Mongabay.co.id

LSM: Rencana Pengesahan Sejumlah RUU Kuat Kepentingan Bisnis Eksploitasi Alam

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Masa bakti DPR periode 2014-2019, segera berakhir. Beberara Rancangan Undang-undang (RUU) strategis kabarnya bakal disahkan, seperti RUU Mineral dan Batubara (Minerba), RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Pertanian, RUU Pemasyarakatan, RUU Penyadapan, RUU KUHP, maupun RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rencana pengesahan RUU ini otomatis mendapatkan protes dari berbagai kalangan.

Berbagai organisasi masyarakat sipil yang konsern pada isu lingkungan dan sumber daya alam menilai, percepatan pengesahan RUU ini bertentangan dengan semangat pelestarian lingkungan. Ia bahkan berpotensi jadi karpet merah bagi perluasan eksploitasi sumber daya alam bagi kepentingan investasi.

Baca juga: Kuat Nuansa Pebisnis, Minim Urus Masalah Rakyat, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (15/9/19) mengatakan, rencana pengesahan satu RUU dengan RUU lain saling berkaitan. Tak lain, demi melanggengkan investasi ekstraktif berbasis lahan.

“Bahkan, kalau kita mau hubungkan dengan pembahasan RUU KPK dan pemilihan komisionernya, itu juga tak bisa lepas dari apa yang selama ini dilakukan KPK,” katanya.

Dalam lima tahun belakangan, katanya, KPK masuk dalam isu-isu pemberanatsan korupsi sektor sumber daya alam.

Baca juga: RUU Pertanahan, Sudahkah Menjawab Persoalan Agraria?

Mengenai RUU Minerba, katanya, terdapat banyak kelemahan. Dia nilai, pembahasan terkesan terburu-buru, bahkan beberapa hari lalu, dilakukan hingga malam hari. Meskipun daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah balik lagi karena proses harmonisasi antar kementerian belum selesai, dia melihat, pemerintah dan DPR terkesan terburu-buru ingin segera mengesahkan.

“Kita tahulah, kita bisa bilang, setengah dari anggota parlemen punya konflik kepentingan dengan bisnis berbasis sumber daya alam, dari sawit, sampai pertambangan batubara.:

Kalau melihat draf RUU Minerba, ada pasal yang hilang soal korupsi. Pasal 165, misal, dalam UU Minerba saat ini menyebutkan, pejabat yang mengeluarkan izin pertambangan bermasalah dengan menggunakan penyalahgunaan wewenang, dapat diganjar tindak pidana korupsi. “Itu dihilangkan dalam draf RUU Minerba.”

Baca juga: Revisi KUHP Berpotensi Lemahkan Hukum Lingkungan dan Ancam Masyarakat Adat

Kondisi itu, katanya, sebagai upaya melindungi secara resmi, legal dan sah bagi para koruptor sumber daya alam. Dia melihat, semangat RUU Minerba ini tak ada batasan luasan pertambangan, justru makin memperluas rencana ekspansi industri pertambangan.

“Dalam RUU Minerba ini tak muncul semangat membatasi ruang eksploitasi sumber daya alam, cenderung ditambah.”

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Dia menengarai, percepatan pengesahan RUU Minerba ini sebagai upaya mengakomodir perpanjangan izin beberapa perusahaan pemegang karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang segera berakhir. Dalam draf Pasal 169, kontrak PKP2B bisa otomatis diperpanjang.

Aryanto Nugroho, dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, juga berpandangan serupa. Dia mengatakan, percepatan pembahasan bermacam RUU ini tak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan.

“Percepatan pengesahan berbagai RUU ini seolah-olah memperluas dan membuka peluang bagi investasi yang mengeksploitasi sumber daya alam,” katanya.

Soal RUU Minerba, katanya, PWYP telah mengusulkan revisi sejak lama agar UU ini ada harmonisasi dengan UU Pemerintahan Daerah.

Sayangnya, proses revisi RUU Minerba bertahun-tahun mandeg. Pada 2018, DPR sudah mempunyai draf tetapi sampai April tahun sama, rancangan belum tersentuh. Lama tak ada pembahasan, katanya, tiba-tiba pada 18 Juli kemarin DPR dan pemerintah membahas DIM.

“Setahun mangkrak, tiba-tiba muncul pembahasan RUU Minerba. Pas kita lihat poin-poinnya, ini tak lepas dari upaya memperpanjang perusahaan-perusahaan PKP2B yang izin akan habis dalam waktu lima tahun ke depan,” katanya.

Perusahaan-perusahaan batubara ini, katanya, menuntut izin diperpanjang secara otomatis dan bertentangan dengan UU Minerba yang sekarang.

Syahrul Fitra, dari Yayasan Auriga, mengatakan, upaya percepatan pengesahan berbagai RUU ini menimbulkan banyak pertanyaan. Pemerintah, katanya, merevisi berbagai UU demi menciptakan iklim investasi. “Pertanyaannya, iklim investasi mana yang ingin dipertahankan pemerintah dan DPR?”

Kalau melihat industri kehutanan seperti pulp and paper, dari total 11 juta hektar, 91% hanya dikuasai dua grup, yakni, APP Sinar Mas dan APRIL. Kondisi ini, katanya, menciptakan struktur pasar tak sehat.

