Mongabay.co.id

Bertaruh Nyawa Demi Emas di Lombok [1]

Para buruh sedang menggali lubang di lokasi baru di Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Para buruh ini berbagi keuntungan dengan pemodal. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Jalan berdebu menutupi hampir setengah roda motor yang saya kendarai. Di beberapa tanjakan terpaksa teman yang jadi pemandu turun. Tak kuat menanjak. Paling aman melewati lubang menganga di tengah jalan. Di kala musim hujan, lubang itu tempat kendaraan roda empat membawa material batu dari lokasi tambang.

Saya berpapasan dengan mobil Taft yang sudah dimodifikasi. Bagian belakang mobil itu penuh dengan karung berisi batu. Menyusul mobil Hardtop dengan muatan sama. Meraung-raung saat melewati tanjakan. Satu dump truk bermuatan sama meliuk perlahan mencari jalan yang aman untuk dilewati. Saat musim kemarau seperti saat ini, dump truk bisa naik ke beberapa lokasi. Saat musim hujan, hanya sepeda motor bisa melewati jalan ini.

Batu yang dibawa kendaraan ini digali dari Bukit Montor dan Bukit Malaikat. Dua bukit di Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Montor ini bukit legenda di kalangan penambang emas. Di awal kejayaan tambang emas Sekotong, pada 2008-2010, sekali angkut material dari Bukit Montor bisa menghasilkan puluhan juta rupiah. Penamaan bukit itu tak lepas dari sejarah bukit itu yang memberikan kekayaan bagi para penambang. Kekayaan diukur dari jumlah montor (motor dan mobil) yang dimiliki.

Kondisi Bukit Montor saat saya kunjungi akhir Agustus lalu berbeda jauh dengan tahun 2008-2010. Saat ini, Bukit Montor seperti kampung. Puluhan tenda memenuhi bukit, punggung bukit dan tempat lapang. Tampak juga warung-warung kaki lima dengan tenda terpal.

Saat ini, terlihat ada empat tenda besar yang masih terpasang di Bukit Montor. Tak ada aktivitas warung kaki lima, tempat para buruh melepas penat. Di masa kejayaan tambang emas, memiliki lubang di Bukit Montor adalah jaminan kekayaan. Setiap menyebut Bukit Montor, orang akan berujar “cair.” Cair ini jadi sebutan untuk mendapatkan emas.

Di masa kejayaan tambang emas, setiap karung berisi batu dari Bukit Montor, pasti akan mengandung emas. “Kalau sekarang sulit. Tak seperti dulu,’’ kata Burhan, seorang penambang emas saat saya temui di rumahnya di Dusun Teangin-Angin, Desa Buwun Mas.

Burhan mengolah emas di halaman rumahnya. Bebatuan yang mengandung emas datang dari Bukit Montor dan Bukit Malaikat, masih satu wilayah dengan Teangin-Angin. Bebatuan itu dipecahkan dengan alat penghancur batu, lalu dilebur menjadi lebih halus (pulp). Material yang lebih halus itu kemudian dituangkan ke dalam kolam yang dilapisi terpal. Di dalam kolam inilah,  material itu  dicampur dengan merkuri dan sodium sianida. Ketika merkuri mulai langka dan mahal, penambang gunakan sodium sianida dicampur karbon.

 

Buruh angkut membawa karung berisi batu dari lubang tambang. Ketika suatu lokasi banyak menghasilkan emas, biasanya diikuti kedatangan puluhan buruh. Mereka kadang membawa tinggal hingga berminggu-minggu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Bukit Malaikat, sekitar dua kilometer  dari Bukit Montor adalah tempat yang masih banyak dijumpai  penambangan emas di Desa Buwun Mas. Saat saya tiba di Bukit Malaikat, beberapa buruh sedang istirahat. Sebagian mengangkut karung-karung berisi batu dari lubang tambang.

Beberapa perempuan juga terlihat mengangkut karung berisi bebatuan. Karung itu diletakkan di pinggir jalan. Selanjutnya karung-karung itu akan dibawa ke tempat pengolahan yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Sekotong.

