Mongabay.co.id

Kebahagiaan Keluarga, Keamanan Warga Terenggut Kabut Asap Karhutla

Bayi Evan dan Yani lahir dengan berat 2,8 kilogram dan panjang 48 sentimeter. Bayi ini meninggal setelah tiga hari menghirup asap beracun dari karhutla. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Senin (16/9/19), pukul 16.50, adalah hari bahagia Evan Zendrato dan Lasma Yani Zega. Bayi yang mereka idam-idamkan lahir dengan selamat dan sehat. Laki-laki mungil itu seberat 2,8 kilogram dan panjang 48 sentimeter. Pasangan muda itu menghabiskan kebahagiaan dengan bayi pertamanya semalaman di Bidan Praktik Mandiri Kristina Br Siagian, Kelurah Kulim, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru, Riau.

Dalam pekan itu, kabut asap tebal menyelimuti. Indeks Standar Pencemaran Udara PM 10 di Pekabbaru dan sekitar, berkisar 400-900.

Keesokan hari, sekitar pukul 10.00, suami-istri itu memboyong bayi mereka meninggalkan tempat persalinan, kembali ke rumah para karyawan di belakang gudang karton dan kertas bekas, CV Cipta Buana. Evan Zendrato kerja di situ sejak 2017.

Hanya satu malam Evan dan Yani—panggilan pasangan suami-istri—bahagia atas kehadiran sang buah hati, Rabu siang, mereka mulai cemas.

Bayi mendadak demam tinggi, muntah-muntah dan mengeluarkan lendir dari hidung. Bayi itu menangis, seperti susah bernapas.

Bidan Kristina yang hanya puluhan meter dari tempat tinggal Evan langsung datang dengan steteskop dan pengukur suhu tubuh. Panas bayi mungil itu sampai 40 derajat. Bidan Kristina memberi kompres dan parasetamol. Perlahan, suhu tubuh bayi mulai turun. Demam mulai reda.

Kecemasan Evan dan Yani, reda. Beberapa orang dari gereja datang ke tempatnya. Kedatangan keluarga, sahabat dan tetangga terdekat menambah kebahagian pasangan suami-istri itu. Mereka menyambut kelahiran bayi dan beri doa bersama.

Lagi-lagi kebahagiaan itu tak bertahan lama setelah orang-orang berangsur pergi ketika matahari hendak terbenam. Evan spontan melempar piring nasinya saat Yani melihat tubuh bayi yang dia gendong membiru. Bayi itu menangis. Badan kembali panas dan susah bernapas.

Bidan Kristina menganjurkan, dibawa ke Rumah Sakit Syafira, Jalan Sudirman dengan mobil pribadinya. Sekitar pukul 8.00 malam mereka bertolak. Bayi dibawa tanpa oksigen. Bidan Kristina merasa bayi sudah tak bernapas ketika mobil mereka masuk di Jalan Pesantren.

Evan beberapa kali memastikan kondisi bayinya ke Bidan Kristina yang duduk di belakang.

 

Bayi meninggal dunia. Dokter bilang, bayi meninggal karena terkena asap karbhutla. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sampai di rumah sakit, tak banyak yang dapat dilakukan dokter. Bayi mungil itu meninggalkan orangtuanya setelah mendapat belaian dan kasih sayang hanya dalam tiga hari. Dokter bilang, ada virus dari asap kebakaran hutan dan lahan masuk dalam tubuh bayi yang menggangu saluran pernapasan atas dan bawah.

Evan tak kuasa mendengar kabar kematian bayinya. Waktu menunjukkan lewat pukul 10.00 malam. Mereka kembali ke rumah dengan hati hancur dan air mata.

Paginya, para sahabat, handai taulan dan keluarga silih berganti datang ke rumah Evan dan Yani. Kali ini, dalam suasana duka. Peti kecil untuk rumah baru sang bayi disiapkan. Pukul 13.00, Evan meletakkan bayinya ke rumah kecil itu di sana.

Doa-doa dipanjatkan. Peti kecil itupun diangkut ke pemakaman oleh sang paman. Orang-orang terdekat turut mengiringi kepergian sang bayi dan mengantar ke tempat peristirahatan. Yani hanya dapat meratap seraya hendak menggapai anaknya, tak rela sang bayi pergi.

Tepat pukul 13.30, bayi belum bernama itupun lenyap dari pandangan orang-orang yang mengantar.

