Mongabay.co.id

Kebakaran Berulang di Perusahaan Sawit dan Bubur Kertas Masih Minim Sanksi

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

 

 

 

 

Indonesia alami kebakaran hutan dan lahan parah pada 2015. Empat tahun setelah itu, karhutla parah berulang termasuk di konsesi perusahaan baik sawit maupun hutan tanaman industri. Kini Sejak beberapa pekan lalu, ratusan ribu warga di Kalimantan, Sumatera, bahkan sebagian Sulawesi, terpaksa menghirup napas tak sehat bahkan berbahaya. Greenpeace Indonesia menganalisa ada konsesi, baik perkebunan sawit maupun perkebunan bubur kertas dengan lahan terbakar pada 2015-2018, masih terindikasi titik api dengan level tinggi tahun ini.

Berdasarkan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Greenpeace menganalisis, pemetaan sejumlah perusahaan sawit maupun bubur kertas yang karhutla periode 2015-2018, lolos dari sanksi serius pemerintah.

“Hampir tak ada perusahaan sawit dan bubur kertas yang konsesi terbakar dihukum tegas dengan diberikan sanksi pemerintah. Meski, terjadi kebakaran berulang di konsesi sama,” kata Kiki Taufik, Juru Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, di Jakarta, pekan lalu.

Analisa pemetaan Greenpeace memperlihatkan, ada 10 perusahaan sawit yang memiliki lahan terbakar terbesar karhutla 2015-2018, belum mendapatkan sanksi serius. Bahkan, belum ada pencabutan satupun izin konsesi di lahan itu.

”Hal ini menandakan pemerintah tak serius penegakan hukum, padahal ini sering jadi alasan utama mengapa karhutla terjadi setiap tahun,” katanya.

Perusahaan-perusahaan itu, katanya, tak mendapatkan sanksi, administratif maupun perdata. Tahun ini, tercatat titik api muncul lagi di konsesi sama.

Dia contohkan, PT Globalindo Agung Lestari, Kalimantan Tengah, titik api tertinggi tahun ini sampai 297 titik. Perusahaan yang tergabung dalam Grup Genting ini merupakan kelompok dalam 10 konsesi terbesar terbakar pada 2015-2018, luas sampai 5.000 hektar.

”Grup Genting juga memiliki titik api tertinggi tahun ini, 434 titik dibandingkan grup perusahaan sawit dengan area kebakaran terbesar kurun waktu 2015-2018,” katanya.

 

Kebakaran di lahan gambut di Desa Muara Medak, Muba, Sumsel, sebagian besar berada di kubah gambut. Sebagian lahan negara ini juga dirambah untuk dijadikan kebun sawit. Foto: HaKI

 

Berdasarkan surat jawaban kepada Greenpeace, Genting Group melalui Genting Plantations Berhad berkomitmen, membuka lahan tanpa membakar dengan penerapan kebijakan tanpa bakar. Upaya ini mereka perkuat sebagai komitmen anggota RSPO sejak 2006.

Grup ini menampik, berdasarkan peta KLHK di wilayah konsesi mereka tak ada area terbakar signifikan. “Area terbakar umumnya di luar konsesi. Ini sebanding dengan data internal 2016-2018, untuk PT Globalindo Agung Lestari selama tiga tahun ada area tanam terbakar 6,8 hektar. Di area terbakar di milik masyarakat 203 hektar,” bunyi pernyataan perusahaan.

Dari investigasi, penyebab kebakaran di areal tanam tak diketahui atau berasal dari areal masyarakat yang membuka lahan untuk tanaman pangan.

Ada juga PT Dendymarker Indah Lestari (DIL) di Sumatra Selatan, titik api tertinggi kedua tahun ini, ada 182 titik api. Total luas kebakaran lahan pada 2015-2018 mencapai 5.400 hektar.

Sander Van Den Ende, Direktur Regional Lingkungan dan Konservasi SIPEF, perusahaan yang mengakuisisi DIL pada 2017 mengatakan, dalam catatan uji tuntas perusahaan ada 4.817 hektar terbakar pada 2015 di konsesi mereka.

”Ini subyek yang mendapatkan sanksi dari polisi dan diselesaikan oleh pemilik sebelumnya bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Ende.

Sejak akuisisi 2017, SIPEF terus pemantauan dan tak pernah gunakan api sebagai bagian dari operasi pembukaan lahan. Pada 2019 banyak titik api, dia bilang akan lakukan pengawasan dan cek oleh staf lapangan. Kalau menemukan api, mereka akan memadamkan api dan membuat laporan polisi.

