Mongabay.co.id

Lampu Hijau Gubernur Bengkulu untuk Perda Konservasi Rafflesia

 

 

Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah memberi lampu hijau terkait usulan pembuatan Peraturan Daerah [Perda] Konservasi Rafflesia yang digaungkan Komunitas Peduli Puspa Langka [KPPL] Bengkulu bersama Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Universitas Bengkulu.

“Bisa saja, saatnya menjaga hutan agar anak cucu kita bisa melihat bunga langka itu,” terang Rohidin melalui pesan WhatsApp, Kamis [05/9/2019].

Orang nomor satu Bengkulu itu juga menyampaikan, memang seharusnya peraturan dibuat untuk menjaga hutan Bengkulu. Terlebih, habitat Rafflesia.

“Kita coba diskusikan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Pak Agus [Peneliti Rafflesia dan Amorphopahalus],” lanjutnya.

Baca: Perlindungan Rafflesia dan Habitatnya Perlu Aturan Tegas

 

Rafflesia arnoldii merupakan Puspa Langka Nasional yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI No. 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Penegasan Rohidin muncul setelah Ketua KPPL Bengkulu, Sofian mengeluhkan adanya oknum yang membuka objek wisata bunga Rafflesia arnoldii dadakan.

Menurut Sofian, kondisi ini menjadi ancaman ekosistem Puspa Langka Nasional itu di habitatnya. Dari penelusuran KPPL, wisata Rafflesia dadakan itu, yakni pelayanan jasa kunjungan dengan jaminan melihat langsung di lokasi tidak jauh jalan raya, hanya akal-akalan. Usut punya usut, ternyata oknum warga yang memindahkan Rafflesia dari inangnya di hutan ke pinggir jalan.

“Cara itu tak dibenarkan, karena merusak inang, yang merupakan bagian bunga paling penting,” tegasnya kepada Mongabay Indonesia akhir Agustus 2019.

Tumbunan inang sangat penting bagi keberlangsungan hidup Rafflesia. Bunga yang memiliki lima kelopak dengan ukuran 70 hingga 90 cm, tinggi mencapai 50 cm, tanpa akar, tanpa daun dan tanpa batang itu, takkan hidup kalau tidak menempel pada inang atau liana [Tetrastigma].

“Pada satu inang, bisa hidup lebih dua Rafflesia, kalau dipotong satu, yang lainnya mati,” terang Sofian.

Sebab, Rafflesia termasuk parasit obligat, tumbuhan yang sepenuhnya mengantungkan sumber energi pada tumbuhan inang. Artinya, ia hanya hidup dalam sel dan jaringan inang hidup.

Perusakan juga menggagalkan proses reproduksi bunga langka tersebut. Sebab, organ reproduksinya yaitu benang sari dan putik, berada di tengah dasar bunga berbentuk melengkung. Penyerbukan dibantu serangga yang tertarik karena bau bunga selama mekar sekitar 5-7 hari.

Sofian menegaskan, pemindahan Raffesia berkaitan erat dengan perambahan hutan di Bengkulu. “Kami menemukan, yang memindahkan adalah perambah,” terangnya.

Baca: Jelas Dilarang, Tapi Ada Pihak yang Sengaja Pindahkan Rafflesia Arnoldii. Apa Maksudnya?

 

Rafflesia arnoldii ini mekar di wilayah Bukit Kaba, Rejang Lebong, Bengkulu, pertengahan 2018 lalu. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Rafflesia dan Amorphophallus Universitas Bengkulu, Agus Susatya telah mengusulkan, cara menjaga Rafflesia adalah dengan mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan menjaga habitat dari oknum perambah yang sangat merugikan itu.

“Langkah awal, harus rutin sosialisasi ke masyarakat, mulai dari pentingnya Rafflesia, bagaimana cara menjaga, apa saja yang merusak, serta dampak ekologi dan ekonomi bagi masyarakat,” katanya.

Bila konsep konservasi dengan ekowisata berjalan, diharapakan tumbuh tanggung jawab masyarakat untuk menjaga dan memelihara.

Agus juga menegaskan, menjaga Rafflesia harus ada kerja lintas sektoral, mulai peneliti, pakar hukum, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata, komunitas, kelompok masyarakat, dan lainnya untuk menguatkan legalitas hukum. Tujuannya, ada Perda Konservasi Rafflesia.

“Perda untuk mendukung pelestarian keanekaragaman hayati, meningkatkan fungsi lingkungan hidup, dan tercipta keseimbangan ekosistem,” ujarnya.

Baca: Ekowisata, Strategi Andalan Konservasi Rafflesia dan Amorphophallus

 

Usulan pembuatan Peraturan Daerah [Perda] Konservasi Rafflesia tengah diupayakan di Bengkulu. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dinas Lingkungan Hidup janji kawal perda

Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup [PPLH] Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Bengkulu, David Gusman mengatakan, setuju dengan pendapat Gubernur Bengkulu.

“Kami berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi Gubernur,” kata dia, Kamis [05/9/2019].

“Tahun depan, bisa saja dimasukkan anggaran pembahasan perda tersebut,” lanjut dia.

Namun, David masih menimbang bila hanya Rafflesia dan Amorphopallus yang diatur. “Nanti komunitas harimau minta perda lagi, yang gajah sumatera juga, beruang madu dan lainnya bagaimana? Sementara, biaya membuat perda itu mahal,” katanya.

“Kami janji, akan membuat peraturan khusus yang mengatur semua flora dan fauna dilindungi dalam satu perda konservasi saja,” tambahnya.

Perda yang dimaksud David adalah Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [RPPLH]. Rancangan perda ini dapat mengacu surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 tentang Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota.

“Rencana perda ini sudah ada, dokumen akan disiapkan, semua jenis flora dan fauna, dan sumber daya alam di Bengkulu akan kita atur dalam RPPLH,” kata dia.

RPPLH akan ada pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam, pemeliharaan dan perlindungan kualitas fungsi lingkungan hidup, pengendalian pemantauan serta pendayagunaan pelestarian sumber daya alam, serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses, fungsi, dan produktivitas lingkungan hidup, keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.

Baca juga: Ekowisata, Strategi Andalan Konservasi Rafflesia dan Amorphophallus

 

Rafflesia arnoldii ini dipindahkan dari tempat hidup aslinya, lalu dicat. Kejadian ini pada 1 Januari 2017, di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Sofian

 

Fokus SRAK Rafflesia dan Amorphophallus

Sejatinya, Rafflesia dan Amorphophallus sudah ada dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK]. Bahkan, SRAK itu yang pertama di Indonesia untuk jenis flora atau tumbuhan.

SRAK dibuat Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Pemda Provinsi Bengkulu, dan Dewan Riset Daerah Bengkulu. Bahkan sudah dideklarasikan pada acara International Symposium on Indonesian Giant Flower Rafflesia and Amorphophallus, 14-16 September 2015, di Bengkulu. SRAK berlaku 2015 hingga 2025.

Dalam SRAK dijelaskan, pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dengan pola kemitraan multipihak, akan memperhatikan kondisi habitat, populasi, dan ancaman kepunahan.

“Isi SRAK sudah bagus sekali, praktiknya harus dioptimalkan. Nanti, kami dukung dengan Perda RPPLH,” tandas David.

 

 

Exit mobile version