Bayi Evan dan Yani, bukanlah satu-satunya korban asap. Hanya, keluarga korban lain tak berkenan berita kematian itu disampaikan ke muka umum.

Agustus lalu, pria 59 tahun, ditemukan tak bernyawa di kebunnya di Rimbo Panjang, Kampar, yang saban pagi diselimuti asap. Anak korban menolak ayahnya divisum.

Di Desa Sungai Lala, Kecamatan Sungai Lala, Kabupaten Indragiri Hulu, bayi lima bulan juga meninggal setelah demam tinggi dan sesak napas, Kamis (19/9/19). Luas kebakaran di kabupaten itu 762.6 hektar.

Asap makin pekat karena dua kabupaten yang berbatasan dengan Indragiri Hulu juga dilanda karhutla. Indragiri Hilir 1.014.35 hektar dan Pelalawan 440.2 hektar.

Paruh September, sudah 29.528 korban ISPA asap karhutla, melebihi Agustus. Dinas Kesehatan Riau mencatat, 309.883 korban asap sepanjang 2019. Mereka terkena infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), iritasi mata, kulit, pusing, muntah-muntah bahkan ada yang pingsan.

Pulang dari Thailand, Gubernur Syamsuar langsung instruksikan Dinas Kesehatan Riau buka posko kesehatan dan rumah singgah bagi warga terdampak asap karhutla. Pada 23 September 2019, gubernur tetapkan Riau darurat pencemaran udara.

Di Pekanbaru, posko tersebar di beberapa titik. Di Jalan Sudirman: Aula Dinas Sosial, Aula Bappenda, Aula Dinas Perhubungan dan Mal Pelayanan Terpadu Pekanbaru.

Jalan HR Soebrantas: Aula Rumah Sakit Jiwa Tampan dan UPT Bapelkes. Kemudian, di Aula Dinas Kesehatan Riau Jalan Cut Nyak Dien III, Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus Jalan Sekolah Rumbai, Aula Dinas PUPR Jalan SM Amin serta UPT Industri Pangan, Olahan dan Kemasan Dinas Perindustrian Riau Jalan Hangtuah Ujung Kulim.

 

Posko kesehatan PKS Riau menampung warga termasuk anak-anak yang terpapar asap. Mereka datang dengan keluhan sesak nafas, flu dan batuk. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Rumah jabatan Asisten II, III dan Bappeda di Jalan Gajah Mada juga jadi posko dan rumah singgah. Termasuk rumah jabatan Kepala Dinas Sosial di Jalan Diponegoro. Semua baru beroperasi ketika Jokowi hendak datang ke Pekanbaru. Posko menyediakan obat batuk, flu, radang tenggorokan, oksigen dan beberapa kasur.

Tiap hari, Posko kesehatan dan rumah singgah di Rumah Sakit Jiwa Tampan melayani puluhan orang yang berobat karena menghirup asap. Sempat ada yang menginap semalam di aula yang disediakan kasur dan wahana bermain anak-anak. Dari catatan buku petugas, ada enam orang yang baru saja meninggalkan aula.

Rumah singgah di Aula Dinas PUPR Riau juga sepi. Hanya ada beberapa orang datang periksa kesehatan. Petugas di sana berjaga 24 jam. Kebanyakan pegawai Dinas Kesehatan Riau dan seorang dokter. Warga datang mengeluh sesak napas, batuk dan tensi yang sudah berobat beberapa hari namun tak kunjung sembuh.

Keluhan serupa juga diterima petugas Balai Pelatihan Kesehatan (Bapelkes) Dinas Kesehatan Riau. Beberapa warga terdampak asap parah dan membutuhkan penanganan lebih langsung dirujuk ke Puskesmas terdekat. Bapelkes hanya beroperasi hingga pukul 9.00 malam. Mereka juga menyediakan fasilitas kesehatan untuk korban asap termasuk alas tidur untuk istirahat.

Menteri Kesehatan dan pemerintah daerah wajib buka posko kesehatan, sesuai pokok-pokok kesepakatan perdamaian hasil gugatan warga negara, melawan Pemerintah Republik Indonesia, Mei 2016.

Kesepakatannya, pemerintah lewat Gubernur Riau memperkuat fasilitas pelayanan korban kebakaran hutan dan lahan, antara lain, menyediakan unit pelayanan paru di rumah sakit pusat rujukan provinsi dan kabupaten atau kota. Menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar.