Ada juga PT Monrad Intan Barakat (MIB) di Kalimantan Selatan, ditemukan 103 titik api. Luas terbakar sejak 2015-2018 mencapai 8.100 hektar.

Dari 12 grup perusahaan sawit yang terbukti karhutla 2015-2018, hanya dua mendapatkan sanksi. ”Hanya dua dari 12 grup perusahaan dengan luas terbakar terbesar konsesi 2015-2018 yang dijatuhi sanksi perdata dan administrasi pemerintah,” kata Kiki.

Dia sebutkan, perusahaan yang kena sanksi hanya kebun HTI Korindo, dan PT Korintiga Hutani, namun bukan atas kebakaran dalam konsesi sawit mereka.

Berdasarkan grup perusahaan sawit dengan area kebakaran terbesar pada 2015-2018, yakni, Grup Sungai Budi (Tunas Baru Lampung) 16.500 hektar, Bakrie 16.500 hektar, Best Agro Plantation 13.700 hektar, Lippo 13.000 hektar, dan Korindo 11.500 hektar.

Korindo mengatakan, setelah analisis terhadap peta kebakaran hutan, sejak 2016-2018, tak terjadi kebakaran di lahan mereka.

“Sejak awal Januari 2019 sampai dengan saat ini juga tak pernah terjadi kebakaran lahan di perkebunan sawit Korindo di Papua,” tulis penyataan Korindo.

Perusahaan sawit di bawah naungan Grup Korindo, PT Dongin Prabhawa, seluas 5.200 hektar terbakar dalam kurun waktu 2015-2018. Bahkan, sejak awal tahun, tak ada kebakaran.

“Korindo Group menerapkan dan melaksanakan program pengendalian dan penanggulangan kebakaran di perkebunan perusahaan secara konsisten dan penuh tanggung jawag.”

Kiki mengatakan, tak ada satupun izin perusahaan sawit dicabut oleh pemerintah terkait karhutla 2015 hingga 2018, kecuali tiga perusahaan HTI, yakni PT Hutani Sola Lestari (Riau), PT Mega Alam Sentosa (Kalimantan Barat) dan PT Dyera Hutan Lestari (Jambi).

”Tiga perusahaan ini tak masuk peringkat 10 teratas burnscar terluas dari 2015-2018,” kata Rusmadia Maharudin, Jurukampanye Hutan Greenpeace.

 

Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

 

3,4 juta hektar terbakar

Dari analisis Greenpeace, luas kebakaran pada 2015-2018, mencapai 3.403.000 hektar. Pada 2015, lebih dari 2, 6 juta hektar lahan kebakaran. Greenpeace menyebut, sebagai salah satu bencana lingkungan hidup terbesar abad ke-21.

Dalam Undang-undang Indonesia, menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak kepada perusahaan sehubungan dengan kebakaran hutan, yang diatur dalam UU Kehutanan Nomor 41/1999 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32/2009.

Jadi, perusahaan yang bergerak pada sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan, bertanggung jawab secara hukum atas setiap kebakaran di lahan mereka, terlepas sumber api dari mana.

Greenpeace Indonesia bersama Save Our Borneo dan berbagai elemen masyarakat membentangkan spanduk di Jembatan Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu lalu (22/9/19). ”Pak Jokowi Padamkan Kebakaran Hutan, Jangan KPK” dan ”Pak Jokowi Tegakkan Hukum Untuk Cegah Karhutla.” Begitu bunyi spanduk itu.

 

Serius tegakkan hukum

KLHK merasa telah tegakkan hukum serius dan timbulkan efek jera. ”Sejak 2015, penegakan hukum sangat serius oleh KLHK terkait karhutla baik melaui administratif, perdata dan pidana,” kata Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum, KLHK kepada Mongabay.

Dia bilang, Greenpeace perlu melihat dalam perspektif luas menilai penegakan hukum KLHK. ”Kami melihat penegakan hukum sejak 2015 mempunyai pengaruh terhadap kepatuhan perusahaan. Memang perlu ditingkatkan terutama terkait penguatan efek jera dan perluasan penindakan,” katanya.

Pada 2015, KLHK memberikan sanksi kepada 64 perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan, baik paksaan perintah untuk memperbaiki, pembekuan maupun pencabutan izin.

“Penegakan hukum administratif kita lakukan sejak 2015. Kita juga gugatan perdata terhadap 17 korporasi yang lahan terbakar, sembilan sudah berkeputusan tetap, lima berproses di pengadilan dan tiga sedang masuk gugatan ke pengadilan, empat perusahaan dipidana oleh penyidik KLHK,” kata Roy, sapaan akrabnya.

