- Desa Waturaka di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, NTT merupakan salah satu desa ekowisata yang diganjar penghargaan dari Kementerian PDT sebagai desa wisata alam terbaik nasional tahun 2017.
- Keberhasilan menjadi desa ekowisata, tidak lepas dari peran seorang warga Desa Waturaka, Ignasius Leta Odja yang awalnya dianggap ‘gila’ mempelopori perubahan warga dan potensi desa menjadi desa ekowisata.
- Keberhasilan desa ekowisata Waturaka dipuji Gubernur NTT dan menetapkan sebagai percontohan desa wisata bagi desa lain di NTT, karena sukses mengubah warganya dari petani tradisional menjadi petani agrowisata.
- Konsep ekowisata berbasis komunitas (community based ecotourism) menjadi pilihan pengembangan pariwisata Flores dan NTT ke depannya, karena potensinya berupa masih kuatnya keunikan budaya dan ikatan sosial masyarakat, dipadu dengan dengan keindahan alamnya.
Nama Waturaka di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende kian populer di kalangan wisatawan yang berkunjung ke danau Kelimutu. Desa yang berada persis di samping jalan raya utama menuju danau Kelimutu merupakan salah satu desa ekowisata terbaik di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hampir setiap hari wisatawan lokal dan mancanegara hilir mudik di desa ini. Wisatawan betah menginap di 20 home stay Desa Waturaka.
“Wisatawan bisa ikut memasak dan melakukan aktifitas bersama pemilik rumah dan warga sekitar. Kita seperti sedang berada di rumah sendiri saja,” kata Taufik Koban, wisatawan lokal yang pernah menginap di Waturaka kepada Mongabay Indonesia, Rabu (28/8/2019).
Apa yang membuat desa Waturaka ramai dikunjungi wisatawan?
Selain home stay berstandar pariwisata, desa ini diberi penghargaan desa ekowisata terbaik oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
“Kami mendapat penghargaan sebagai desa wisata alam terbaik tahun 2017. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa,” kata Ignasius Leta Odja, pelopor dan penggerak desa ekowisata Waturaka saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (28/8/2019).
baca : Inilah Profil Desa Waturaka di Kelimutu, yang Kembangkan Wisata Lingkungan dan Budaya
Dianggap Gila
Berawal tahun 2011, Sius –sapaan akrab Ignatius Leta Odja— melihat desanya berpotensi menjadi desa ekowisata untuk menarik minat wisatawan yang berkunjung ke danau tri warna Kelimutu. Selama ini wisatawan hanya menginap di Desa Konara, kecamatan Kelimutu.
Berbekal pengetahuan ala kadarnya, Sius bergerak sendiri memungut sampah dan membuka jalur ke tempat wisata seperti air terjun Murukeba dan air panas Kolorongo.
“Saya dianggap orang gila oleh orang kampung tapi saya tetap bekerja sendiri. Tekad saya ingin menjadikan desa saya sebagai desa ekowisata,” katanya.
Petani teladan nasional tahun 2015 ini pun mulai merasa tidak sendirian saat LSM Swiss Contact datang dan melakukan pendampingan di desanya tahun 2012.
Berbagai hal dilakukan, seperti pemahaman, pembenahan dan pelatihan bagi warga, termasuk mulai dibangunnya home stay.
“Saya menggerakkan warga menanam sayuran dan buah-buahan. Tak disangka lama-lama warga pun ikut menanam. Kami juga dirikan home stay dan sanggar musik,” ungkapnya.
Kini setiap home stay berpenghasilan antara Rp2 juta hingga Rp5 juta sebulan. Anak-anak muda pun mulai jadi petani sayur dan buah-buahan. Sanggar musik dan tari mulai hidup dan memberi penghasilan per orang hingga Rp2 juta sebulan.
baca juga : Eloknya Puncak Kelimutu, Danau Kawah yang Terus Berubah Warna
“Saat ini kami sudah membangun kerjasama dengan sebuah travel agent di Bali dimana tahun lalu ada 10 trip dan tahun ini 19 trip. Wisatawannya kebanyakan dari Denmark dan negara Eropa,” terang Sius.
“Selama bulan Maret sampai November desa kami ramai dikunjungi wisatawan. Kalau rombongan dari luar negeri bisa mencapai 10 sampai 20 orang. Sementara setiap hari berkisar antara 2 sampai 5 orang menginap disini,” tuturnya.