Juga, membuat tempat evakuasi kalau ISPU melebihi 400, bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan menyediakan posko darurat di pelabuhan laut, bandar udara serta penyediaan rumah-rumah oksigen. Terakhir, pemerintah membebaskan biaya pengobatan masyarakat terdampak asap.

DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Riau juga buka posko kesehatan di Markaz Dakwahnya, Jalan Soekarno Hatta, Pekanbaru, sejak Jumat (13/9/19). Selama empat hari beroperasi, tercatat 436 orang berobat.

Ada juga yang jadi pasien inap. Terdiri dari: dua orang lansia, dewasa 41 orang, anak-anak 49 orang dan 27 orang balita. Mereka tinggal dalam ruangan steril asap dilengkapi pendingan dan penjernih udara. Konsumsi juga dilayani tanpa biaya.

Kian hari kapasitas posko mulai tak menampung pengungsi. Fasilitas yang tersediapun terpakai semua. Dibanding pengungsi asap 2015 lalu, tahun ini jumlah lebih banyak empat kali lipat. Lembaga-lembaga lain turut bantu kekurangan perlengkapan tidur.

Selain menyediakan obat-obatan, posko kesehatan PKS juga memiliki perawat, opoteker, dokter spesialis paru dan enam dokter umum. Semua relawan yang bekerja 24 jam dengan pembagian waktu. “ Mereka siap dipanggil jam berapapun,” kata Susilo, Kepala Posko.

Tak hanya itu, pasien juga diberi penyuluhan cara membersihkan hidung dari dampak menghirup asap oleh dokter spesialis tenggorokan, hidung dan telinga. Anak-anak dihibur dengan dongeng oleh komunitas kampung dongeng.

Pasien yang datang rata-rata mengeluh karena ISPA, batuk, sesak napas dan muntah-muntah. Relawan posko merujuk seorang bayi yang belum genap satu bulan ke UGD Awal Bros karena muntah-muntah dan mengeluarkan cairan dari hidung.

Susi, datang ke posko kesehatan PKS, Selasa (17/9/19), pukul 10 malam dalam keadaan hamil tua dan tinggal menunggu hari kelahiran bayi pertamanya. Susi sudah beberapa hari sesak napas di rumah.

Karena bayi dalam perut tidak bergerak sejak pukul 3.00-21.00 malam, Susi diboyong suami mengungsi. Susi diberi oksigen sekitar satu jam dan bayi kembali menunjukkan tanda-tanda aktif.

“Saya trauma. Lima tahun lalu saya keguguran juga karena asap parah,” kata Susi. Dia dan suami tinggal di Rumbai.

Berdasarkan pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kualitas udara di sana selama September ini dalam level berbahaya. ISPU bahkan sempat menyentuh 1.000 lebih.

Nila, adik Susi juga mengandung empat bulan. Dia datang ke posko kesehatan PKS, Selasa pagi, bersama suami dan anak pertamanya. Tinggal di belakang Transmart Pekanbaru, Nila tak nyaman bernapas dan batuk-batuk. Perutnya tegang dan keram. Kata dokter, bayinya kekurangan oksigen.

Pengungsi lain, Novi bersama suami dan dua anaknya sudah nginap sejak hari pertama posko kesehatan PKS dibuka. Novi datang tengah malam karena bayi sesak napas. Bahkan sekeluarga mengeluh batuk, flu dan tak nyaman bernapas.

Mereka tinggal di Jalan Garuda Sakti, Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Tampan. Seminggu sebelum mengungsi, Bayi Novi sudah sempat diperiksa dokter di Rumah Sakit Annisa. Batuk tak sembuh-sembuh. Kata dokter, bayi kena ISPA.

 

Kabut asap di Pekanbaru, 20 September lalu. Foto: Riko Kurniawan, Walhi Riau

 

Hujan mulai turun

Sejak 23 September 2019, hujan mulai menguyur wilayah-wilayah Sumatera dan Kalimantan. Pantauan data hujan dalam 24 jam terakhir hujan terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Agus Wibowo, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB mengatakan, hujan turun tadi membantu pengurangan titik panas (hotspot) di Indonesia Rabu (25/9/19).

Data BNPB mencatat hotspot turun, Senin lalu (23/9/19) ada 3.150 titik, Selasa tinggal 1.982 titik dan Rabu (25/9/19) jadi 1.744 titik.

 

Darurat asap

Pada 24 September 2019, Koalisi Indonesia Bergerak terdiri dari Walhi, Kemitraan, Perkumpulan HuMA , MDMC Muhammadyah, HFI, Rumah Zakat dan Institut Hijau Indonesia, mengeluarkan pernyatan sikap. Mereka khawtir terhadap kabut asap karhutla yang sudah membahayakan warga di Kalimantan dan Sumatera.