Bukit Malaikat adalah bukit legenda, seperti Bukit Montor. Sekitar 10 tahun aktivitas tambang emas di Sekotong, dua bukit ini masih menjadi lokasi penambangan. Kandungan emas di bebatuan bukit itu masih ada. Beda kasus dengan bukit-bukit lain yang ditinggalkan penambang karena sudah tak  ada emas. Di Bukit Montor dan Bukit Malaikat, kedalaman lubang bisa 40 meter.

Saat saya memasuki tenda-tenda di Bukit Malaikat, hanya satu orang lelaki yang tiduran. Dia menjaga mesin kompresor terus menyala. Dari kompresor itu dipasang selang kain ukuran tiga inchi ke dalam lubang di bawah tenda. Kedalaman lubang dengan lebar 1.5 meter itu sekitar 10 meter. Kemudian, dari kedalaman vertikal 10 meter itu, digali lubang menyamping.

“Masih ada orang di bawah,’’ kata pemuda yang berjaga di tenda itu. Pemuda yang berjaga itu tidak menyebutkan namanya. Dia bilang, harus izin bosnya dulu kalau mau turun.

Saya menunggu cukup lama, hingga membatalkan keinginan turun ke lubang. Nyali juga menciut setelah menengok ke lubang gelap dan sempit itu.

Lubang tambang emas ini banyak menelan korban. Peristiwa sepanjang 2008-2010, saat puluhan penambang tewas tertimbun. Ada penambang terkubur hidup-hidup. Ada penambang tertimpa bongkahan batu akibat longsor di bagian bukit. Ada penambang jatuh lalu tertindih bebatuan besar.

 

Model kolam endapan digunakan penambang untuk mengolah emas yang menggunakan bahan karbon dan sodium sianida. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Awal mula

Namanya Ayung. Saya menemui di salah satu pengolahan emas, dia sedang memperbaiki beberapa komponen mesin gelondongan. Di tempat Ayung bekerja, ada empat mesin besar, masing-masing mesin itu memiliki “anak” gelondongan kecil. Satu mesin memutar 20 gelondongan keci. Hingga total ada 80 gelondongan di gudang itu. Mesin itu ditaruh di halaman belakang rumah. Di gudang yang hanya ditutupi terpal, mesin bekerja hampir 24 jam.

Setiap mesin giliran. Satu kali bekerja, ada 20 gelondongan yang dihidupkan. Setelah cukup, material lumpur bercampur merkuri di dalam gelondongan disaring untuk memisahkan dengan ampas. Selanjutnya, emas yang masih bercampur dengan merkuri dipisahkan melalui proses penguapan merkuri.

Pada proses ini biasa dilakukan di rumah. Beberapa penambang yang saya jumpai menolak halus ketika meminta melihat proses pemisahan.

Ayung bukan warga Sekotong. Dia dari Jawa Barat. Ayung mengaku, berada di Sekotong sejak 2008. Dia generasi awal “konsultan” tambang emas dari Jawa Barat.

Pada 1986-2004, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) meneliti Sekotong. Dari hasil penelitian itu ditemukan kandungan emas. Potensi emas rendah, hingga NNT tidak lanjut. Kemudian dilanjutkan PT Indontan. Perusahaan ini sempat membangun basecamp. Indotan penelitian hingga 2006.

Pada tahun itu ,disahkan Perda Nomor 11/2006 tentang RTRW NTB. Dalam perda disebutkan kalau Pulau Lombok bukan daerah tambang logam. Masyarakat Sekotong, sudah terlanjur tahu ada kandungan emas. Dengan mencoba-coba, mereka menggali di sekitar basecamp PT, termasuk di daerah-daerah yang pernah kena survei tim perusahaan.

Penambangan emas skala kecil atau tambang rakyat ini mulai marak pada 2008. Saat itulah, banyak penambang lebih berpengalaman datang dari Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Pada awal-awal tambang ilegal itu, Sekotong yang dulu dikenal sebagai daerah banyak blank spot, sulit akses, berubah jadi kota baru.

Ribuan orang datang dari berbagai daerah. Pemerintah daerah bersama aparat TNI-Polri sampai menghadang penghadangan orang-orang dari luar daerah yang datang ke Sekotong.

