Mongabay.co.id

Ini Gerakan Para Ibu Hentikan Penambangan Pasir Sungai Serayu

 

Tidak kurang dari 200 orang yang didominasi para ibu, melakukan blokade jalan desa di Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah pada Selasa (17/9/2019). Mereka tidak hanya menutup jalan, tetapi juga membawa berbagai macam poster yang intinya menolak adanya penambangan pasir di Sungai Serayu.

Berbagai poster bertuliskan “Kemangkon Bebas dari Tambang”, “Usir Bego Selamatkan Serayu”, “Tolak Tambang Pasir” dan berbagai macam poster lainnya. Intinya, mereka menyampaikan aspirasi untuk menolak penambangan, apalagi dengan menggunakan alat berat seperti backhoe (begho).

Para ibu berdemo dengan berjalan di jalanan desa yang biasa dipakai untuk lalu lintas truk pengangkut pasir. Tak sedikit para ibu yang membawa anak-anaknya sambil berteriak. Bahkan, sejumlah ibu berorasi yang isinya menolak adanya penambangan pasir di Sungai Serayu.

baca : Ini Langkah Tegas dan Persuasif Atasi Penambangan Ilegal di Sungai Serayu

 

Pendemo yang sebagai besar para ibu beraksi menolak pertambangan pasir ilegal di Sungai Serayu di Desa Kemangkon, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, Jateng, Selasa (17/9/2019). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurut warga, penambangan di Sungai Serayu tersebut dimulai pada pertengahan Juli 2019. Warga sama sekali tidak mengetahui apakah penambangan dilakukan secara prosedural dan berizin. “Waktu itu kami diam. Tetapi setelah waktu berjalan, ternyata penambangan menggunakan alat berat. Truk-truk berdatangan. Setiap harinya ada puluhan truk yang mengangkut pasir,” kata Solikhin, warga Desa Kemangkon.

Selain merusak ekosistem, warga khawatir penambangan akan mengikis tebing sungai yang bisa berdampak pada areal pertanian. “Sebelumnya, warga di sini juga ada yang menambang, tetapi kan hanya tambang tradisional saja. Kalau dengan alat berat, pasti akan mengganggu ekosistem sungai. Ikan jadi tidak ada dan akan terjadi pengikisan tebing sungai,” ujarnya.

Solihin mengatakan demo itu merupakan bentuk keresahan warga yang terdampak penambangan. Jalan desa yang sempit, setiap harinya dilewati oleh truk-truk yang membawa pasir. Debu beterbangan dan warga tidak bisa leluasa melakukan kegiatan karena ada truk yang lalu lalang. “Warga di sini sudah menjaga Sungai Serayu sejak lama, karena lahir di sini. Bagaimana kalau ekosistem rusak, siapa yang bertanggung jawab? Kami yang di sini pasti kena dampaknya terlebih dahulu kalau ekosistem rusak,” tegasnya.

baca juga : Mengapa Sulit Menertibkan Penambangan Pasir di Sungai Serayu?

 

Seorang warga Desa Kemangkon, Purbalingga, Jateng kesulitan melewati jalan desa karena truk penambang pasir Sungai Serayu yang parkir. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Koordinator aksi, Dewi Utami, menegaskan Sungai Serayu merupakan sungai yang kaya akan sumberdaya, salah satunya adalah ikan. “Dengan penambangan, maka ada proses perusakan ekosistem Sungai Serayu. Bagaimana mungkin, kalau ada penambangan pasir, apalagi menggunakan alat berat, ikan-ikan masih ada di sungai tersebut? Jelas tidak. Ekosistem ikan pasti terganggu dan dampaknya terjadi kelangkaan ikan. Padahal banyak penduduk yang mencari ikan di lokasi tersebut,” jelas Dewi.

Ia menegaskan, apa yang diperjuangkan dengan warga terutama ibu-ibu merupakan bentuk perjuangan untuk menyelamatkan Sungai Serayu. Jumlah penolak tambang yang tanda tangan ada 500 warga. “Sejak pertangahan Juli lalu, truk-truk berdatangan mengambill pasir. Di tengah sungai ada alat berat yang mengeruk pasirnya. Setiap hari ada puluhan truk, bahkan pada Minggu lalu diperkirakan sebanyak 80 truk mengangkut pasir Sungai Serayu,”ujarnya.

“Sebelum pertengahan Juli, masyarakat tenang dan damai, namun setelah ada kegiatan tambang, warga mulai resah. Makanya, gerakan ini merupakan bentuk akumulasi kekecewaan dari penduduk yang telah memendam berbulan-bulan lamanya. Kami ingin penambangan tutup dan alat berat segera ditarik dari Sungai Serayu. Tuntutan itu harus dilaksanakan,”tegasnya.

