Mongabay.co.id

Menikmati Koja Doi, Desa Peraih Sustainable Tourism. Apa Keunikannya?

 

Desa Koja Doi di kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan sebuah desa yang berada di gugusan pulau dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Maumere. Wilayah desa Koja Doi meliputi pulau Koja Doi dan pulau Besar yang terdapat dusun Koja Gete dan Margajong.

Apa yang membuat desa Koja Doi masuk nominasi Indonesia Sustainable Tourism Award (ISTA) tahun 2019 dari Kementerian Pariwisata RI?

Satu obyek wisata khas dan unik di Koja Doi adalah jembatan alami penghubung pulau Besar dan pulau Koja Doi. Jembatan sepanjang 680 M ini terbuat dari susunan bebatuan.

“Orang Bajo menamakan pulau ini Tukukaba artinya pulau Kelelawar sebab dulunya penuh dengan kelelawar. Di depannya ada pulau kecil sehingga dinamakan Koja Doi yang artinya kenari kecil,” kata La Mane Untu (78), mantan kepala Desa Koja Doi, yang ditemui Mongabay Indonesia, Jumat (30/8/2019).

baca : Menengok Waturaka, Desa Ekowisata  Terbaik Nasional 

 

Jembatan batu sepanjang 680 meter yang menghubungkan pulau Koja Doi dan pulau Besar terlihat dari Bukit Batu purba. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jembatan itu dibangun untuk memudahkan warga Pulau Koja Doi menuju pulau Besar. Sebelumnya, warga harus menggunakan perahu untuk mengakses fasilitas seperti sekolah dan poliklinik di pulau Besar.

Mane mengenang pembangunan jembatan batu puluhan tahun yang lalu, ketika dia berkirim surat ke Bupati Sikka mengatasi serangan hama babi hutan yang merusak tanaman pertanian warga. Bupati Sikka lalu meminta bantuan TNI Kodim 1603 Sikka.

“Selama seminggu tidak mendapatkan seekor babi pun. Mereka menemui saya dan mengatakan kalau bisa kami bantu kerja apa. Saya katakan, warga sudah lama ingin bangun jembatan batu,” ucapnya.

Tentara pun sepakat. Bersama warga pulau Besar dan Koja Doi, mereka bekerja selama tiga minggu membangun jembatan batu setinggi 1,5 meter dan lebar semeter.

Kemudian tahun 1983, masyarakat memperbaiki jembatan dengan bantuan dana Padat Karya dari pemerintah pusat. “Kami tidak mengambil karang hidup dari laut tapi karang mati yang berada di tepi pantai dan daratan,” jelas La Mane mengenai batu karang bahan jembatan.

Uniknya, untuk menguatkan batuan pondasi jembatan digunakan anyaman rotan. “Kalau menggunakan semen maka mudah rusak tergerus ombak. Lebih baik pakai rotan karena selain tahan air, juga unik dan menggunakan bahan alam. Jembatan ini tidak akan disemen atau diaspal,” jelas Hanawi (51), Kepala Desa Koja Doi.

baca juga : Danau Kelimutu Bakal Ditata, Apa Perubahannya?

 

Seorang anak warga Pulau Koja Doi melintasi jembatan batu menuju sekolahnya. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Bukit Batu Purba

Koja Doi juga terkenal dengan keunikan bukit batu purbanya. Bebatuan hitam berukuran besar ini bertumpuk membentuk bukit batu setinggi 20 meter dan seluas 700 m² berbentuk bulat telur.

Dari puncak bukit, keindahan Koja Doi dan lautannya terlihat jelas, menjadikan bukit batu instagramable karena keunikannya.

“Pernah ada wisatawan asal Kanada datang menggunakan helikopter. Mereka lakukan penelitian dan dia katakan batu ini jenis batu purba. Batu yang biasa dipakai membangun candi,” kata Hanawi.

Bukit ini tampak gersang. Beberapa pohon Reo (Lannea coromandelica) tanpa daun tumbuh di sekeliling bukit. Di puncak bukit ada pohon beringin. Terdapat ayunan yang diikat di dahannya.

Kubah masjid berwarna emas dan deretan rumah warga terlihat jelas. Sejauh mata memandang, tampak air laut berwana hijau dan kebiruan. Beberapa sampan dan perahu nelayan terlihat hilir mudik menangkap ikan.

Bernadus Irawan, seorang wisatawan asal Jawa pun tampak hening terkagum menikmati keindahan menyejukkan hati di bukit batu purba.

