Mongabay.co.id

Daur Ulang Sampah Plastik di Indonesia Rendah

Sampah botol plastik sekali pakai. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua di dunia setelah Tiongkok. Meski begitu, pengelolaan sampah plastik masih rendah, tanggung jawab perusahaan terhadap sampah-sampah mereka pun minim.

Data Sustainable Waste Indonesia (SWI), kurang dari 10% sampah plastik terdaur ulang dan lebih 50% tetap berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).

“Ada lebih dari 380 TPA di Indonesia setidaknya 8.200 hektar yang sebagian akan atau sudah penuh,” kata Dini Trisyanti, Direktur SWI dalam temu media di Jakarta, pekan lalu.

Dari segi industri, katanya, produksi, perdagangan komoditas, dan konsumsi terus tumbuh sesuai pertumbuhan ekonomi dan populasi. Data Kementerian Perindustrian 2019, dalam lima tahun konsumsi plastik naka; naik dari 17-23 jadi 25-49 kilogram perkapita pertahun. Impor bahan baku plastik juga akan mencapai 5,6 juta ton pertahun.

Pada 2017, perdagangan plastik US$2,6 miliar untuk impor dan US$1,5 miliar ekspor. Industri ini juga menyerap 13% tenaga kerja dari total industri besar dan menengah nasional.

Mengutip riset J Jambeck yang menyatakan, Indonesia sebagai penghasil sampah plastik terbesar kedua di lautan, kata Dini, bukan berarti Indonesia pengguna plastik terbesar kedua di dunia.

“Masalahnya, manajemen sampah plastik salah,” katanya.

Data riset itu menyebut, Amerika Serikat pakai plastik rata-rata 38 juta kiloram perhari. Negara ini berhasil dalam manajamen sampah plastik hingga angka mismanaged plastic waste tak ada. Berbeda dengan Tiongkok dan Indonesia, sebagai ‘juara’ satu dan dua, meski penggunaan plastik di Tiongkok 32 juta kilogram perhari, namun sampah plastik yang tak bisa dikelola sampai 24 juta kg perhari. Begitu juga Indonesia, meski penggunaan hanya 11 juta kilogram perhari namun sampah tak terkelola baik mencapai 9 juta kilogram perhari.

Karena itu, katanya, penting mengurangi sampah terbuang ke lingkungan sekitar dengan meningkatkan akses pelayanan sampah rumah tangga perkotaan, daerah pinggiran dan kepulauan termasuk kota kecil atau menengah.

Dari 380 TPA yang beroperasi banyak makin sempit. Juga sulit menemukan lahan baru untuk TPA karena penolakan masyarakat sekitar.“Akan lebih mudah jika sampah yang akan ditaruh di TPA sudah terpilah.”

Dini menyarankan, perlu ada circular economy (ekonomi sirkular) mengatasi masalah sampah plastik. Secara singkat, ekonomi sirkular membuat siklus antara produksi, konsumsi dan daur ulang hingga tak ada sampah. Ini berbeda dengan ekonomi linier, di mana setelah produksi dan digunakan muncul sampah yang harus dibuang.

Ekonomi sirkular, katanya, akan mengurangi ekstraksi sumber daya alam, menambah lapangan kerja, meningkatkan ekonomi langsung dan tak langsung, mengurangi sampah ke TPA dan meningkatkan kualitas lingkungan.

WSI membuat simulasi kalau sebuah kota dengan penduduk 200.000 orang dan menghasilkan sampah 100 ton perhari, akan memberi nilai daur ulang Rp3.000 perkilogram plastik. Lalu, Rp500 untuk plastik nilai rendah, ditambah Rp1.000 perkilogram masing-masing untuk kertas dan logam.

Jadi, dengan ekonomi sirkular untuk sampah plastik, analisa SWI, dari 1,67 juta ton impor bahan baku plastik untuk industri plastik, dapat daur ulang yang akan menghentikan 40% sampah plastik berakhir di TPA. Juga memberi pekerjaan kepada lebih dari 400.000 orang.