Pendamping warga yang juga aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Arda Dwi mengatakan dirinya sengaja mendampingi warga karena mereka resah dan ingin aspirasinya didengar. “Maka sengaja kami menggelar aksi demo, supaya para pengambil kebijakan mengerti apa yang menjadi unek-unek warga di sini. Mereka, para penambang sama sekali tidak pernah permisi, tiba-tiba saja mereka menambang dan melewati jalan desa yang sempit. Jelas, warga resah, apalagi mereka hanya ingin Sungai Serayu itu lestari, tidak rusak, karena tidak sedikit yang mencari ikan di sungai setempat,”katanya.

menarik dibaca : Popok, Limbah Berbahaya yang Cemari Sungai-sungai di Jawa

 

Truk-truk penambang pasir yang parkir di badan Sungai Serayu di Desa Kemangkon, Purbalingga, Jateng pada Selasa (17/9/2019) . Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam aksi tersebut, Camat Kemangkon Yuni Rahayu didampingi oleh Forum Komunikasi Pimpinan Kecamatan (Forkompimcam) mendengar langsung apa yang menjadi keluh kesah warga setempat. Rombongan Forkompimcam kemudian mendatangi lokasi penambangan pasir dan berbicara dengan para pengelola tambang. Berdasarkan pemantauan, ternyata ada dua alat berat di lokasi penambangan dan belasan truk yang stand by siap mengangkut pasir. Truk-truk parkir di jalan desa yang sempit, sehingga warga yang memakai sepeda juga harus berjalan di pinggiran truk yang parkir.

Setelah melakukan pembicaraan dengan pengelola tambang, Camat Yuni Rahayu menegaskan jika pihaknya mengikuti aspirasi yang disampaikan warga. “Sesudah mendengar aspirasi warga, kami sengaja mendatangi pengelola tambang. Kami telah berembuk bersama dan  memutuskan kalau penambangan pasir harus dihentikan. Selain tambang berhenti, alat-alat berat yang ada harus segera ditarik dari Sungai Serayu. Itulah keputusannya,”tegas Camat.

Ketika ditanyakan apakah tambang tersebut legal atau tidak, Camat tidak mengetahui secara persis, namun berdasarkan pengakuan dari pengelola, izin tambang masih masih proses.

“Jadi, pengelola harus menyelesaikan proses perizinannya. Saya tidak tahu apakah izinnya bisa atau tidak, karena prosesnya panjang. Dalam proses perizinan, tentu masyarakat dan pemerintah desa akan dimintai izinnya. Ya nanti tergantung, kalau tak ada izin tentu tidak ada penambangan, begitu juga sebaliknya. Namun yang pasti, saat sekarang penambangan dihentikan dan alat berat ditarik dari lokasi,” tandasnya.

perlu dibaca : Kongres Sungai Indonesia: Kembalikan Fungsi Sungai Sebagaimana Mestinya

 

Alat berat backhoe yang digunakan untuk menambang pasir ilegal di Sungai Serayu yang masuk di Desa Kemangkon, Purbalingga, Jateng pada Selasa (17/9/2019) . Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dihubungi terpisah, Ketua Forum Rembuk Masyarakat Pengelolaan Sumberdaya Air Serayu Hilir, Eddy Wahono, menegaskan sesuai dengan aturan yang ada, maka seluruh kegiatan pertambangan harus ada izinnya.

“Kalau tidak ada izinnya, bisa dikenai sanksi seperti diatur dalam UU No.4/2009 (tentang Pertambangan Mineral dan Batubara). Ada ancaman hukuman dan desa materiilnya. Bagi siapa saja yang melakukan penambangan tamnpa izin usaha pertambangan (IUP) terancam 10 tahun penjara dan denda maksimal hingga Rp10 miliar. Ini tidak main-main,” tegasnya.

Eddy meminta supaya ada pengawasan secara intensif untuk mengawasi kegiatan penambangan khususnya di Sungai Serayu. “Bidang pengawasan yang terdiri dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Dinas ESDM Jateng, Kepolisian dan Satpol PP diharapkan terpadu dalam melakukan pengawasan. Karena banyak penambang yang sepertinya tidak memenuhi kaidah-kaidah dalam penambangan yang tentu bakal menyebabkan kondisi sungai rusak,”tegasnya.

Ia juga meminta supaya ada pembatasan dalam penambangan di Sungai Serayu dan sungai-sungai yang ada di wilayah Jateng selatan. “Sebab, di Sungai Serayu dan sungai-sungai lainnya, tidak ada suplai sedimen dari gunung berapi. Sehingga mayoritas pasir berasal dari guguran tebing yang ada di kanan kiri sungai. Oleh karena itu, harus dicermati betul izinnya supaya lebih selektif dan perlu ada pembatasan. Sehingga Sungai Serayu tidak semakin rusak dan bisa terus dijaga,” tandasnya.

 

Puluhan perahu berisi penambang pasir yang tidak jauh dari Jembatan Soeharto, Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah. Aktivitas penambangan pasir ini merugikan lingkungan karena meningkatkan abrasi di sepanjang DAS Serayu pada awal Januari 2017. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version