Mongabay.co.id

Begini Klaim Kesuksesan Perikanan di Maluku menurut Susi

 

Kawasan perairan laut di Provinsi Maluku, menjadi salah satu magnet utama bagi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Di Maluku, terdapat perairan Laut Arafura yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI 718 dan menjadi titik pusat untuk menangkap ikan bagi kapal-kapal dengan tonase yang besar.

Selain kawasan perairan Laut Arafura, Maluku juga menjadi rumah bagi perairan lain yang juga sangat disukai oleh para pencari ikan. Tak heran, pada 2010 silam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan provinsi tersebut sebagai lumbung ikan nasional (LIN). Penetapan tersebut, menjadi penegas bahwa potensi sumber daya ikan (SDI) di sana sangat melimpah.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan potensi SDI Maluku yang besar dikarenakan diapit dua samudera dunia, yakni Samudera Pasifik dan Hindia. Tak heran, kapal ikan yang beroperasi di perairan Maluku, bisa dengan mudah mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.

Tetapi, menurut Susi, perairan Maluku di masa lalu banyak dihuni oleh kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari berbagai negara. Kapal-kapal tersebut, menangkap ikan di sana dan mengangkutnya langsung ke negara masing-masing. Tak heran, saat itu harga rerata ikan yang diekspor dari Maluku masih sangat rendah.

“Per kilogram dihargai kurang dari satu dolar AS,” ucapnya di Jakarta, Senin (9/9/2019).

baca : Setelah Nyatakan Perang, Gubernur Maluku Bersikukuh Tegaskan 5 Tuntutan Kepada Menteri Kelautan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti didampingi jajaran pejabat Eselon I KKP memaparkan capaian kinerja KKP selama dipimpinnya dalam Konferensi Pers di Kantor KKP, Jakarta, Senin (9/9/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Rendahnya harga rerata ikan tersebut, kemudian berubah setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan peraturan moratorium kapal eks asing untuk beroperasi di perairan Indonesia. Larangan menangkap ikan bagi KIA tersebut, dinilai membawa perubahan signifikan pada harga rerata ikan yang diekspor dari Maluku.

Susi menjelaskan, setelah moratorium berlaku, harga rerata ikan meningkat tajam dengan ikan yang diekspor didominasi oleh tiga ikan ekonomis penting seperti tuna, cakalang, dan tongkol (TCT). Pada 2016, atau dua tahun sejak moratorium diberlakukan pada 2014, ekspor TCT menjadi komoditas paling dominan untuk ekspor produk perikanan dari Maluku yang mencapai 30,17 persen.

Selain TCT, ekspor produk perikanan dari Maluku, ada juga yang berasal dari mutiara, ikan kerapu, udang, rumput laut, lobster, ikan lele, dan ikan lainnya. Semua komoditas tersebut, selama ini selalu menjadi andalan ekspor bagi Indonesia. Namun, khusus untuk Maluku, komoditas TCT tetap mendominasi hingga 2018 dengan 60,33 persen.

 

Produk Perikanan

Selain dikirim ke luar negeri, Susi mengatakan, produk perikanan yang ada di Maluku juga dikirim ke provinsi lain di Indonesia. Dari seluruh provinsi, DKI Jakarta menjadi pemimpin pasar karena mampu menyerap hingga 9.150.061 kg pada 2018. Sementara, di tahun yang sama, urutan kedua adalah Jawa Timur yang mampu menyerap hingga 7.327.734 kg.

Bukti bahwa gairah sedang meningkat di Maluku, KKP merilis data bahwa sejak 2015 hingga 2018 terjadi kenaikan frekuensi sertifikasi ekspor produk perikanan hingga 125,92 persen. Sementara, untuk 2018 sendiri, frekuensi sertifikasi mencapai 162.828 kali, yang terdiri dari sertifikasi untuk produk perikanan dan non konsumsi.

“Dari total frekuensi tersebut, sebanyak 18.991 kali adalah untuk ekspor ikan hias,” tegasnya.

baca juga : ‘Perang’ Gubernur Maluku Karena Kesal Tak Kunjung Jadi Lumbung Ikan Nasional

 

 

Dengan potensi yang besar tersebut, Susi mengakui kalau Maluku memang menjadi salah satu provinsi yang istimewa bagi sektor kelautan dan perikanan nasional. Provinsi tersebut berkontribusi dalam menyumbang produk domestik bruto (PDB) dari sektor perikanan secara konsisten terus tumbuh di level nasional.

Pada triwulan II 2019 saja, PDB perikanan sudah tumbuh 6,25 persen atau naik 29,39 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 yang hanya mencapai 4,83 persen. Sementara, untuk periode yang sama, nilai PDB mencapai Rp62,24 triliun atau naik Rp3,66 triliun dibandingkan periode yang sama pada 2018 dengan Rp58,58 triliun.

Meski demikian, walau Maluku diyakin akan terus tumbuh di masa mendatang, Susi berkomitmen untuk membantu Pemprov Maluku agar bisa mendapatkan tambahan anggaran pada 2020 mendatang. Penambahan tersebut, akan baik untuk peningkatan kinerja pada sektor kelautan dan perikanan di provinsi tersebut.