“Kabut asap yang dihirup warga di sebagian Sumatera dan Kalimantan telah menghilangkan hak paling dasar dari keberadaan manusia yaitu bernapas dengan aman dan nyaman,” bunyi pernyataan bersama itu.

Mereka nilai, kabut asap berulang dari tahun ke tahun membuktikan kegagalan negara mengelola sumber daya alam, dan kegagalan mengurus warga negara yang seharusnya dilindungi kehidupan dan keselamatannya. “Berlarutnya penanganan kabut asap ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah mengantisipasi kejadian berulang pembakaran hutan dan lahan, yang seharusnya bisa diduga sebelumnya.”

Koalisi pun menyerukan kondisi darurat kemanusiaan di Indonesia. Mereka menyerukan berbagai jajaran pemerintah baik pusat maupun daerah melakukan hal-hal sebagai berikut, pertama, pemerintah baik pusat maupun daerah memberikan perlindungan optimal terhadap para pemadam api di lapangan. Mereka bekerja keras memadamkan api dengan menghadapi berbagai risiko kesehatan dan keselamatan jiwa.

Kedua, Menteri Dalam Negeri memerintahkan pemerintah di provinsi maupun kabupaten membuka kantor-kantor dan gedung-gedung pemerintahan seperti desa atau kelurahan, kecamatan, dinas dan UPT sebagai tempat evakuasi dan rumah aman steril dari gangguan asap. Tempat itu juga dilengkapi oksigen dan pemurni udara bagi para korban dan kelompok rentan.

Ketiga, Menteri Kesehatan memerintahkan agar memberikan akses pengobatan gratis bagi para korban di semua rumah sakit dan puskesmas di berbagai tingkatan desa atau kelurahan, kecamatan, maupun kabupaten dan kota. Juga bantuan tabung oksigen, masker, bagi kantor-kantor yang jadi rumah aman.

Keempat, Menteri Sosial untuk membangun rumah aman dan rumah oksigen di berbagai wilayah terutama bagi warga yang jauh dari akses gedung pemerintahan maupun dari puskesmas. Juga bagi kelompok-kelompok masyarakat rentan, seperti balita, anak-anak, perempuan hamil serta orang lanjut usia.

Guna mengantisipasi kabut asap di masa depan, dan memberikan efek jera bagi pelaku usaha melanggar, koalisi juga menyerukan, pertama, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang kejahatan lingkungan hidup untuk menghentikan operasi kejahatan pelaku usaha yang selama ini tidak mengenal kata jera.

Kedua, Menteri Agraria, Tata Ruang/Kepala BPN segera mengidentifikasi lokasi perkebunan terbakar dan mencabut hak guna usaha (HGU) dan membuka akses data HGU kepada publik .

Ketiga, Menteri Pertanian segera mengeluarkan rekomendasi pencabutan izin usaha perkebunan (IUP) dan HGU wilayah-wilayah terbakar.

Keempat, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin hutan tanaman industri. Kelima, kepolisian memanggil dan memeriksa pimpinan perusahaan yang wilayah ada titik api.

Keenam, DPR 2014-2019 agar menghentikan pembahasan rancangan Undang-undang yang berpotensi melanggengkan praktik buruk perusahaan penyebab terbakarnya hutan dan lahan, kabut asap, serta eksploitasi sumber daya alam, seperti RUU Pertanahan, RUU Perkelapasawitan, RUU Minerba, RUU Sumber Daya Air, dan lain-lain.

Ketujuh, membangun koordinasi inklusif dan membuka seluas-luasnya akses informasi bagi masyarakat sipil untuk berkontribusi dalam memberikan dukungan layanan kemanusiaan bagi warga terdampak.

Delapan, mendorong lembaga usaha terutama perhotelan untuk membuka ballroom sebagai tempat evakuasi bagi kelompok rentan.

 

Keterangan foto utama: Bayi Evan dan Yani lahir dengan berat 2,8 kilogram dan panjang 48 sentimeter. Bayi ini meninggal setelah tiga hari menghirup asap beracun dari karhutla. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Warga pekanbaru datang ke rumah singgah dampak kabut asap di Aula Dinas PUPR Riau rata-rata mengeluh pusing, mual, batuk dan sesak nafas. Ada yang meningkat tensinya selama asap. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version