Mongabay.co.id

DPR Batal Sahkan RUU Pertanahan

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Seluruh fraksi Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan rapat internal, Senin (23/9/19) sore  dan memutuskan Rancangan Undang-undang Pertanahan batal dibawa ke rapat tingkat satu paripurna Selasa (24/9/19). Artinya, RUU Pertanahan, batal disahkan pada masa persidangan terakhir DPR periode 2014-2019.

Sebelum itu, siang hari, Presiden Indonesia Joko Widodo meminta rencana pengesahan beberapa Rancangan Undang-undang (RUU) ditunda, seperti RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batubara (MInerba), RUU KUHP dan UU Pemasyarakatan.

“Tadi siang saya bertemu dengan ketua DPR dan pimpinan serta ketua fraksi dan ketua komisi. Intinya, tadi saya meminta pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan itu ditunda.,” kata Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Senin (23/9/19).

Presiden bilang, pemerintah dan DPR bisa mendapatkan masukan-masukan atau substansi lebih baik sesuai keinginan masyarakat.

Baca juga: Kuat Nuansa Pebisnis, Minim Urus Masalah Rakyat, Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Dengan penundaan pengesahan beberapa RUU ini, Jokowi berharap pembahasan bisa lanjut periode DPR 2019-2024. Dia berharap, masukan dari berbagai kalangan terkait substansi beberapa RUU ini bisa terakomodir DPR.

“Saya sampaikan, masukan-masukan yang baik dari masyarakat harus didengar DPR. Sampaikan, draf materi seperti apa, bawa substansi-substansinya ke DPR. Ini kan sudah masuk ke proses, nanti akan dibicarakan di DPR,” katanya.

Senin siang ini, Komisi II DPR mengagendakan rapat kerja bersama pemerintah membahas tindak lanjut dari RUU Pertanahan. Agenda ini semula mengundang beberapa menteri terkait, seperti Menteri ATR/BPN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Kelautan dan Perikanan maupun Kementerian Hukum dan HAM. Rapat ini batal karena masih terdapat penolakan dari mayoritas fraksi terhadap RUU Pertanahan ini.

Baca juga: RUU Pertanahan, Sudahkah Menjawab Persoalan Agraria?

Mardani Ali Sera, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, masih terdapat permasalahan dalam substansi RUU Pertanahan hingga DPR sepakat menunda pengesahan.

“Raker belum bisa memasukkan agenda pengesahan karena tingkat satu harus hari ini. Karena hari ini tak jadi, minta pendalaman semua, agak berat periode sekarang disahkan,” katanya.

 

Bagaimana nasib hutan adat yang nasih berkonflik dengan perusahaan, kalau RUU Pertanahan, sah? Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Mardani bilang secara umum, menginginkan RUU Pertanahan ini bisa jadi kepastian dalam mengimplementasikan reforma agraria.

“Rasio gini tanah kita berapa, kita masih meriksa dengan HGU yang dulu di naskah Akademik maksimal perkebunan 10.000 hektar. Kemudian, perumahan 200 hektar, pertanian 50 hektar. Tiba-tiba hilang semua. Itu diserahkan kepada menteri, wah terlalu besar kewenangan menteri. Kami ingin limitasinya jelas hingga penguasaan tanah negara bisa untuk tanah obyek reforma agraria (tora).”

Baca juga: Komnas HAM Minta DPR Tunda Pengesahan RUU Pertanahan

Arif Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PDIP mengatakan, semua fraksi menolak pengesahan RUU Pertanahan hingga tak bisa pada periode sekarang.

“Jadi, tidak bisa disahkan bulan ini. Nanti, periode DPR mendatang langsung masuk Prolegnas 2019-2024, sekaligus Prolegnas 2020. Itu kalau pandangan PDIP. Hari ini, tak ada pembahasan tingkat satu. Jadi tak akan disahkan di paripurna besok.”

RUU Pertanahan, katanya, penyusunan inisiasi Komisi II DPR yang masuk usulan disahkan periode 2009-2014. RUU ini melaksanakan amanat Ketatapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Arah pembaruan ini mestinya kembali kepada dasar keadilan sosial, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

“Yang jadi pijakan yuridis penyusunan RUU Pertanahan adalah ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mempertegas perlunya pengaturan kembali pertanahan.”

Arah kebijakan pembaruan agraria, katanya, lewat pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam sinkronisasi kebijakan antarsektor, penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan.

Berbagai UU sektoral bidang keagrariaan, katanya, justru memperkuat konsesi-konsesi asing, dan memicu timbul konflik sosial secara struktural, serta memperparah kondisi lingkungan hidup.

Untuk itu, katanya, substansi RUU Pertanahan harus benar-benar dicermati dan dalami agar sesuai prinsip-prinsip dasar Pancasila, pembukaan UUD 1945, Pasal 33 UUD’45 dan TAP MPR No IX/MPR/2001.

Jiwa RUU Pertanahan, katanya, tak boleh disusupi domein verklaring yang merupakan konsep kolonial. Domein verklaring, adalah suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah jadi milik negara kalau seseorang tak dapat membuktikan kepemilikan. Watak domein verklaring muncul dalam ketentuan mengenai hak milik, hak guna usaha, hak pakai dan hak pengelolaan.

