Mongabay.co.id

BMKG: Asap Indonesia Tak ke Negara Tetangga, Malaysia pun Alami Kebakaran

Zulfan mematikan asap dari balik kayu bekas terbakar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah di Indonesia, belum padam. Titik api masih bertebaran di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Dari pemantauan, kebakaran terjadi juga di negara ASEAN lain seperti Malaysia, dan Filipina. Pemerintah Indonesia, menyatakan, kebakaran yang menyebabkan kabut asap, tak meluas sampai ke negeri tetangga.

Kepala Badan Meteologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, kabut asap imbas karhutla di beberapa wilayah di Indonesia tidak sampai melintas ke negara tetangga.

“Kami memantau hotspot menggunakan satelit Himawari yang dianalisis lebih lanjut dengan sitem geo hotspot di BMKG. Kami sudah memantau sejak Juli hingga kini. Titik-titik api menunjukkan ada di Indonesia dan ASEAN. Di Serawak, juga sudah muncul, di Filipina dan semenanjung Malaysia. Di Riau, ada tapi belum rapat,” katanya pada jumpa pers di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Selasa (10/9/19).

Pada 5 September 2019, saat pemberitaan marak menyebut, kabut asap sudah terjadi di Malaysia dan Singapura, di Sumatera, bagian timur atau di Riau malah bersih titik api. Pada saat itu hujan dengan curah 23 mm sepanjang hari.

“Ini kami berbicara berdasarkan data. Kita lihat berdasarkan citra satelit himawari. Kemudian kita bandingkan juga dengan citra satelit lain seperti Sentinel milik Eropa.”

“Kita overlay data satelit Sentinel dengan Himawari lalu kita masukkan data arah dan kecepatan angin. Terlihat memang di selat Malaka ada angin yang dominan arah dari tenggara ke barat laut. Ini juga jadi jawaban, kalau ada hotspot, kenapa tak bisa nyebrang dari Sumatera ke semenanjung Malaysia? Karena terhalang oleh angin yang kencang dan dominan ini,” katanya.

Dia bilang, meskipun ada sebaran hotspot di Sumatera Selatan dan menyebar ke arah barat laut karena mengikuti arah angin, pergerakan tidak sampai ke negara tetangga.

“Lalu di 6 September di Riau muncul hotspot. Tapi kita juga melihat di semenanjung Malaysia, hotspot rapat di pantai dan meluas.”

Terkait kandungan karbon monoksida (CO) di udara, kata Dwikorita, hal itu akumulasi dari pembakaran. Kandungan CO di udara yang tinggi terdapat di daerah Kalimantan Selatan.

“Pada 8 September, di semenanjung Malaysia ini titik api makin rapat, bahkan sampai merah-merah. Itu artinya titik panas terdeteksi dalam waktu yang cukup lama karena satelit memantau ada 142 kali memotret. Kalau merah itu, artinya terpotret lebih dari 10 kali.”

“Untuk di Sumsel dan Bengkulu, itu jelas, kita tidak membantah. Yang di perbatasan Riau, relatif bersih. Cuma di Semenanjung Malaysia, makin merah dan banyak. Demikian juga di Kalimantan, baik Kalbar dan Serawak, itu padat,” katanya.

 

Data karhutla Indonesia 6 September 2019. Sumber: BNPB

 

Meski begitu, katanya, di Serawak juga banyak titik api. Antara Kalbar dan Serawak, masing-masing terdapat titik api. Dari hotspot itu, katanya, konsentrasi CO di atmosfir menyebar.

“Data terakhir, terlihat ada akumulasi CO tinggi, mendekati maksimal (0,06-red). Itu ada di laut Cina Selatan yang cukup luas. Pertanyaannya, CO ini dari mana? Dari analisis menggunakan satelit Himawari, Geo hotspot dan Sentinel, terlihat kandungan tinggi CO ini sebagian berasal dari Serawak, sebagian berasal dari Kalbar. Yang dari Pekanbaru dan Sumatera lain dicegah angin yang cukup kuat di Selat Malaka,” katanya.

Berdasarkan analisis BMKG pakai citra satelit Himawari, Sentinel dan geo hotspot, di Malaysia sendiri pada 6 September 2019, terdapat 1.038 titik api. Kemudian meningkat keesokan hari menjadi 1.423 titik. Di Sumatera pada 6 September terdapat 869 titik, menurun pada keesokan hari jadi 544 titik.