“Saya akan endorse Maluku ke Kementerian Keuangan, agar kementerian itu memberikan tambahan anggaran,” ungkapnya.

Melalui penambahan anggaran, Susi meyakini, pengembangan sektor kelautan dan perikanan di Maluku bisa lebih baik lagi dari sekarang. Terlebih, karena luas wilayah Maluku luas, sementara potensi SDI di sana juga sangat banyak. Jadi, perlu upaya yang ekstra keras untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut.

baca juga : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

volume ekspor perikanan maluku menurut komoditas. Sumber : KKP, September 2019

 

Berkaitan dengan keluhan dari Gubernur Maluku Ismail Murad, Susi berpendapat bahwa itu hanya sebatas kesalahpahaman saja. Sebagai sesama pembantu Presiden Joko Widodo, baik dirinya maupun Ismail, tidak sepatutnya untuk mempertontonkan ketidakpahaman tentang sektor kelautan dan perikanan yang ada di Maluku.

Oleh itu, Susi meyakini, kesalahpahaman tersebut bisa jadi karena ada informasi yang tidak akurat dan terlanjur disampaikan ke telinga Ismail Murad. Misalnya informasi keliru tentang penyebutan istilah moratorium kapal eks asing yang disebutkan Murad. Istilah tersebut saat ini sudah tidak digunakan, karena moratorium memang sudah berakhir.

“Istilah tersebut diganti menjadi negative list investor. Jadi, kapal-kapal eks asing yang berada di daftar tersebut, tidak boleh memasuki perairan Indonesia. Namun, untuk kapal eks asing yang tidak masuk dalam daftar tersebut, bisa masuk tapi dengan catatan,” jelas dia.

 

Kapal Eks Asing

Adapun, catatan yang dimaksud Susi, adalah kapal eks asing tersebut masuk ke wilayah perairan Indonesia bukan untuk menangkap ikan, melainkan untuk membeli ikan, memproses ikan, membekukan, mengekspor, dan memperdagangkan ikan. Aktivitas tersebut, juga sudah dilindungi melalui peraturan Presiden (Perpres) dan bukan peraturan menteri kelautan dan perikanan (Permen KP).

Diketahui, pada Senin (2/9/2019), Gubernur Maluku Ismail Murad mengungkapkan kekesalannya kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dia menyebut, janji untuk menjadikan Maluku sebegai lumbung ikan nasional (LIN) tidak pernah direalisasikan. Padahal, janji tersebut sudah dideklarasikan lebih dulu oleh Presiden terdahulu, Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 silam.

Menurut Murad, saat Susi mulai memimpin KKP pada 2014, dia juga merespon dengan menjanjikan akan mewujudkan Maluku sebagai LIN. Tak cukup sekali, Susi menjanjikan itu sampai dua kali, dan semuanya dilakukan di hadapan masyarakat Maluku secara langsung. Namun, ternyata, hingga sekarang, tidak ada perkembangan apapun untuk LIN di Maluku.

 

Ilustrasi. Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pemerhati Sektor Kelautan dan Perikanan Abdul Halim menanggapi keluhan Gubernur Maluku tersebut sebagai akibat adanya ketimpangan pendapatan dari sektor perikanan untuk provinsi tersebut. Padahal, perairan laut Maluku sangat strategis dan masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 714, 715, dan 718.

Sebelum Susi menjabat sebagai Menteri pada 2014, Maluku termasuk salah satu provinsi yang mendapatkan pemasukan cukup dari sektor perikanan. Namun, setelah Susi menjabat, kemudian diterapkan kebijakan moratorium eks kapal asing di seluruh Indonesia. kebijakan tersebut langsung memengaruhi pendapatan Maluku dari perikanan.

“Itu yang menjadi pangkal masalah saat ini. Di satu sisi, Maluku itu sumber daya ikannya banyak, namun kapal yang mencari ikan sangat sedikit. Biasanya, kapal di Maluku sebagian besar adalah kapal asing,” jelasnya, Rabu.

Menurut Halim, fakta tersebut yang selalu membayangi sektor perikanan di Maluku dan juga wilayah Indonesia lainnya dalam beberapa tahun terakhir. Khusus Maluku, provinsi tersebut menjadi istimewa, karena memiliki Laut Arafur yang dikenal memiliki sumber daya ikan yang melimpah. Perairan tersebut selalu menjadi buruan kapal ikan bertonase besar.

Berdasarkan data yang dirilis Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Halim menyebutkan. Kapal berukuran di bawah 30 gros ton (GT) sebagian besar perizinannya sudah tidak aktif lagi dari 2015 hingga 2019. Dengan berkurangnya armada kapal, maka pendapatan daerah juga otomatis turun, karena produksi perikanan tangkap tidak sebanyak sebelum kebijakan moratorium diberlakukan.

“Belum ada perpanjangan (izin) sampai sekarang,” tutur dia menjelaskan nasib kapal berukuran dari 30 GT yang dimaksud tersebut.

 

Exit mobile version