Sedangkan paket wisata yang ditawarkan selama dua hari yaitu melihat budaya dan tarian adat sanggat Mutulo’o dan Nuwa Nai, bertani, berwisata ke air terjun Murukeba dan mandi air panas Kolorongo, serta ke Danau Kelimutu.
“Tahun 2017 Swiss Contact tidak mendampingi kami lagi karena dinilai sudah bisa berdiri sendiri,” ungkapnya.
Sebagai seorang difabel, Sius merasa senang dan bangga berhasil mewujudkan cita-citanya menjadikan Waturaka desa ekowisata yang meningkatkan perekonomian warga.
menarik dibaca : Air Terjun Murugolo dan Air Panas Toba, Potensi Wisata Kelimutu yang Menunggu Digarap
Transformasi Budaya
Prestasi yang dicapai desa ekowisata Waturaka pun menuai pujian dari Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat saat acara Pati Ka di danau Kelimutu, Rabu (14/8/2019).
Viktor mengapresiasi warga desa ini yang berubah dari petani tradisional menjadi petani agrowisata sehingga mendapat pemasukan dari wisata. “Di Waturaka terjadi sebuah tranformasi budaya yang sangat luar biasa. Dari petani tradisional menjadi petani pariwisata,” pujinya.
Itu menjadi bukti keberhasilan wisata berbasis komunitas (community based tourism) meski awalnya Desa Waturaka hanya sebagai desa penyangga destinasi wisata Danau Kelimutu. “Desa ini menjadi salah satu pusat penelitian dalam transformasi budaya di dunia,” ungkapnya.
Keberhasilan itu, lanjut Viktor, bisa menjadi pemicu desa lainnya di NTT. Dia mengharapkan warga mampu menyediakan makanan dan minuman khas bagi wisatawan harus berasal dari desa setempat, seperti teh daun kelor dan gula aren.
“Kita akan kirim orang belajar di Waturaka, lalu kembali dan diterapkan. Belajar desa pariwisata hanya ke Waturaka,” tegasnya.
perlu dibaca : Yuk, Menengok Berbagai Pesona Keindahan Alam Kelimutu
Peran Sentral Masyarakat
Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Persada Agussetia Sitepu kepada Mongabay Indonesia pun mengakui keunggulan desa Waturaka dan menempatkannya sebagai desa rujukan untuk menginap dan menikmati ekowisata.
Dengan konsep wisata berbasis komunitas, wisatawan datang, makan, dan tidur menjadi bagian keseharian masyarakat desa Waturaka.
“Ekowisata itu kan alamnya lestari, masyarakatnya berdaya dan pengunjungnya tercerahkan atau teredukasi. Untuk itu peran masyarakat sangat penting,” tegas Agus.
Sementara penggagas Detusoko Ecotourism Ferdinandus Watu kepada Mongabay Indonesia menegaskan pariwisata berbasis masyarakat ideal untuk pengembangan pariwisata di Flores dan NTT karena budaya dan ikatan sosial masih kuat. Sehingga masyarakat menjadi subyek utama pariwisata.
“Masyarakat sendiri yang merencanakan, mengidentifikasi dan mengelola potensi wisata desanya. Pemerintah berperan menyiapkan regulasi. LSM dan lembaga lain mendukung peningkatan kapasitas,” tegasnya.
Menurut Ferdinandus, ada 3 hal yang harus dipersiapkan yakni atraksi, aksebilitas serta amenitas. Perlu adanya organisasi yang berperan di desa baik BUMDEs maupun Kelompok Sadar Wisata. Perlu dikembangkan desa-desa wisata seperti di Manggarai ada Waerebo, di Ngada ada Bena dan di Ende ada Waturaka.
“Memang butuh waktu lama untuk membangun pondasi yang kokoh. Di Waturaka sendiri, kami butuh waktu empat tahun untuk bisa eksis ekowisatanya,” pungkasnya.
baca juga : Mencari Solusi Kelola Lahan Masyarakat Sekitar TN Kelimutu
***
Keterangan foto utama : Pemain alat musik sato di sanggar Mutulo’o, Desa Waturaka, Ende. Sato merupakan alat gesek yang bahannya terbuat dari labu hutan. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia