Mongabay.co.id

Asap Pekat Berbahaya Terus Selimuti Palangkaraya

 

 

Asap pekat berbahaya akibat kebakaran lahan dan hutan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kian menebal. Luasnya areal  gambut yang terbakar merupakan penyebab utama bencana tahunan ini menjadi.

Berdasarkan data Posko Satgas Karhutla Provinsi Kalimantan Tengah, awal Januari hingga 14 September 2019, luas lahan yang terbakar sekitar 7.944 hektar. Jumlah kebakaran sebanyak 1.838 kejadian, hotspot [22.720 titik], dan 200 kasus penegakan hukum dengan 48 tersangka.

Berdasarkan angka indeks polusi udara Stasiun AQM Kantor Kecamatan Jekan Raya, Palangka Raya, 15 September 2019, pukul 15.00 WIB, parameter pencemaran PM10 berada di atas baku mutu [150 µg/m3] yaitu pada konsentrasi 3193 µg/m3. Sementara, parameter PM2,5 berada di atas baku mutu [65 µg/m3], konsentrasinya adalah 3479 µg/m3.  

Data AirVisual mencatat, pada 15 September, angka 2000 USAQI tertera yang berarti kondisi berbahaya. Dalam beberapa jam konsentrasi asap berubah, namun tetap di angka berbahaya, di atas 1000. Indeks Standar Pencemaran Udara [ISPU] dengan parameter berbahaya PM10 adalah 500.

Sekolah pun diliburkan, berdasarkan surat Instruksi Gubernur Kalteng Nomor: 188.5/741/BU tertanggal 13 September 20019.

Baca: Bencana Asap di Sumatera dan Kalimantan, Mengapa Lahan Gambut Terus Terbakar?

 

Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang berselimut asap berbahaya akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Sangat berbahaya bagi kesehatan

Untuk melindungi diri dari kabut asap tebal, masyarakat perlu menggunakan masker saat keluar ruangan. “Upayakan tetap di rumah dan fungsikan air conditioner recirculate. Jika ada keluhan sesak nafas atau batuk, periksa ke dokter untuk mendapat penanganan yang tepat,” terang Jeannette Siagian, dokter paru-paru RSUD Doris Sylavanus Palangka Raya.

Dia juga menyarankan perbanyak minum air putih dan konsumsi makanan cukup gizi agar kesehatan dan daya tahan tubuh terjaga. Kerusakan paru akibat asap, tidak datang dalam jangka waktu pendek, tapi lima atau sepuluh tahun mendatang. Fungsi paru menurun, diketahui melalui spirometri [uji diagnostik] yang ditangani menurut tingkat keparahannya.

Menurut Jeannette, edukasi bahaya asap kebakaran, maupun rokok, perlu dilakukan. Sebab, partikulat dalam asap tidak bisa diolah di saluran nafas. Jika saluran nafas [paru] rusak maka akan permanen. “Paru kita seperti itu, sekali bolong jika tidak diobati dengan tepat, bolong terus,” paparnya.

Kondisi semakin parah jika orang yang terpapar asap punya genetik kanker paru, karena akan mewarisi keturunannya. Namun, menurut Jeannette, penyakit ini belum familiar di masyarakat sehingga tingkat kesadaran masih rendah. “Dampak asap akan memperberat si perokok, meski yang bukan perokok dan tidak punya genetik kanker paru, akan terdampak pula,” katanya.

Menurut dia, di Kalimantan Tengah saat ini memang ada penidap TB. Pada 2017 antara 100-500 pasien, sementara 2018 yang menderita kanker paru sebanyak 400-an pasien hasil biopsi. “Dalam sehari saya mendapati [rata-rata] tiga pasien, pada 2018 sehari sampai enam pasien,” katanya.

Saat ini, ada tiga ruang oksigen yang buka 24 jam, yaitu di Puskesmas Tangkiling, Puskesmas Pahandut, dan RSUD Kota Kalampangan.