“Saya kagum dengan pemandangan alamnya yang hijau dan asri dikelilingi laut yang tampak tenang dan bersih. Tempatnya bebas dari sampah,” ucapnya.

menarik dibaca : Flores Itu Tak Hanya Pulau Komodo dan Danau Kelimutu

 

Pohon beringin dengan ayunan di puncak Bukit Batu Purba di pulau Koja Doi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Transplantasi Karang

Gempa dan tsunami dahsyat yang mengguncang pantai utara Flores membuat budidaya rumput laut terhenti. Terumbu karang pun banyak yang rusak.

Salihun, manager BUMDes Monianse menyebutkan, sebelum BUMDES lahir 2016, ada karang taruna bersama dinas terkait memberikan pelatihan konservasi seperti transplantasi terumbu karang dan menanam mangrove.

“Sekitar tahun 2002 sudah mulai melakukan konservasi. Wisatawan akan diajari ikut menanam karang dan mangrove. Penyu hijau pun akan kembali dipelihara untuk dilepas ke laut,” ungkapnya.

Dulunya masyarakat sering menangkap penyu untuk membuat gelang dan cincin sehingga pihaknya terus lakukan penyadaran. Kini berburu penyu pun hilang meski penyu masih sulit ditemukan.

Hanawi menambahkan, ada 3 zona di perairan Koja Doi dan zona inti yang meliputi Teluk Panda, Wailago, Margajong dan depan pulau Koja Doi.

Di daerah ini karang relatif terjaga dengan baik. Nelayan dari luar desa yang menangkap ikan dengan pun ditangkap warga. Saat air laut surut, karang pun terlihat menyembul ke laut.

“Sudah ada Perdes untuk perlindungan ekosistem laut ini. Kami juga ingin beli tukik dan memelihara hingga besar. Nantinya wisatawan kami ajak untuk melepas penyu juga,” terangnya.

baca juga : Ini Magnet Pariwisata Baru di Teluk Saleh

 

Keindahan terumbu karang di perairan pulau Koja Doi, kecamatan Alok Timur, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sunset dan Sunrise

Di Koja Doi ada beberapa titik terbaik memandang sunset. Misalnya dari Teluk Panda di Lembantour, terbenamnya matahari terlihat jelas di ujung barat horizon pulau Palue.

Dari hutan mangrove Margajong pun sunset terlihat indah. Bahkan pihak desa membuatkan paket trip wisatanya minimal 20 orang selama 2 hari dengan harga Rp.400/ribu orang termasuk antar jemput ke Koja Doi.

Sedangkan sunrise terlihat mistis syahdu dari dari puncak bukit batu, tempat favorit wisatawan mengabadikan matahari terbit. Wisatawan juga bisa treking ke padang rumput di atas bukit dusun Koja Gete.

Juga ada jalur trekking ke bukit dusun Koja Gete. Di puncaknya, wisatawan bisa melihat jelas pulau Koja Doi dan jembatan batu.

“Kalau dari puncak bukit kita melihat pulau Koja Doi seperti janin bayi,” ungkap Fifin Aliansyah Sekretaris Pokdarwis.

Padang rumput di lokasi ini pun dulunya habitat rusa. Warga sering memburunya untuk dikonsumsi. Saat ini pihak desa sudah melarang dan rusa akan dikonservasi.

baca : Ini Pariwisata Kerakyatan Ala Pemprov NTT. Seperti Apa?

 

Wisatawan menikmati sunset di Teluk Panda, kampung Lebantour, desa Koja Doi, kecamatan Alok Timur, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Keikutsertaan desa Koja Doi diajang ISTA 2019 pun melecut semangat seluruh aparat pemerintah desa, pengurus BUMDes dan Pokdarwis serta masyarakat desa.

“Branding kami, ‘Surga Bawah Laut Ada Disini’,” kata Yance Moa, pembina  BUMDes Monianse Koja Doi.

Setiap wisatawan selain berwisata, juga diajak ikut merawat identitas teluk Maumere sebagai taman wisata alam laut. Dengan begitu, alam terjaga dan konservasi terus jalan.

Tantangan terbesar mengembangkan desa wisata, kata Ketua Pokdarwis El Anshari, adalah sampah.. Saat air laut pasang banyak sampah yang terdampar di pesisir pantai sebab wilayah Koja Doi berada di pulau.

“Potensi wisata kami luar biasa bagus. Ada beberapa terumbu karang yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain salah satunya terumbu karang bunga ros merah,” ungkapnya.

Walau fasilitas dan dana terbatas, kata Ari  sapaannya, namun pihaknya  tidak patah semangat untuk terus memperkenalkan Koja Doi sebagai desa wisata.

“Mimpi kami, Koja Doi dikenal dunia berkat wisatanya,”pungkasnya

 

Keindahan pulau mungil Koja Doi dengan jembatan batu dilihat dari puncak bukit pulau Besar di dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Maumere kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version