“Saya diminta tolong saja mas’’ kata Ayung ketika saya menanyakan apa posisinya. Dia mengaku, sudah sering bolak-balik Jawa Barat – Lombok. Dia tidak sendiri.

Para penambang dari Jawa Barat, membagi ilmu mereka ke penambang lokal. Selain mengajarkan teknik untuk membangun lubang, mereka lebih banyak dipakai di pengolahan. Mulai dari merancang mesin gelondongan, pencampuran merkuri, pengolahan. Para penambang dari luar ini juga diduga membuka jalur perdagangan merkuri.

 

Aktivitas penambangan emas di Bukit Malaikat, Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Lokasi yang bersebelahan dengan Bukit Montor ini cukup dikenal di kalangan penambang karena setiap karung material selalu mengandung emas. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Para penambang cepat belajar. Kalau dulu hanya gunakan gelondongan, berbentuk tabung dengan listrik, belakangan mereka membangun gelondongan lebih besar. Terakhir, merancang gelondongan vertikal yang disebut tong. Ketinggian tong ini kadang sampai 10 meter dengan diameter tiga meter. Berton-ton material lumpur yang mengandung emas dituangkan dalam tong. Berkilogram merkuri masuk dalam tong. Air dari pengolahan itu dibuang ke kolam yang dibangun di dekat tong. Sebagian inilah yang dibuang ke sungai dan laut.

Topografi Sekotong berbukit berbatasan dengan laut. Banyak gelondongan beroperasi di rumah-rumah warga di pinggir pantai. Sepanjang Sekotong Barat, Sekotong Timur, Buwun Mas, Pelangan banyak dijumpai gelondongan di pinggir pantai. Air dari pengolahan emas itu dibuang begitu saja di halaman, yang mengalir ke perairan.

Gelondongan skala besar (tong) pun tak mengolah air limbah. Dibuang begitu saja di kolam yang mereka gali. Beberapa hasil penelitian menyebutkan, air limbah itu dibuang ke perairan. Air inilah yang mencemari sungai, sawah, tanaman. Masuk ke dalam rantai makanan, berujung berdampak pada manusia.

Cerita sukses penambang emas di Sekotong terdengar di seantero Lombok. Hanya berdasarkan cerita dari satu penambang ke penambang lain, warga di beberapa daerah mencoba peruntungan.

Mereka juga menggali bukit-bukit. Lokasi penambangan yang pernah dilakukan adalah di Batu Jangkih dan Montong Sapah (Lombok Tengah) yang berbatasan dengan Sekotong (Lombok Barat). Penambangan lain di Gunung Prabu (Lombok Tengah), bukit-bukit di Batunampar (Lombok Timur).

Penambangan di Batunampar, belum sempat berkembang, sudha ditertibkan. Begitu juga di sekitar perbatasan bagian selatan Lombok Tengah-Lombok Barat. Yang bertahan hingga kini penambangan di Gunung Prabu. Gunung Prabu ini bersebelahan dengan kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika. Bahkan, kawasan yang kini jadi areal pertambangan ilegal masih satu kawasan pengembangan KEK Mandalika.

Berulang kali otoritas KEK Mandalika meminta perhatian khusus pemerintah daerah menertibkan tambang emas di Gunung Prabu.

Rencana penertiban di Gunung Prabu tak berjalan mulus. Aparat tampak berhati-hati setelah ribut kala penertiban di Sekotong, bentrok antara aparat dengan masyarakat terjadi. Bahkan, mobil Satpol PP dirusak. Puncaknya, perusakan dan pembakaran mesin-mesin Indotan yang akan masuk ke Sekotong.

Lambat laun Sekotong mulai redup. Penambang menggali manual, kemampuan mereka terbatas. Nerbanding terbalik dengan di Gunung Prabu. Para penambang pakai alat berat.

Gunung yang dulu rimbun, kini botak. Tak sekadar menggali lubang dengan linggis, penambangan di Gunung Prabu membawa alat berat. Bukit dikeruk, dan lama-kelamaan makin terkikis.