“Tentu saja akan mengamankan lebih dari 200 hektar lahan pertahun untuk jadi TPA,” kata Dini.

 

Tas dari sampah bungkus kopi buatan siswa Madrasah Aliyah Nurul Badean, Banyuwangi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tantangan daur ulang

Perusahaan yang gunakan kemasan termasuk plastik harus dituntut bertanggungjawab terhadap sampah yang mereka hasilkan. Produk minuman Coca Cola, misal punya komitmen global menciptakan food without waste pada 2030.

Di Australia, misal, perusahaan Coca Cola menunjukkan upaya bertanggung jawab terhadap sampah-sampah mereka. Pada kemasan minuman, perusahaan ini mencantuman keterangan, bagi yang mengembalikan kemasan akan mendapatkan kembalian A$10 Cent, atau point. Di Indonesia, perusahaan ini belum menerapkan hal serupa.

“Kami sadar produk kami gunakan plastik dan aluminium,” kata Triyono Prijosoesilo, Direktur Komunikasi dan Public Affairs Coca-Cola Indonesia.

Perusahaan, katanya, punya target mendaur ulang sejumlah sama dengan plastik yang mereka gunakan untuk produksi produk pada 2030.

“Ini target cukup ambisius, namun kami belum tau bagaimana cara mencapai target itu. Menuju ke sananya seperti apa,” katanya.

Saat ini, Coca-cola Indonesia punya Gerakan Plastic Reborn #BeraniMengubah yang jadi bagian dari upaya mereka mencapai komitmen world without waste.

Plastic Reborn, jelas Triyono, berusaha melihat pengelolaan sampah kemasan botol plastik dari sudut pandang circular economy, yaitu integrasi elemen-elemen pengelolaan sampah kemasan plastik mulai dari collection-recyling-upcyling.

 

Minuman kemasan klaeng atau plastik dari Coca Cola Company di Australia ini ada label soal pengembalian sampah mereka. Bagi yang mengembalikan sampah akan mendapatkan A$ 10 cent. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

“Hingga dapat menciptakan model bisnis baru, yang akhirnya memberikan nilai pakai kembali dari kemasan plastik bekas pakai ini.”

Salah satu hasil penelitian Plastic Reborn bersama mitra memperlihatkan, data untuk di Kota Jakarta, collection rate  plastik botol PET bekas pakai mencapai 69%.

Indonesia, katanya, dengan penduduk sekitar 269 juta jiwa berperan penting dalam mempercepat penerapan circular economy terutama di Asia. “Langkah Coca Cola Indonesia melalui Plastic Reborn  ingin mengubah cara pandang terhadap plastik kemasan bekas pakai jadi bahan baku yang memiliki potensi ekonomi terus menerus,” kata Triyono.

Daur ulang plastik di Indonesia sebenarnya sudah mulai sejak 1970-an. Daur ulang plastik didominasi sektor informal yang berkembang secara mandiri.

“Dorongan utama karena manfaat ekonomi,” kata Wilson Pandhika Sekjen Indonesian Plastics Recyclers (IPR).

Dia bilang, daur ulang plastik punya imej buruk karena kualitas rendah, kotor, bau dan dinilai murah. Karena itu, katanya, penting ada edukasi masyarakat mengubah pandangan terhadap pendaur ulang plastik di Indonesia dan peran circular economy.

Sepakat dengan WSI, kata Wilson, daur ulang, selain efektif mengurangi timbunan sampah, juga memulihkan material serta menghemat energi karena hanya membutuhkan sekitar 15-25% dari pada energi yang perlu untuk produksi produk berbahan plastik murni.

“Permasalahan lingkungan mendorong kita merancang kembali model ekonomi kita,” katanya.

Secara global, juga ada komitmen penggunaan kemasan plastik dengan desain layak daur ulang lebih baik, yakni dengan bahan (selain plastik) yang mudah hancur.

“Tidak hanya technically recyclable juga dapat dibuktikan kemasan itu terdaur ulang.”

