Mongabay.co.id

Rangkong Gading dan Arwana Merah, Akankah Bertahan dari Ancaman Kepunahan?

Rangkong gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

 

Nasib rangkong gading dan arwana merah super berada di garis kepunahan. Berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), rangkong gading berstatus Critically Endangered [Kritis], sementara arwana merah super dalam kondisi Endangered [Genting].

”Punahnya satwa Indonesia berarti hilangnya identitas budaya Indonesia,” ujar Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, di Jakarta, akhir Agustus 2019.

Rangkong gading, spesies simbol Kalimantan Barat ini dalam lima tahun terakhir mengalami ancaman perburuan cukup signifikan. Paruhnya diambil dan diperdagangkan ilegal.

Berdasarkan data Rangkong Indonesia 2012-2017, telah ditemukan sekitar 2.800 paruh rangkong yang tersebar di pasar gelap. ”Potensi kerugian mencapai 8,4 juta dollar AS,” ujar Yokyok Hadiprakarsa, pendiri Rangkong Indonesia.

Di akhir 2015, statusnya ditetapkan Kritis atau satu langkah menju kepunahan. Padahal, di tahun sebelumnya masih Near Threatened [NT] atau mendekati terancam punah.

Yoki, panggilan akrab Yokyok, mengakui jenis ini bukan ‘spesies selebritis’ namun memiliki peran penting bagi alam. Petani hutan sejati disematkan pada rangkong gading, karena jasanya membantu menebar biji tanaman di hutan.

Baca: Pahlawan Konservasi: Wawancara dengan Rangkong Indonesia

 

Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Yoki menyebutkan, banyak faktor yang menyebabkan jenis ini terancam hebat. Proses perkembangbiakannya termasuk lambat dalam satu siklus, sangat bergantung alam. Setiap bereproduksi hanya 3 butir telur. Habitatnya pun spesifik, bagian atas pohon yang memiliki lubang.

”Dia tidak membuat lubang sendiri, tapi menggunakan lubang alami pada pepohonan dengan tinggi minimal lima meter,” ujarnya.

Faktor budaya pun berpengaruh. Rangkong memiliki nilai budaya adat tinggi bagi Suku Dayak. Aksesoris dari rangkong gading menjadi lambang keberanian, kepemimpinan, dan pelindung.

Kini, pergeseran nilai budaya menyebabkan banyak orang tertarik mengoleksi, hingga memperdagangkan bagian tubuhnya. Seperti, cincin, gelang, ukiran, pajangan, mulai dari paruh hingga bulu ekor. ”Bahkan, pernah ada yang tertangkap membuat tasbih dari paruh rangkong gading,” ujarnya.

Sebagian besar perburuan di Indonesia terjadi di Provinsi Kalimantan Barat yang saat ini diperkirakan masih ada populasi dan habitatnya di hutan Kapuas Hulu.

Nilai jual dan permintaan tinggi tidak didukung tegas peratuan pemerintah dalam perlindungannya. China menjadi salah satu negara yang memiliki permintaan tinggi.

Baca: Digagalkan, Penyelundupan 72 Paruh Rangkong Gading Tujuan Hong Kong

 

Rangkong gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Minim penelitian

Yoki menyebutkan, minimnya penelitian informasi dasar biologi dan ekologi rangkong gading menyebabkan konservasi terbatas dilakukan. ”Malahan, belum ada riset ilmiah tentang rangkong gading ini, [bahkan] di Indonesia terutama habitat asalnya,” ujarnya.

Kajian Rangkong Indonesia hanya menemukan 55 penelitian rangkong yang sudah dipublikasikan dalam kurun waktu 1980-2016. Hal ini juga menyebabkan sulitnya mengukur dampak perburuan rangkong gading alih-alih penegakan hukum.

Rangkong butuh areal jelajah hutan yang luas. Perlu upaya konservasi skala bentang alam yang melibatkan banyak pihak.

Dalam mendukung pelaksanaan SRAK Rangkong Gading 2018-2028, TFCA Kalimantan bersama Rangkong Indonesia melakukan perkiraan populasi dan pemantauan habitat, serta kampanye penyadartahuan yang melibatkan masyarakat.

”SRAK itu masih skala nasional, sifatnya normatif dan tidak spesifik. Sementara, masyarakat tapak tidak terlalu mengerti apa yang harus dilakukan,” ujar Yoki.

Pihaknya juga akan menyusun rencana pengelolaan rangkong di tingkat unit manajemen taman nasional.

Baca: SRAK Rangkong Gading Sudah Ditetapkan, Bagaimana Implementasinya?