Awalnya, penambang pakai merkuri, kini gunakan karbon dan sodium sianida. Mereka pakai kolam pengendapan dengan perlu sedikit listrik untuk mesin pompa air yang biasa untuk di akuarium.

Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) NTB bilang, potensi emas di Pulau Lombok, memang ada. Daerah selatan Pulau Lombok dulu gunung purba. Dalam proses geologi berlangsung ribuan tahun, mineral-mineral di gunung itulah yang mengendap menjadi logam. Selain emas, katanya, ada juga mangan.

“Itu yang membuat tambang emas itu di selatan,’’ katanya.

Kusnadi bilang, emas dan mangan potensi di Lombok bagian selatan. Dia tak setuju dengan pola penambangan saat ini karena rentan longsor, dan pencemaran. Tidak ada pengolahan limbah. Selain mengubah bentang alam, katanya, merkuri dan sodium sianida yang dipakai untuk memisahkan emas itu berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan.

“Selama manusia menjadikan emas sebagai mineral berharga, selama itu pula tambang akan dilakukan,’’ katanya.

 

Pengolahan emas dengan cara gelondongan. Biasanya dilakukan di halaman rumah penambang atau juga kadang membeli batu dari penambang lainnya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pencemaran parah

Pencemaran dari tambang emas sudah terjadi. Temuan berbagai penelitian membuktikan itu. Tak hanya lingkungan, tumbuhan dan biota air tercemar, manusia juga terdampak.

Pada 2010, tim peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Fakultas MIPA Universitas Mataram (Unram) mempublikasikan hasil studi kandungan merkuri di Sekotong. Studi lapangan oleh 14 orang peneliti, mengambil sampel di lapangan pada 12-28 Oktober 2009.

Sampel diambil dari cuplikan air dari Sungai Selodong, Blongas, Pelangan, Selindungan, Tawun, Tembowong, Gawah Buak. Tim juga mengambil air tanah dan tanah di sekitar sungai itu. Mereka juga meneliti biodiversitas hewan (gastropoda dan ikan) maupun tumbuhan sekitar.

Dari hasil penelitian, tim menemukan 1.497 gelondongan dan 570 (38 %) membuang limbah ke sungai. Hasil penelitian itu menyebutkan, kandungan merkuri yang terdeteksi pada daun di tiga tumbuhan terpilih (Cyperus rotundus, Eupatorium inulifolium, dan Tectona grandis) di sekitar quarry telah tinggi, berkisar antara 0,5 sampai sembilan kali lipat batas ambang yang diacu (NAB 0,3 ppm).

Ada perbedaan sangat signifikan antara stasiun I dengan stasiun III— tempat banyak ditemukan limbah tailling—dengan kenaikan nilai kadar merkuri pada daun baik di Pelangan-Selindungan (tujuh kali lipat), Tembowong–Gawah Pudak (8-169 kali lipat), Tawun (dua kali lipat), Blongas (4-41 kali lipat), maupun Selodong (38-45 kali lipat).

Penelitian yang pernah diseminarkan di Hotel Grand Legi Mataram ini juga menyebutkan, kandungan merkuri di lumpur quarry sudah sangat tinggi di empat daerah kajian, yaitu, Pelangan-Selindungan, Tembowong–Gawah Pudak, Tawun dan Selodong.

Masih dalam penelitian itu disebutkan, kadar merkuri dalam air sungai mencapai nilai ambang batas (NAB) yang disyaratkan WHO, yaitu 0,001 ppm. Pada Sungai Tembowong Gawah-Pudak, Selodong dan Pelangan masih 1xNAB, Sungai Pelangan-Selindungan 3xNAB, dan Sungai Blongas 6xNAB.

Kalau ditinjau dari nilai oksigen terlarut dalam air (DO), secara keseluruhan kualitas air sungai sudah kritis, DO mendekati angka empat, di bawah angka ini perairan sungai dapat dikatakan tercemar berat.

Dalam penelitian itu disebutkan kisaran nilai DO pada Sungai Pelangan-Selindungan, Tembowong Gawah-Pudak, Tawun, dan Selodong berturut-turut adalah 3,47 sampai 4,70, 2,4 sampai 5,01, 4,11 sampai 5,13, dan 2,29 sampai 5,84. Kondisi parah terdapat pada stasiun IV Tawun-Gawah Pudak dan stasiun V Selodong.

