Mongabay.co.id

20 Tahun UU Kehutanan, Bagaimana Kehidupan Masyarakat Adat? [2]

Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pengakuan hak masyarakat adat atas hutan sebagaimana diatur UU Kehutanan No 41 Tahun 1999, tak menyelesaikan masalah. Konflik tenurial makin meruyak. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua komunitas adat menggugat UU Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi.

AMAN mengajukan keberatan atas keberadaan beberapa pasal dalam UU Kehutanan 1999, seperti Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1) ayat (2), ayat (3).

Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan bernomor 35 (MK-35) dengan mengabulkan sebagian permohonan AMAN atas gugatan pembatalan Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3). Permohonan pembatalan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 67 ayat (1) ayat (2), ayat (3), ditolak Mahkamah Konstitusi.

Baca juga: 20 Tahun UU Kehutanan, Bagaimana Kehidupan Masyarakat Adat? [1]

Intisari putusan MK-35/2012 itu kalau disederhanakan sebagai berikut, pertama, hutan adat bukan hutan negara, kedua, hutan adat adalah bagian dari wilayah adat atau hak ulayat masyrakat hukum adat. Ketiga, hak masyarakat akan diakui jika keberadaan masyarakat adat itu ditetapkan melalui peraturan daerah.

Dua keputusan pertama bersumber dari tuntutan yang dikabulkan. Sedangkan keputusan ketiga bersumber dari tutunan yang ditolak.

Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi tegas menyatakan, hutan berdasarkan status jadi dua, yaitu, hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan atau badan hukum. Ketiga status hutan ini pada tingkatan tertinggi seluruhnya dikuasai negara.”

Menarik mencermati mengapa Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan pembatalan atas ketiga ayat pada Pasal 67 itu. Dalam gugatan, AMAN dan dua komunitas adat antara lain mendalilkan, bahwa, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat sebagai kelompok masyarakat otonom disadari oleh dunia yang terbukti dari ketentuan yang ada dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.

 

Masyarakat adat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/Mongabay Indonesia

 

Seperti tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam pokok permohonan, menyebutkan, masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, dalam melaksanakan hak atas penentuan nasib sendiri, memiliki hak atas otonomi atau pemerintahan sendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusan internal dan lokal mereka. Juga dalam cara-cara dan sarana maupun prasarana untuk mendanai fungsi-fungsi otonom yang mereka miliki.

Atas dalil itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan, “ … menurut mahkamah, wilayah negara kesatuan republik Indonesia semula merupakan wilayah jajahan Belanda, kemudian jadi wilayah negara yang merdeka dan berdaulat, yang diikat dalam kesepakatan-kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan tertulis, UUD 1945, seterusnya….” [tampilan lengkap]

Selain itu, AMAN dan dua komunitas adat anggotanya mendalilkan pula bahwa Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan sepanjang frasa “sepanjang menurut kenyataan masih ada dan diakui keberadaannya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Pasal itu membatasi hak para pemohon memanfaatkan hasil kekayaan alam di wilayah adat serta mendiskriminasi kesatuan masyarakat hukum adat.

Begitu juga, Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, pemohon nyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Alasannya, pengaturan tata cara pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat oleh peraturan daerah adalah ketentuan inkonstitusional.

Kemudian, Pasal 67 ayat (3) UU Kehutanan, dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Sebab, pengaturan hak masyarakat hukum adat dan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat dengan peraturan pemerintah adalah ketentuan inkonstitusional.

Atas putusan Mahkamah Konstitusi ini, boleh jadi, mahkamah berpikir lain kalau gugatan itu tak hanya berpangkal pada pasal-pasal konstitusi, tetapi lebih jauh mendalilkan amanat konstitusi sebagaimana yang terbaca pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD’45 itu menyatakan, pembentukan pemerintah negara Indonesia, dengan mengingat berbagai hal, pada akhirnya untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Aksi jalan kaki sekitar 69 orang komunitas Suku Anak Dalam 113 ke Jakarta. Mereka terdiri dari, perempuan, anak-anak dan laki-laki. Foto: dokumen aksi

 

 

Kaya kebijakan, miskin perubahan

Berpedoman pada Putusan MK 35/2012 ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2015 tentan Hutan Hak, berlanjut dengan peraturan direktur jenderal sebagai pedoman pelaksanaan.

