Mongabay.co.id

Draf Masih Bermasalah, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Draf RUU Pertanahan per 9 September 2019

 

Setelah mendapatkan penolakan dan kritikan dari berbagai kalangan, pemerintah dan DPR revisi terhadap draf Rancangan Undang-undang Pertanahan. Sayangnya, revisi draf rancangan itu masih jauh dari harapan. Berbagai kalangan dari pakar sampai organisasi keagamanan, mendesak, penundaan pengesahan RUU Pertanahan ini.

Noer Fauzi Rachman, Pakar Agraria menilai, setidaknya ada beberapa poin risiko atau ancaman kalau rancangan ini tetap disahkan.

Pertama, perbaikan RUU Pertanahan masih bersifat parsial, hingga tak dapat dilihat sebagai produk hukum yang dibangun berdasarkan konsep utuh.

Baca juga: Kuat Nuansa Pebisnis, Minim Urus Masalah Rakyat, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Dia bilang, masih terdapat ketidaksesuaian kaidah, norma dan pengaturan, baik terhadap Ketetapan MPR No IX/2001 terutama mengenai kebijakan pembaruan agraria (Pasal 5), maupun dengan Undang-Undang Pokok Agraria.

“Ini selain menyebabkan ketidakpastian hukum, berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasi, maupun potensi pemborosan sumberdaya,” katanya kepada Mongabay.

Kedua, menetapkan ketentuan yang bisa menghapus pelanggaran hukum bagi pemegang hak guna usaha yang menguasai fisik tanah melebihi hak yang diberikan, seperti tercantum dalam Pasal 26 ayat 9.

“Walaupun telah mendapat masukan, pasal pemutihan itu dipertahankan sejak draf awal RUU Pertanahan 22 Juni hingga 9 September,” katanya.

Padahal, katanya, kondisi lapangan, lokasi HGU tumpang tindih begitu luas. Dalam kajian KPK 2017, tumpang tindih dengan izin pertambangan saja, 3,01 juta hektar, hutan tanaman 534.000 hektar, dan hutan alam 349.000 hektar, dan areal lindung 801.000 hektar. ”Berpotensi hilang masalah pidana dan perdata yang mungkin terjadi.”

Ketiga, ada inisiatif yang berpotensi gagal mencapai tujuan dan dapat menghasilkan pemborosan.

Baca juga: RUU Pertanahan, Sudahkah Menjawab Persoalan Agraria?

Oji, sapaan akrabnya, mengatakan, dalam sistem informasi pertanahan kawasan dan wilayah terpadu, pada Pasal 58 sampai Pasal 63, hanya sebagai kegiatan teknis dan administratif, bukan sarana mengidentifikasi tanah-tanah untuk menyelesaikan konflik maupun yang berpotensi sebagai obyek reforma agraria.

Pada Pasal 60, katanya, disebutkan, kalau dalam sistem ini terdapat ketidaksesuaian atau tumpang tindih antara data atau peta tanah dan kawasan serta wilayah, yang menyelesaikan hanya menteri yang membidangi pertanahan. Padahal, katanya, kompleksitas kondisi dan konflik tanah di lapangan harus melibatkan banyak kementerian dan daerah.

Keempat, perlindungan sosial maupun ekologi lemah dalam penetapan hak atas tanah maupun kebijakan pertanahan. Kondisi ini, katanya, berpotensi menghapus inisiatif konservasi tanah dan perlindungan jasa lingkungan.

Baca juga: Komnas HAM Minta DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Kelima, tak tersedia kesempatan maupun instrumen mengembalikan kekayaan (tanah) negara, maupun kesempatan mencegah kerugian negara atau kerugian perekonomian negara hilang.

Menurut dia, seharusnya dalam penyusunan RUU Pertanahan ini, hal terpenting sebagai rujukan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berhasil membuat rujukan baru mengenai konsep penguasaan negara sebagaimana dimuat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Dia sebutkan beberapa putusan MK itu, seperti judicial review atas Undang-undang Nomor 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Dalam putusan itu, katanya, MK menjelaskan lima bentuk tindakan penguasaan negara, yaitu pembuatan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Sedangkan tolok-ukur pencapaian tujuan, katanya, sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hal ini terumuskan dalam empat hal, pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat.

Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam dan terakhir, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

 

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Apakah kawasan-kawasan hutan, bahkan hutan lindung dan konservasi yang ‘terlanjur’ masuk investasi, apakah pelanggaran hukumnya akan terhapus? Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

Desakan organisasi keagamaan

Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU) dalam pembukaan rapat pleno PBNU 2019, Jumat (20/9/19) di Purwakarta, Jawa Barat, menyatakan, perlu waktu membahas RUU Pertanahan, hingga tak perlu dipaksakan selesai periode ini.