Di arah Muara Sungai Blongas, terindikasi ada penutupan pasir, yang khawatir meningkatkan pencemaran di stasiun itu.

Hasil penelitian itu juga menyebutkan, pola penyebaran kadar merkuri tertinggi di perairan sungai berada di kawasan tengah, yakni, Selodong stasiun III, Blongas stasiun II dan Pelangan-Selindungan stasiun II.

Kemudian lima jenis ikan gelodok di lokasi pengamatan, yaitu, Periopthalmus sp., Apocrytes sp., Baeophthalmus sp., Calamiana sp. dan salah satu jenis anggota sub famili Sicidiinae.

Kadar merkuri tertinggi pada gelodok di Muara Sungai Blongas (2,071 ppm) dan kadar terendah di Muara Sungai Selodong (0,004 ppm). Kadar merkuri pada gelodok dipengaruhi oleh tertutup atau terbukanya muara sungai.

Hasil penelitian itu membuat pro kontra di masyarakat. Upaya sosialisasi dan penertiban pemerintah bersama aparat tak mempan. Penambang tetap banyak, baru berkurang ketika terjadi kecelakaan.

Ada juga penelitian oleh Lale Bidasari, Alfina Taurida Alydrus, dan Kasnawi Al Hadi dari Jurusan Fisika Fakultas MIPA Universitas Mataram. Penelitian itu , menyebutkan limbah merkuri di Desa Pelangan Kecamatan Sekotong berada di kedalaman 1,25 meter – 19,8 meter. Dari hasil penelitian mereka ditemukan juga arah pergerakan limbah merkuri dari barat menuju timur.

Pada 2017, penelitian oleh Filsa Era Sativa, Agil Al Idrus, dan Gito Hadiprayitno soal kandungan merkuri (Hg) dan mangan (Mn) pada Pilsbryoconcha exilis dan sedimen di Sungai Pelangan.

Hasil analisis kandungan Hg pada Pilsbryoconcha exilis menunjukkan, Hg tertinggi pada spesies Pilsbryoconcha exilis yang terdapat di stasiun III dengan nilai 0.623 mg/kg dan nilai terendah terdapat pada stasiun I sebesar 0.039 mg/kg. Spesies pada stasiun III memiliki nilai di atas batas aman Hg pada moluska.

Nilai kandungan mangan pada penelitian menunjukkan, spesies tertinggi terdapat pada stsiun III dengan nilai 38.52 mg perkg dan terendah stasiun I dengan nilai 12.9 mg perkg. Rata-rata kandungan Hg dan Mn sedimen teringgi, pada stasiun III dengan nilai masing-masing 1.9 mg perkg dan 234.46 mg perkg.

 

Seorang penambang emas dari Lombok yang mencari emas di Sumbawa (Ropang) menunjukkan merkuri yang dipakai dalam pengolahan emas. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Perhatian pemerintah kembali terarah ke Sekotong ketika BaliFokus/Nexus3 mempublikasikan hasil penelitian mereka. Tak sekadar merilis kandungan merkuri di perairan Sekotong, Nexus3 juga merilir, merkuri berdampak pada masyarakat Sekotong.

Yuyun Ismawati dari Nexus3 menjelaskan, penelitian pada 20-an lokasi, baik penelitian awal maupun intensif. Ada yang sudah publikasi ada yang tidak karena data kurang valid, atau tidak ada sumber.

Nexus3  studi di berbagai daerah seperti di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulwesi Utara, Banten, Jawa Tengah, NTB dan Maluku.

Yuyun melibatkan tim terdiri dari dokter-dokter dari Universitas Mataram, ahli emisi dan pencemaran udara dari ITB, ada ahli hukum lingkungan dari ICEL dan CRPG. Ada juga kawan-kawan ahli dari luar negeri. Dengan komposisi tim lengkap, Nexus3 menjamin hasil riset mereka valid.