Belakangan, Permen LHK 32/2015 ini berganti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.

Meski begitu, sebagaimana disinggung pada bagian tulisan sebelumnya, capaian pengakuan hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan relatif kecil sekali.

Pada tingkat daerah, saat ini tak kurang 200 produk hukum daerah telah keluar. Semua itu, tentu atas bantuan berbagai organisasi masyarakat sipil. Hampir tak ada produk hukum daerah bergulir hanya atas inisiatif pemerintah atau komunitas adat. Itupun mungkin karena ada bantuan dari lembaga donor.

Berdasarkan informasi informal sejumlah pihak, perlu sekitar Rp200 juta hingga Rp2 miliar untuk bikin satu perda (baik penetapan maupun pengaturan). Menurut suatu publikasi sebuah lembaga donor, upaya-upaya legislasi di tingkat daerah ini dinyatakan mampu memantik gerakan yang memastikan keamanan tenurial masyarakat adat.

Memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat adat memang tak mudah. Pengakuan hak masyarakat adat itu bersyarat, mulai dari UU Pokok-pokok Agraria No 5/1960, UU Kehutanan No 41/1999, maupun yang dikukuhkan putusan MK-35.

Ironisnya, meski sudah ada peraturan daerah atau surat keputusan kepala daerah, toh kelembagaan pusat masih merasa perlu untuk memverifikasi ulang. Alhasil, laju pengakuan hak masyarakat adat terhambat dan terjadi pemborosan.

 

Hutan adat Serampas nan terjaga. ia memberikan begitu banyak manfaat bagi masyarakat. Foto: KKI Warsi

 

Lima hambatan

Setidaknya, ada lima hal yang menghambat masyarakat adat. Pertama, secara kuantitas sumber hukum yang perlu ditetapkan sebagai subyek hukum jumlahnya tidaklah terhingga.

Ambil contoh, pengakuan tanah ulayat di Sumatera Barat. Dalam konteks budaya Minangkabau, misal, setidaknya ada 800 nagari, 3.200 suku, dan 32.000 kaum. Masing-masing, adalah subyek hak atas tanah ulayat mereka.

Kedua, sisi kapasitas. Nagari, telah mewujudkan diri sebagai organisasi sosial yang memiliki kecakapan-kecakapan politik dan hukum dalam menjalankan peran sebagai sistem pemerintahan dan, atau pengurusan hidup bersama. Kalau, kaum dan suku, tak lebih sebagai kelompok kekerabatan setingkat klan (clan), dengan jumlah anggota dan kecakapan hukum yang relatif terbatas.

Dengan demikian, kemampuan masing-masing subyek hak mengakses dan mengelola proses-proses politik guna menghasilkan berbagai produk hukum daerah sangat berbeda satu sama lain.

Ketiga, merujuk pada akumulasi pengetahuan para pihak tentang susunan masyarakat adat dan obyek hak yang relatif terbatas. Bisa dimaklumi, meski telah ada sekitar 200 peraturan daerah mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, umumnya produk hukum daerah itu belum terlaksana di lapangan.

Kondisi ini terjadi karena produk hukum daerah itu sekadar memuat defenisi-defenisi bersifat jenerik, dan belum mampu mengidentifikasi sebutan lokal tentang susunan masyarakat adat di daerah itu. Begitu pula, belum banyak yang memuat sebutan lokal tentang obyek-obyek hak masyarakat adat yang bersangkutan.