 

Paruh enggang gading yang disita. Perburuan terus terjadi yang menyebabkan populasinya di alam menurun. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Ekowisata jaga arwana

”Danau Lindung Empangau lahir dari rahim kearifan lokal masyarakat, berawal penangkapan ikan besar-besaran di perairan Kapuas Hulu,” ujar Agus, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas [Pokmaswas] pelestarian ikan arwana daerah Danau Lindung Empangau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Silok merah, merupakan nama lokal arwana merah super. Habitat di alam tersisa hanya di Danau Lindung Empangau dan Danau Merebung, Kapuas Hulu. Pengenalan dan pemahaman spesies ini pun diperkenalkan masyarakat melalui ekowisata.

Praktik ini lahir dari kearifan lokal masyarakat, dengan aturan zonasi perlindungan kawasan, praktik pemanenan, pembudidayaan dan pelepasliaran, serta pengawasan. ”Ada kawasan pemanfaatan ekonomi, terbatas, dan area lindung,” ujarnya.

Bahkan, pola pemanenan diatur melalui musyawarah seluruh masyarakat, hanya boleh diambil anakan ukuran di bawah 5 cm. Jika terjadi pelanggaran, pelaku bisa dikeluarkan dari desa.

”Kalau dapatnya arwana dewasa harus dikembalikan, kalau tidak kami denda. Namun, jika dapatnya ikan toman atau gabus, tak apalah boleh diambil,” ujarnya.

Upaya konservasi ini didukung Surat Keputusan [SK] Bupati Kapuas Hulu Nomor 6 Tahun 2001 dengan penetapan Danau Empangau sebagai danau lindung. Tujuannya, mengelola dan memberikan perlindungan spesies di danau tersebut.

Baca: Kini, Arwana di Sungai Ketungau Sulit Dicari. Apa Penyebabnya?

 

Ikan arwana merah di Sungai Kapuas. Foto: Wasol/WWF-Indonesia/Panda Click

 

Ancaman pencemaran

Pengembangbiakan arwana nyatanya sangat bergantung pada alam. Wujihan Thjin atau Acung, Ketua Asosiasi Pedagang dan Penangkar di Kalbar membenarkan hal tersebut. Dia memiliki lahan seluas 16 hektar, sekitar 4 hektar hanya digunakan penangkaran dan budidaya. ”Sisanya tetap menjadi hutan, saya tanami buah-buahan dan sebagainya. Agar ekosistemnya terjaga,” ujarnya.

Ketika ekosistem terjaga, telur yang dihasilkan arwana baik juga.

Acung mengatakan, ancaman saat ini adalah pencemaran air dari limbah perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, perkebunan sering kali menggunakan pupuk dan insektisida kimia yang bisa mengalir dan larut di sungai-sungai.

”Sering terjadi saat penghujan, limbahnya sampai ke kami, maka jalur airnya kami tutup,” ujarnya. Hal ini menyebabkan kualitas telur arwana jelek dan anakannya tidak baik, bahkan mati. Meski demikian, pihaknya masih tidak mengetahui perusahaan yang berada di hulu.

Dia berharap, kondisi ini jadi perhatian pemerintah melindungi arwana. Diakui Acung, penangkaran ini memiliki potensi ekowisata. Liukan tubuh dan warna sisik menyala, membuat wisatawan takjub. Penangkaran menjadi solusi atas meningkatnya permintaan pasaran dan jalan untuk pengembangbiakan.

“Kalau dimanfaatkan bisa menjadi alternatif perekonomian warga. Pemerintah mungkin bisa mempromosikannya sebagai daerah wisata lingkungan yang menarik,” terangnya.

Pengelola penangkaran pun wajib melepasliarkan ikan jika sudah memenuhi kesiapan untuk bertahan hidup di alam. Tujuannya, meminimalisir terjadinya efek perkawinan satu induk. Acung mengatakan, kini penangkar sulit mendapatkan lokasi untuk pelepasliaran. ”Air harus bagus, tidak tercemar,” ujarnya.

Pada 1990-an, ikan ini masih tersebar di hulu Sintang, yaitu Semitau, Bunut, Tembalung, Puttusiabau, dan Danau Sentarum. Saat ini, disebabkan perburuan dan keadaan alam yang tak mendukung, perlahan hilang di alam.

Berbicara pelepasliaran, Acung pernah diminta melakukannya di Danau Sentarum. Namun, dia sangat menyayangkan kondisi danau yang tidak bersahabat. Tak hanya kering saat musim kemarau, juga tercemar.

Perburuan, hilangnya habitat, dan kerusakan lingkungan menjadi penyebab populasi satwa liar terancam. Berdasarkan riset Pusat Penelitian Kehutanan Internasional [CIFOR] 2000-2017, sekitar 6,04 juta hektar hutan hilang di Kalimantan. Sekitar setengah dari daerah yang hilang itu, berubah menjadi perkebunan industri yang 92% merupakan perkebunan sawit.

 

 

Exit mobile version