 

Api yang membara di kebun warga di Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Foto: Mathias/Mongabay Indonesia

 

Upaya atasi kebakaran

Dalam upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran, Pemerintah Kalimantan Tengah [Kalteng] bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut [BRG] melakukan restorasi dengan 3R yaitu rewetting [pembasahan lahan gambut] dengan membuat kanal bloking dan sumur bor, lalu revegetation [revegetasi] melalui penanaman di lokasi bekas terbakar, dan revitalization of local livelihoods [revitalisasi sumber mata pencaharian masyarakat].

Di tingkat provinsi, Kalteng sudah membentuk tim penanggulangan bencana kebakaran bersama, terdiri sejumlah dinas dan stakeholder.

Sekretaris Daerah Kalteng yang juga Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah [TRGD], Fahrizal Fitri menyebut, TRGD Kalteng berupaya melakukan pencegahan dan pemadaman. Namun, kondisi alam yang kering dan kebakaran yang meluas membuat tim kewalahan. “Kebakaran di mana-mana,” ujarnya.

“Saat ini kan bencana, semua elemen harus bergerak, jangan cuma [meminta] tanggung jawab pemerintah. Pemerintah itu bagian dari kehidupan masyarakat dan kami sudah berbuat,” tuturnya kepada Mongabay, Minggu [15/9/2019].

Pemerintah sebutnya, sudah mengerahkan tim pemadam yang dibentuk sebelum kemarau. Mengingat, kebakaran selalu terjadi di daerah rawan seperti gambut. “Menjadi kendala, lahan dan hutan gambut yang terbakar itu luas susah akses.”

 

 

Dalam kesempatan itu, Fahrizal menyebutkan, jika adanya pemberitaan sumur bor fiktif di Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, itu bukan bagian sumur yang dibangun Badan Restorasi Gambut. Alasannya, berada di luar titik peta, dan semua sumur yang dibangun BRG berfungsi baik.

Dijelaskan Fahrizal, pengecekan ke lokasi telah dilakukan. Plang-plang yang berada di sumur bor fiktif itu diambil dari area kerja BRG, ditancapkan di sumur bor fiktif itu. “Seandainya memang fiktif, saya terdepan untuk mengungkapnya,” tegasnya.

Meski begitu, menurut Fahrizal, belum akan ada tindakan terkait temuan tersebut, sembari mendorong kepolisian melakukan penegakan hukum. “Ada upaya mendeskriditkan [TRGD/BRG],” ucapnya.

 

 

Evaluasi restorasi gambut

Safrudin, Direktur Eksekutif Save Our Borneo [SOB] kepada Mongabay mengatakan, kebakaran dan asap pekat harus dituntaskan. Penyediaan rumah-rumah oksigen belum merata di setiap titik wilayah terdampak.

“Bagaimana warga yang rumahnya jauh? Harusnya pemda/pemko lebih intensif menyediakan tenaga kesehatan dan rumah oksigen, kalau perlu di setiap RT. Sampai sekarang kami bersama warga terus melakukan pencegahan kebakaran,” terangnya, Minggu [15/8/2019].

Terkait restorasi gambut, sejak awal SOB melihat pembuatan sumur bor dan kanal bloking belum optimal. Jika upaya ini berhasil, seharusnya bencana asap seperti 2015 lalu tidak terulang lagi. Perlu dievaluasi semua kerja ini.

”SOB sangat mendukung restorasi gambut, namun belakangan kami lihat kesannya tidak sesuai 3R, padahal anggarannya cukup besar. Tidak terlihat juga kekuatan “memaksa” perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di kubah gambut mengembalikan fungsi utama kawasan itu.”

Bagi kami, upaya restorasi gambut sejati [penutupan kanal-kanal dan perkebunan yang beroperasi di lahan gambut] mutlak dilakukan. Tujuannya, tidak lain memulihkan kondisi alamiah [ekologi] gambut. “Gambut kita sudah terdegradasi, mudah terbakar saat kemarau dan banjir ketika hujan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version