Di sektor perkebunan sawit, 86% didominasi beberapa perusahaan. Kajian TuK memperlihatkan, industri sawit Indonesia hanya dikuasai 25 taipan.

“Penguasaan ekonomi seperti apa yang ingin dipertahankan DPR dan pemerintah? Ketika berbicara soal RUU Pertanahan, kita akan berhubungan dengan penguasaan lahan. Yang ingin dipertahankan, yakni iklim investasi tak sehat. Perusahaan-perusahan itu berpraktik dan menguasai lahan dan ekonomi di Indonesia,” katanya.

Syahrul menyoroti, rencana pengesahan RUU Pertanahan. Menurut dia, isi dari RUU Pertanahan, seolah hendak mengembalikan Indonesia ke zaman kolonial. RUU itu, katanya, menghidupkan kembali domain varklaring yang dihapus dalam UU Pokok Agraria Nomor 5/1960.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kehadiran UU Pokok Agraria, katanya, merupakan titik dasar reforma agraria yang mengakui hak-hak masyarakat adat. “Di RUU Pertanahan dengan menghidupan kembali domain varklaring, tanah yang tak dapat dibuktikan hak di atasnya itu akan dikuasai negara,” katanya.

RUU Pertanahan, katanya, juga berpotensi melanggengkan perampasan tanah oleh pemerintah, antara lain lewat tata ruang. Ketika pemerintah sudah menetapkan tata ruang untuk keperluan tertentu, walau sudah ada hak masyarakat, katanya, 50% luasan lahan harus diberikan kepada negara. “Artinya, akan memaksa orang untuk menyerahkan hak atas tanah kepada negara.”

Mengenai pemberian hak di atas hak masyarakat adat, setelah putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 tentang hutan adat bukan hutan negara, terjadi euphoria di masyarakat adat. Dengan RUU Pertanahan, katanya, malah melemahkan pengakuan hak adat. RUU itu, memungkinkan hak atas tanah seperti hak guna usaha (HGU) di atas tanah ulayat.

“Ini seperti memutihkan kesalahan pemerintah yang sudah banyak melepaskan tanah kepada privat. Dalam RUU ini juga membuka diskresi yang terlalu luas bagi pengambil kebijakan. Ketika sudah diterbitkan HGU dan ada kelebihan luasan, itu akan diambil negara. Diberikan kewenangan kepada menteri tanpa ada batasan. Padahal, persoalan diskresi yang tanpa ada batasan itu menimbulkan ruang untuk korupsi.”

Dia menilai, rencana pengesahan RUU Pertanahan ini juga sejalan dengan upaya melemahkan KPK. Selama ini, KPK berupaya mencegah korupsi sektor sumber daya alam.

“Kajian KPK sebelumnya menunjukkan di perkebunan sawit ditemukan luasan lebih tinggi dibandingkan angka BPS. KPK mendorong, ada pembenahan antara lain, lewat kebijakan satu peta.”

Reynaldo Sembiring, Deputi Direktur Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mengatakan, pelemahan KPK lewat revisi UU sedang berjalan sebagai indikasi kemunduran reformasi sekaligus mengancam sumber daya alam.

Seharusnya, kata Reynaldo, pelemahan KPK tak terjadi mengingat Presiden Joko Widodo pernah berjanji kepada rakyat Indonesia untuk memperkuat lembaga anti surah ini.

“KPK adalah institusi pengawal mandat reformasi pemberantasan korupsi sekaligus aktor penting penjaga sumberdaya alam di Indonesia. Menjaga institusi ini adalah kewajiban seluruh warga negara. Memastikan KPK kuat dan efektif dalam tugas-tugasnya adalah tanggung jawab moral kita.”

KPK menyatakan, sumberdaya alam merupakan sektor paling banyak terjadi tindak korupsi, pelaku antara lain pemerintah. Oknum pemerintah, memanfaatkan dominasi sebagai eksekutif untuk mengkooptasi dan mengintervensi kebijakan serta mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok. Bahkan, dalam satu kasus korupsi sektor ini bisa menyebabkan negara rugi hingga triliunan rupiah.

“Kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia bersatu melawan upaya-upaya yang akan membalikkan bangsa ini ke zaman Orde Baru yang penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Pelemahan KPK adalah alarm peringatan ancaman bagi gerakan demokrasi di Indonesia,” kata Adnan Topan Husodo, dari Indonesia Corruptin Watch (ICW).

Pelemahan KPK lewat revisi UU antara lain, usulan pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR dengan wewenang memberi izin atau tidak kepada penyidik KPK untuk penyidikan dan penyadapan.

Independensi KPK, katanya, tak ada lagi dengan menyamakan lembaga ini dengan eksekutif pemerintahan. Dalam revisi itu disebutkan, penyidik harus berasal dari kepolisian. Padahal, selama ini, sejumlah kasus korupsi di kepolisian dan campur tangan petinggi polisi dalam mengamankan sejumlah kasus hukum sangat tinggi.

Agil Oktaryal, dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan mengatakan, dari 22 RUU, mayoritas berkaitan dengan hukum, pemerintahan dan politik. Yang berkaitan dengan rakyat, katanya, luput dari perhatian pemerinatah dan DPR.

 

 

Keterangan foto utama:  Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version