“Berdasarkan pengamatan citra satelit Himawari, teridentifikasi ada peningkatan titik-titik panas di ASEAN, bukan hanya di Indonesia. Ada peningkatan yang mencolok dari pada 4 ke 5 September. Pada 5 September terjadi penurunan jumlah titik panas di Riau karena turun hujan. Arah angin pada waktu itu dari tenggara ke barat laut dengan kecepatan 5-10 knots. Lalu terjadi lonjakan hotspot pada 6 September di Riau, Semenanjung Malaysia dan Vietnam,” katanya.

Dia menyimpulkan, kabut asap di Sumatera, tidak terdeteksi melintasi Selat Malaka karena terhalang angin kencang dan dominan bergerak dari arah tenggara ke barat laut.

“Untuk kondisi di Kalbar dan Serawak, terdeteksi lonjakan titik panas pada 4 September. Kemudian terjadi penurunan titik panas pada 8 September di Serawak, meningkat kembali pada 9 September. Di Kalbar terjadi penurunan titik panas dari 8 hingga 9 September.”

Dia kembali menekankan, kabut asap di Malaysia, bukan kiriman dari Indonesia melainkan dari titik api di wilayah mereka, atau disebut local hotspot.

“Kita cukup apresiasi ucapan Pemerintah Malaysia mau bikin hujan buatan. Itu berarti menyadari banyak hotspot di daerahnya. Kita sudah hujan buatan di Palembang dan Pekanbaru. Sekarang sedang siapkan operasi penyemaian di Kalbar.”

 

Direktorat Penegakan Hukum KLHK usai peyegelan lokasi terbakar. Foto: dari Facebook Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK

 

Karhutla dan pelepasan emisi

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan, selama Januari-Agustus 2019, luas hutan dan lahan terbakar ada 328.724 hektar. Di lahan mineral 239.161 hektar dan lahan gambut 89.563 hektar. Di hutan konservasi 28.854 hektar, hutan lindung 18.978 hektar, dan hutan produksi terbatas 23.692 hektar. Lalu, hutan produksi 61.140 hektar, hutan produksi konversi 29.642 hektar, dan di APL 166.417 hektar.

Ruandha Agung Sugardiman, Dirjen Perubahan Iklim KLHK mengatakan, telah menghitung emisi yang lepas sebagai dampak peristiwa karhutla. Dari total sementara 328.724 hektar terbakar, emisi karbon yang lepas sebanyak 109,7 juta ton CO2 ekuivalen. Dengan rincian emisi dari gambut 82,7 juta ton CO2 ekuivalen, Kemudian emisi kebakaran above ground biomass sebesar 27 juta ton CO2 ekuivalen.

“Ini hasil hitungan kami sampai 31 Agustus 2019. Ini masih lebih rendah daripada kebakaran 2018 sebesar 121 jt ton CO2 ekuivalen. Mudah-mudahan ke depan dengan sudah disemaikan garam, walau masih ada potensi musim kering sampai awal atau pertengahan November, upaya antisipasi terus bisa kita lakukan,” katanya.

Raffles B. Panjaitan Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK mengatakan, mereka terus melakukan berbagai upaya mengantisipasi dampak karhutla agar tak meluas.

Helikopter dan pesawat yang terlibat dalam patroli maupun pemadaman karhutla pada 2019, katanya, sampai 9 September, ada 46 unit. Ia tersebar di beberapa wilayah, seperti Riau (17), Sumatera Selatan (9), Kalimantan Barat (7), dan Kalimantan Tengah (7).

Untuk water bombing hingga 6 September sudah 66.349 kali dengan total air 239.633.200 liter. Untuk hujan buatan 207 kali dengan menaburkan garam 160.816 kilogram.

Patroli terpadu sudah di enam provinsi dengan membangun beberapa posko. Di Kalimantan Barat 68 posko menjangkau 280 desa, Kalimantan Tengah 19 posko (71 desa), Riau 82 posko (329 desa), Sumatera Selatan 75 posko (225 desa) dan Jambi 14 posko (84 desa).

“Terkait hujan buatan, memang tidak bisa dilakukan kalau tidak ada bibit awan, jadi baru di Riau dan Musi Banyuasin. Ini sekarang sedang disiapkan di Kalteng dan Kalbar. Sudah akan bergerak karena kondisi awannya sudah mencukupi,” kata Raffles.

Untuk upaya penindakan, katanya, hingga kini ada 18 perusahaan kena segel, di Kalimantan Barat (10), Jambi (1), Riau (3), dan Kalimantan Tengah (4).

“Jadi itu sekarang lagi berproses karena penegakan hukum ini tidak bisa dalam waktu singkat. Memerlukan bukti dan saksi dan itu sudah dengan mendatangkan saksi-saksi ahli.”

 

Keterangan foto utama:  Zulfan mematikan asap dari balik kayu bekas terbakar akhir Agustus lalu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version