Target kandungan daur ulang antara 15%-100%, dengan rata-rata 25%. “Saat ini, nilai daur ulang hanya 2%.” Target ini, katanya, akan menstimulasi permintaan atas bahan plastik daur ulang.

Saat ini, kata Wilson, industri daur ulang plastik mengalami kekurangan bahan baku karena banyak produk tahan lama, sampah plastik tak dapat didaur ulang. Juga perlu perbaikan pengelolaan sampah untuk mengumpulkan dan memilah sampah yang bisa di daur ulang.

Data IPR, total konsumsi plastik mencapai 5.66 metrik ton, didaur ulang hanya 1.80 metrik ton. Mengutip data Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), peluang kerja informal sektor ini cukup besar.

Pemulung di Jakarta, sekitar 25.000 orang, 7.000 di Bantar Gebang. Jumlah tenaga kerja terserap di sektor daur ulang plastik, formal bisa 100.000, dan informal 3,3 juta jiwa.

Lantas apa saja tantangan sektor daur ulang saat ini? Menurut Wilson, keterbatasan investasi pada perlengkapan canggih untuk daur ulang masih jadi kendala. Selain itu, pasar bahan plastik daur ulang dinilai produk kualitas relatif rendah hingga tuntutan kualitas jadi rendah.

“Sementara tingkat kontaminasi tinggi dan belum ada ada kriteria kemasan pangan untuk bahan plastik daur ulang,” katanya, seraya bilang, sektor ini cenderung informal, tingkat pengetahuan pekerja masih rendah. Praktis, katanya, tak ada sistem manajemen mutu dan daya telusur.

Dari segi harga, karena sampah tak terpilah dari sumber, biaya pemilahan dan pembersihan jadi mahal, juga bergantung sektor informal yang kurang efisien.

Rantai pasokan panjang dari sumber sampah sampai ke pendaur ulang juga bikin biaya transportasi tinggi dan melibatkan perantara.

Jenis plastik paling banyak didaur ulang saat ini adalah rHDPE, rPET dan rPP. Pasar utama rPET Indonesia adalah diber, kemasan, dan karung.

“Biaya pengolahan mendaur ulang sampah PET sampai layak jadi kemasan pangan, sangat tinggi,” kata Wilson. Permintaan rPET pun melebihi pasokan tersedia jadi harga sulit bersaing dengan PET virgin.

Sementara pasar utama rHDPE di Indonesia, adalah kantong plastik, kantong sampah, barang keperluan rumah tangga dan barang dari sektor konstruksi. Jenis ini lebih sulit diproses untuk mencapai tingkat kualitas tinggi karena variasi pemakaian jauh lebih luas seperti untuk botol, kantong plastik, pipa dan lain-lain.

Umumnya, kontaminasi HDPE lebih tinggi dari PET dan sangat sulit mencapai tingkat kemasan pangan. Untuk itu, mulai dikembangkan kemasan non pangan.

Bagaimana dengan rPP? Pasar utama rPP adalah bagian bahan rumah tangga, barang untuk otomotif, karung, dan tali rafia. Jenis ini, katanya, kurang dikembangkan untuk kemasan konsumen karena jenis variasi properti mekanis yang luas. Perusahaan yang mau pakai rPP pada kemasan bakal kesulitan dapat pasokan.

“Dengan kata lain ada keterbatasan investasi pada daur ulang rPP skala besa,” katanya.

 

Keterangan foto utama:  Sampah botol plastik sekali pakai. Manajemen sampah termasuk sampah plastik di Indonesia masih rendah hingga sampah-sampah banyak ke pembuangan akhir atau berserakan, termasuk berakhir di lautan. Foto : KKP/Mongabay Indonesia

Perusahaan lain di Australia, juga lakukan hal serupa. Upaya-upaya produsen atau perusahaan lebih bertanggung jawab terhadap sampah-sampah mereka, mesti lebih didorong lagi di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

The Body Shop, salah satu perusahaan yang sejak lama berupaya bertanggung jawab terhadap sampah-sampah mereka. Konsumen diminta mengembalikan lagi sampah atau kemasan mereka dengan mendapat point reward. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version