Keempat, soal integritas, dalam arti keberpihakan pemerintah daerah pada nasib masyarakat adat. Nyatanya, hasil pengamatan menunjukkan, secara umum apartur daerah enggan memenuhi syarat yang diperlukan karena bisa kehilangan kontrol atas sumberdaya yang akan diserahkan pada masyarakat adat.

Kelima, ada pula soal soliditas di tengah masyarakat adat sendiri. Ketidakpastian hak yang berlangsung puluhan tahun terakhir, memaksa masyarakat mencari jalan keselamatan sendiri. Keteraturan yang lama terganggu, sulit kembali.

Kendala masyarakat adat memenuhi syarat pengakuan dalam lima tahun terakhir hendaknya jadi pelajaran bagi reformulasi kebijakan ke depan.

 

Hutan hujan tua di sepanjang Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Perlu Perpu

Lemahnya daya ubah dari kebijakan-kebijakan yang mengatur pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat terjadi karena para perumus kebijakan gagal memahami fakta-fakta empiris di tingkat lapangan tentang subyek dan obyek hak masyarakat adat itu itu sendiri. Termasuk, bentuk hubungan hukum di antara keduanya.

Mimpi memiliki UU tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat boleh terus ada. Namun, pengalaman kegagalan untuk mengundangkan dalam dua periode pemerintahan terakhir layak jadi alasan menempuh cara lain.

Pengakuan hak-hak masyarakat adat itu, seharusnya dapat dilakukan semudah mungkin. Bak warga negara membuat kartu tanda penduduk atau pembuatan sertifikat tanah saja. Tidak perlu melalui proses politik dan birokrasi yang berbelit hingga melibatkan parlemen atau menteri segala, sebagaimana yang terjadi dalam kasus RUU Pertanahan.

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah meniadakan proses penetapan subyek hak melalui sebuah peraturan daerah ataupun surat keputusan kepala daerah itu. Benar-tidaknya suatu masyarakat berikut klaim tanah (hutan) adat bisa langsung pada tahap verifikasi teknis.

Untuk keperluan ini, pemerintah harus berani mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang merevisi (baca: mencabut) Pasal 67 ayat (2)!

Kendala banyak masyarakat adat dalam memenuhi syarat pengakuan, pasca Putusan MK 35 yang menegaskan pengakuan atas hak masyarakat adat atas hutan dibacakan, harusnya jadi bahan refleksi.

Publik pun belum tahu pasti apa alasan potensi hutan adat yang belum bisa masuk dalam daftar prioritas pemerintah. Semata-mata hanya karena alasan-alasan atau seperti jabaran di atas , atau ada alasan, misal, di atas hutan adat itu telah terdapat hak lain yang belum berani pemerintah sentuh.

Kalau tak segera diatasi, konflik tenur seputar hutan adat akan terus berlanjut, bukan tidak mungkin terus meruyak. Kehadiran peraturan perundang-undangan setingkat UU perlu dalam menyelesaikan masalah hutan adat ini.

Dari perspektif kajian sosio-antropologis masyarakat adat sebagai subyek hukum atas berbagai obyek hak, hal itu bukanlah suatu yang sulit dijelaskan. Tak sulit menilai, apakah klaim suatu masyarakat adat itu benar atau tidak. Sebab, susunan masyarakat adat itu sudah demikian. Tak satu pun entitas sosial yang dapat mengada-ada atas keberadaan mereka.

Toh, kebanyakan komunitas adat, penguasaan tanah (termasuk hutan adat) berpusat kepada sistem kekerabatan, seperti marga raja bersama marga boru dalam etnik Batak Toba. Atau kaum dan suku, dalam etnik Minangkabau, juga soa dalam etnik Maluku.

Tegakah pemerintah meminta mereka bertarung dan menguras biaya tak sedikit di arena legislasi dan birokrasi daerah yang sarat kepentingan politik itu? (Selesai)

*Penulis adalah pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis.

 

Keterangan foto utama: Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler/ Mongabay

 

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya?
Foto: Dokumen AMAN Kaltim
Exit mobile version