NU memandang, UU Pertanahan harus menjawab problem akut di bidang pertanahan, yaitu ketimpangan kepemilikan tanah, konflik agraria meluas, dan alih fungsi lahan pertanian.

Tiga persoalan mendasar ini, katanya, memberi kontribusi signifikan atas kemiskinan struktural dan kerusakan ekologis serius.

Sayangnya, RUU Pertanahan yang kini dibahas, kata Said, masih belum menunjukkan peta jalan mengatasi problem akut itu. “Butuh waktu membahasnya, hingga tak perlu dipaksakan disahkan saat ini.”

Baca juga: RUU Pertanahan, Bagaiman Perkembangannya?

Mochtar Luthfi, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, isi draf RUU Pertanahan menghidupkan kembali domain varklaring yang tegas dihapus UU Pokok Agraria.

“Timbulnya domain varklaring ini ketika selesai perang Dipenogoro. Saat itu, Belanda memerlukan modal hingga keluarlah aturan ini. Intinya, mengatur pemilik tanah wajib memktikan bahwa dia pemilik yang sah. Jika tidak bisa dibuktikan, berarti itu milik negara.”

Secara fiqih, kata ‘milik negara’ ini sudah haram digunakan. “Ini yang paling krusial. Kalau RUU tetap disahkan, kita kembali ke zaman Belanda,” katanya.

 

 

Apa kata BPN?

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, inisiatif pembahahasan RUU Pertanahan sudah berlangsung sejak 2012 dan lanjut pada periode pemerintahan saat ini.

“Kita kerja dan diskusi sangat intensif dengan dewan, akhirnya sudah dalam tahap final. Kemarin ada masalah hubungan tanah dengan kehutanan dan kelautan. Itu sudah selesai,” katanya, awal September lalu.

Sekarang, katanya, yang mewakili pemerintah sudah ditambah oleh presiden yaitu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteria Kelautan dan Perikanan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Ini supaya semua kepentingan kementerian dan lembaga ini tak ada konflik. Sekarang, secara konsep pemerintah sudah sepakat, kita tinggal membahas tingkat final,” kata Sofyan.

Dia bilang, kritikan muncul terkait RUU Pertanahan terjadi karena mereka tak ikut berkomunikasi intensif bersama kementerian maupun DPR.

Dia bilang, kritikan soal 141 pasal, sekarang sudah mengerucut tinggal 103 pasal. “Jadi pasal yang dikritik itu sudah tidak ada. Berarti yang menjadikan referensi yang dikritik itu adalah draf sebelumnya. Kita terus menerima dan mengakomodasi banyak sekali input dari masyarakat,” katanya.

Dia sebutkan juga soal tanah obyek reforma agraria (tora) itu merupakan jantung dari kebijakan Presiden Joko Widodo. Dia coba menepis anggapan kalau RUU Pertanahan, saat ini ada konspirasi besar. Dia klaim, RUU Pertanahan sudah bicara ekonomi berkeadilan.

Sofyan bilang, perdebatan soal penamaan pun, seperti single land administration system, dalam draf terbaru diganti jadi sistem informasi pertanahan, wilayah dan kawasan.

“Jadi yang penting, informasi kehutanan, pertanahan, pertambangan itu mempunyai sistem terkoordinir hingga tak ada konflik mana batas tanah yang APL (alokasi penggunaan lain-red), kehutanan dan lain-lain.”

 

Masri memeluk pohon mete. Dari mete kata Masri sudah bisa hidup sejahtera. Dia terus menolak kehadiran perusahaan tambang yang bisa merusak kehidupan mereka di Pulau Wawonii. Bagaimana RUU Pertanahan, menjawab masalah agraria kala lahan-lahan warga ‘dipaksa’ agar jadi kuasa perusahaan, seperti terjadi di Wawonii ini? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Terkait pembentukan bank tanah yang selalu jadi kritikan, menurut Sofyan, lewat bank tanah Kementerian ATR/BPN bisa menjalankan fungsi sebagai regulator dan administrator pertanahan.

Walau dia sebutkan prioritas pemerintah saat ini reforma agraria, tetap saja tujuan  mendorong investasi tak ketinggalan. “Nanti, begitu ada tanah terlantar, akan dikelola. Karena sekarang tujuan pemerintah adalah untuk reforma agraria, jadi prioritas. Juga untuk mendorong investasi.”

“Misal, selama ini kan kendala investor datang ke Indonesia, susah mencari tanah. Juga untuk perumahan rakyat. Sekarang ini susah membangun perumahan rakyat, karena tak ada tanah. Jadi sebenarnya bank tanah ini tujuannya bagus sekali. Cuma kalau ada kesalahpahaman, kita harus komunikasikan,” katanya.