“Ketentuan mengenai hak milik tidak lagi mengakomodasi UU Pokok Agraria, yaitu, hak milik dari turun-temurun. RUU ini hak milik hanya dibentuk UU, penetapan pemerintah dan ketentuan hukum adat setelah ada penegasan dan pengakuan. Sangat banyak masyarakat hukum adat di Indonesia, belum memiliki penegasan dan pengakuan. Mereka menjadi rentan terkena prinsip domein verklaring.”

Berkaitan hak menguasai negara, diterjemahkan dengan hak pengelolaan. Dalam UU Pokok Agraria tidak terdapat ketentuan mengenai hak pengelolaan. Pada RUU Pertanahan, hal pengelolaan menciptakan penguasaan lahan dan jadi representasi dari prinsip domein verklaring.

“Khusus berkaitan dengan hak milik, RUU ini cenderung pada hak milik orang perseorangan, belum mengakomodasi hak milik bersama yang jadi aspirasi rakyat dan telah terakomodasi dalam Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.”

Kemudian berkaitan dengan hak guna usaha (HGU) prioritas kepada penguasaan skala besar tanpa mempertimbangkan aspek keadilan, pembatasan luas wilayah, kepadatan penduduk, serta daya dukung lingkungan.

“RUU ini, memberikan impunitas terhadap penguasaan tanah skala luas termasuk properti maupun perkebunan jika melanggar ketentuan luas lahan. RUU ini tidak pula mengatur keterbukaan informasi publik terhadap penguasaan HGU-HGU,” katanya, seraya menyatakan, terdapat pasal-pasal karet yang memberikan kewenangan besar kepada menteri mengatur jangka waktu tambahan dan batasan luas HGU.

 

Abdul Majid, di lahan yang ditumbuhi ratusan pohon mete. Lahan ini tidak mau dia lepaskan kepada perusahaan. Memberikan lahan kepada perusahaan sama dengan bertaruh nyawa. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Soal hak pakai, dalam Pasal 34, RUU Pertanahan, terkesan bias dan ambigu dengan ketentuan mengenai HGU. Dalam pasal ini, hak pakai dalam memberikan konsesi pada usaha perkebunan, peternakan, perikanan, dan pergaraman berdasar pada penggunaan tanah.

“Ketentuan ini nyata-nyata bias ketentuan mengenai HGU. Jika hak pakai dapat diberikan untuk konsesi perkebunan, peternakan, penggaraman, lantas untuk apa ada HGU?”

Pengaturan ini, katanya, juga berorientasi pada penguasaan asing. Hak pakai dapat diberikan kepada orang asing, hingga pasal ini akan jadi karpet merah konsesi asing menguasai sumber daya agraria dalam bentuk perkebunan, peternakan, penggaraman dan lain-lain.

Mengenai Lembaga Pengelolaan Tanah, dalam Pasal 72 ayat (2), katanya, ketentuan ini ruang bagi spekulan yang dibiayai negara dan swasta serta terbuka bagi penanaman modal asing.

Ketentuan ini menunjukkan, tanah jadi komoditas di pasar global, konsepsi yang sangat bertentangan dengan UU Pokok Agraria dan UUD 1945.

Arif mengatakan, substansi isi RUU Pertanahan menyempitkan reforma agraria, sebatas penataan aset dan akses. Padahal, katanya, reforma agraria merupakan seluruh penataan ulang penguasaan lahan yang timpang, bukan sekadar penataan aset dan akses.

Ketentuan reforma agraria dalam Peraturan Presiden, jauh lebih maju daripada ketentuan reforma agraria dalam RUU ini. Ketentuan reforma agraria dalam RUU ini, juga tak membuat terobosan penyelesaian konflik HGU-HGU terutama perkebunan negara yang terlantar.

“Dalam RUU Pertanahan juga tak ada penyelesaian konflik melainkan hanya mediasi dan pengadilan. Padahal, sebagian besar konflik agraria merupakan konflik struktural yang memerlukan penyelesaian melalui kebijakan negara.”

“Setelah mendengar aspirasi masyarakat, mendalami kembali materi-materi dalam RUU Pertanahan serta memperhatikan dengan seksama kajian RUU ini, Fraksi PDI Perjuangan DPR menolak RUU ini lanjut dalam pembicaraan tingkat ll paripurna DPR RI. Fraksi PDI Perjuangan DPR meminta Komisi II DPR dan pemerintah mengkaji ulang, mendalami dan mendiskusikan kembali materi RUU Pertanahan.”

Dalam beberapa bulan ini, RUU Pertanahan, mendapatkan penolakan keras dari berbagai kalangan, baik organisasi masyarakat sipil, para pakar sampai organisasi keagamaan. RUU Pertanahan ini, dinilai jauh dari kepekaan terhadap persoalan rakyat, malah mengakomodir kepentingan pemilik modal.

 

Draf RUU Pertanahan per 9 September 2019

 

Keterangan foto utama: Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version