Hasil riset Nexus3 ini juga tak jauh berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hanya, publikasi Nexus3 jadi polemik karena menyebutkan sudah ada korban pencemaran.

Publikasi Nexus3 ini berjudul, “Dugaan keracunan merkuri di tiga lokasi pertambangan emas skala kecil (PESK) di Indonesia, Bombana-Sulawesi Tenggara, Sekotong-Lombok Barat, dan Cisitu-Lebak 16 Februari-6 Maret 2015.” Penelitian itu menyimpulkan, terjadi pencemaran di Sekotong.

Disebutkan, tambang Sekotong berlangsung 10 tahun dan pakai merkuri lebih dari 70 ton per tahun. Dalam 10 tahun terakhir, proses ekstraksi emas pindah ke desa dan menjamur di wilayah permukiman. Jumlah penduduk wilayah Sekotong, dengan praktik penambangan emas tersebar sekitar 40.000 orang. Hampir 50% populasi terlibat dalam kegiatan yang berhubungan penambangan dan pengolahan emas.

Di Sekotong, Lombok Barat, konsentrasi merkuri tertinggi di udara yang penelitian itu dapatkan, 54,931.84 ng/m3, terendah 121,77 ng/m3. Di depan salah satu rumah terdapat gelondong beroperasi konsentrasi merkuri di udara sekitar 20,891.93ng/m3, di sebelah rumah orang yang diduga keracunan merkuri.

Temuan awal Nexus3 selama tiga pekan di lapangan, anak usia tiga tahun, Zs dari Sekotong menderita kaki pengkor disebut juga congenital talipes. Ini semacam kelainan bawaan yang melibatkan satu kaki atau keduanya. Kaki yang terkena tampak terputar secara internal di bagian pergelangan kaki. Rz, bocah tujuh tahun, menderita katarak mata. Ada temuan warga yang diduga terdampak merkuri inilah, rilis Nexus3 memantik respon di Lombok.

Nurhandini Eka Dewi, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB mengatakan, Dinas Kesehatan provinsi dan Dinas Kesehatan Lombok Barat, tetap memantau kondisi di Sekotong.

Dia mengakui, pernah ada riset dari Universitas Indonesia (UI) tentang gejala yang diduga dampak pencemaran merkuri terjadi di Sumbawa. Dari Dinas Kesehatan Lombok Barat menyatakan, belum ada temuan terdampak merkuri.

Untuk antisipasi, Dinas Kesehatan melakukan penjaringan kasus yang dicurigai menderita gangguan kesehatan akibat merkuri lalu skrening pada terduga terdampak. Dinas Kesehatan juga penyuluhan tentang dampak merkuri kepada masyarakat di daerah tambang. Juga, advokasi kepada camat dan kades terkait upaya meminimalisir dampak pencemaran merkuri.

Dinas kesehatan, katanya, juga menggelar pelatihan bagi dokter, perawat dan bidan Puskesmas Sekotong dan pelangan tentang cara skrening gejala keracunan merkuri.

Sosialisasi internal kepada kepala Puskesmas dan dokter Puskesmas tentang dampak pencemaran merkuri terhadap kesehatan dan hasil penelitian Nexus3/Balifokus.

“Dinas Kesehatan bakti sosial untuk penyebaran imformasi tentang dampak pencemaran merkuri, pemeriksaan dan pengobatan gratis kepada masyarakat di wilayah tambang. Termasuk juga advokasi kepada Pemda Lobar dalam pengendalian perdagangan merkuri,’’ katanya.

Kondisi Sekotong, katanya, kini lebih baik dibandingkan 10 tahun silam. Aktivitas penambangan maupun penggunaan merkuri berkurang. Peredaran sudah dibatasi. Dinas Kesehatan, katanya, juga melihat kondisi kesehatan masyarakat.

“Masyarakat mulai menyadari dampak penggunaan merkuri terhadap kesehatan. Saat ini, kepemilikan gelondongan jauh berkurang dibandingkan 5-10 tahun lalu,’’ katanya. (Bersambung)

 

 

Keterangan foto utama: Para buruh sedang menggali lubang di lokasi baru di Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Para buruh ini berbagi keuntungan dengan pemodal. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version