Dalam draf terbaru, kata Sofyan, soal bank tanah berupa prinsip-prinsip saja. “Cuma tiga pasal saja. Selebihnya akan diatur peraturan pemerintah.”

Sofyan juga menepis anggapan, RUU Pertanahan akan menghidupkan kembali domain varklaring.

“Jadi tujuan dari RUU ini nanti pemerintah harus mempunyai tanah. Sekarang, negara ini secara konstitusi bumi dan air dikuasai negara. Tetapi secara de facto negara gak punya tanah untuk membangun infrastruktur, perumahan rakyat, tora dan lain-lain.”

 

Pandangan kementerian

Dalam proses penyusunan RUU Pertanahan ini, kementerian dan lembaga sempat memberikan beberapa pandangan kritis.

Dalam surat Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada presiden, 5 Juli 2019 antara lain menyebutkan soal kewajiban pendaftaran tanah atas “kawasan” akan menimbulkan miskonsepsi dan dapat disalahpahami memperlambat upaya dalam memberikan kemudahan dan dunia investasi.

Kewajiban pendaftaran tanah, bunyi surat itu, sebaiknya hanya berlaku atas “bisang tanah,” tetapi tak perlu untuk “kawasan.” Perlakuan terhadap “kawasan,” akan lebih tepat kalau diinvetarisasi sebagai upaya menyusun rencana tata ruang dan wilayah serta pengembangan sistem pemetaan nasional yang terintegrasi.

Kemudian dia sebutkan, pengaturan ruang atas tanah dan ruang bawah tanah sebaiknya dikecualikan untuk kegiatan usaha energi dan sumberdaya mineral. Pemanfaatan sumber daya alam pada ruang bawah tanah, katanya, diatur dalam Undang-undang Minyak dan Gas Alam, UU Panas Bumi, serta UU Mineral dan Batubara. Untuk pada ruang atas tanah yang dimanfaatkan buat jaringan transmisi listrik sudah diatur dalam UU Ketenagalistrikan.

Begitu juga Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti. Dalam surat tertanggal 21 November 2018, dia menyampaikan, antara lain soal lingkup pengaturan dalam RUU Pertanahan sebaiknya hanya mengatur tentang rezim pertanahan. Juga “ruang” di atas tanah berupa air tak perlu diatur dalam RUU Pertanahan. Pertimbangannya, pengaturan ruang telah diatur dalam Undang-undang tersendiri.

Selain itu, pengaturan pemanfaatan sumber daya perairan tak perlu diatur dalam RUU Pertanahan, dengan pertimbangan pengaturan pemanfaatan sumber daya perairan telah diatur dalam Undang-undang tersendiri.

Poin lain Susi tekankan soal budidaya di perairan tidak dapat diberikan hak guna usaha. Pemberian hak atas tanah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, katanya, tak boleh mencakup akses publik, namun diutamakan untuk sepadan pantai dan mitigasi bencana. Dia contohkan, bencana Palu menujukkan, hak atas tanah diberikan pada wilayah pesisir yang rawan bencana.

Kemudian Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga memberikan laporan kepada Wakil Presiden pada 20 Agustus 2019.   Dia menyebutkan beberapa poin, seperti, RUU Pertanahan mengalami cacat formal dan material yang tak utuh, hingga berpotensi judicial review (immediately) sangat tinggi.

Dia juga sebutkan, RUU Pertanahan mengandung kerawanan delegitimasi negara (hak negara) dan kewenangan simbolik /ekstraktif presiden. Poin lain, rancangan ini dinilai bepotensi bikin kerancuan tata kerja pemerintahan baik kementerian maupun lembaga. Dengan begitu, perlu diwaspadai potensi gangguan politik pemerintahan. RUU ini juga berpotensi kerancuan dunia usaha.

RUU ini juga mengandung langkah “pemutihan” dari pelanggaran dalam kawasan hutan baik sawit— di kawasan hutan luar Jawa—dan pemukiman atau industri di kawasan hutan Jawa.

RUU Pertanahan ini, juga bisa mengganggu dan ada distorsi kepada cabang kekuasaan lain yudikatif sepetti kekuasaan kehakiman dan legislatif terutama soal daerah penting cakupan luas bernilai strategis (DPCLS).

 

Keterangan foto utama:  Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Wilayah Laman Kinipan, yang belum ada HGU perusahaan, bakal terbabat. Apakah RUU Pertahanan, bisa menyelamatkan wilayah dan hutan adat mereka? Apakah, RUU Pertahanan, menjawab berbagai permasalahan  dan ada upaya penyelesaian konflik agraria? Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

Exit mobile version