepada Susi tentang beberapa hal terkait kondisi sektor perikanan dan kelautan di Maluku. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Dianggap Selesai

Untuk mengklarifikasi keluhan Gubernur Maluku, Susi Pudjiastuti mengutus Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman, Staf Ahli Menteri Yunus Husen, dan Direktur Pelabuhan Perikanan Frist Lesnussa. Keempat pejabat tersebut bertemu Murad di Kantor Gubenur Maluku di Ambon pada Kamis (5/9/2019).

Usai pertemuan itu, Murad mengatakan pernyataan ‘perang’ kepada Menteri Susi adalah bentuk aspirasi kepada Pemerintah Pusat agar merealisasi berbagai janjinya.

Menurutnya, masalah maupun protes yang dilayangkan sudah selesai. Namun dia berharap lima poin yang sudah disampaikan kepada Pemerintah Pusat dapat direspon dan diakomodir dengan baik.

“Saya harap masalah ini tidak usah diperbesar oleh rekan-rekan wartawan, karena sudah selesai. Ini cuma soal komunikasi yang tidak berjalan baik saja. Tentu saya mengapresiasi Ibu Susi dan juga utusan yang sudah datang ke Maluku untuk menemui kami,” harapnya.

Lima point permintaan Gubernur antara lain realisasi Maluku menjadi Lumbung Ikan Nasional (LIN), pengesahan RUU Provinsi Kepulauan, KKP agar menyetujui draf Perpres tentang Maluku menjadi LIN, dan Kemendagri segera menyetujui Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Maluku.

Sementara Sekjen KKP Nilanto Perbowo mengatakan, usulan Pemerintah Maluku akan disampaikan ke Menteri Susi dan dalam waktu dekat akan disampaikan kembali ke Pemerintah Provinsi Maluku.

“Bersama ini, kami juga mengapresiasi Pemerintah Maluku. Prinsipnya, semua yang sudah disampaikan Pak Gubernur akan kita sampaikan ke Ibu Susi,” singkatnya.

 

Exit mobile version