Begitu juga karhutla tahun ini. KLHK, katanya, telah menyegel 62 area korporasi terbakar, delapan korporasi sudah jadi tersangka.

Dalam laman Facebook Roy, Sabtu (28/9/19), Dirjen Penegakan Hukum, KLHK penyegelan lokasi terbakar PT. Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) di Muaro Jambi sekitar 1.200 hektar.

“Kami akan menindak tegas RKK karena terbakar lagi, baik melalui sanksi administratif, perdata dan pidana. Tahun 2015, di RKK terbakar seluas 591 hektar dan RKK diputuskan bersalah oleh Mahakaha Agung membayar ganti rugi dan biaya pemulihan Rp192 miliar.”

Ke depan, kata Roy, KLHK terus meningkatkan efek jera dengan penerapan pasal-pasal terkait pidana karhutla termasuk perampasan keuntungan dan pelibatan pemerintah daerah untuk memperluas cakupan wilayah kerja penegakan hukum karhutla.

 

Konsesi perusahaan sawit yang terbakar di Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Luas kebakaran seukuran Singapura

Rusmadia Maharudin mengatakan, konsesi Sinar Mas atau Asia Pulp and Paper (APP) dalam 2015-2018, terbakar melebihi luas Singapura, yakni, PT Bumi Andalas Permai sekitar 81.000 hektar.

“Area kebakaran terbesar di seluruh dunia, konsesi ini hanya menerima sanksi perdata dan sanksi administrasi sangat ringan,” katanya.

Sanksi administrasi, antara lain, penanaman kembali di area terbakar alias hanya rehabilitasi. ”Padahal terbakar seluas Singapura, namun tak ada kompensasi lain yang seharusnya mereka bayar.”

Luasan kebakaran terbesar dalam 2015-2018, Grup Sinar Mas (APP, pemasok dan afiliasi) total 257.900 hektar dengan 10 sanksi perdata dan administrasi, diikuti Perhutani (Inhutani) 89.800 hektar kena dua sanksi, Royal Golden Eagle (RGE)–April, RAPP, pemasok dan afiliasi– seluas 55.600 hektar dengan 12 sanksi.

Analisa Greenpeace, grup Sinar Mas/APP memiliki konsesi terbakar setiap tahun dalam 2015-2018, hingga kini tak menerima sanksi perdata atau administrasi serius. Bahkan, tahun ini, terditeksi 234 titik api sampai 16 September 2019 di PT Arara Abadi, Riau. Perkiraan terbakar perusahaan ini pada 2015-2018 seluas 11.500 hektar.

Di Grup April/RGE ada dua konsesi terbakar setiap tahun sampai 2019, yakni, PT Sumatera Riang Lestari (SRL), luas 14.700 hektar (2015-2018) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL), Riau, 11.600 hektar.

SRL mendapatkan sanksi izin dibekukan sementara pada 2016 dan paksaan pemerintah pada 2017. Sedangkan, SSL saksi paksaan pemerintah pada 2016. Titik api tertinggi berada di konsesi SRL mencapai 483 titik, sedangkan SSSL delapan titik api.

”Kasus pidana SRL sempat dihentikan penyidikan pada 2016. KLHK baru-baru ini menyegel sebagian dari lahan perusahaan itu,” katanya.

Dalam tanggapan perusahaan, menyebutkan, luasan kebakaran hasil overlay dengan KLHK sudah dilaporkan kepada pemerintah, berbeda yang disebutkan Greenpeace, luas terbakar Grup RAPP (435 hektar), SRL (756,8 hektar), dan SSL (112,5 hektar).

April mengatakan, sejak 1 Juli-20 September 2019, perusahaan mendeklarasikan periode darurat kebakaran di semua konsesi di Riau. “Deklarasi ini kunci dari upaya perusahaan memperketat penggunaan api oleh pihak ketiga di lahan yang berisiko dan mendukung komitmen kami bekerja sama dengan pemerintah, pemegang konsesi lain dan masyarakat selama musim kemarau.”

 

 

Tim independen

Penegakan hukum kasus karhutla lemah, Kiki mendesak, pemerintah membentuk tim independen meninjau pengembangan dan proses penegakan hukum agar berjalan konsisten dan transparan.

Soal transparansi, KLHK juga harus merilis kepada publik semua rincian kasus baik perdata ataupun pidana kebakaran hutan. Keputusan Mahkamah Agung terhadap ATR/BPN pun mendesak dilakukan, seperti, membuka data hak guna usaha (HGU) untuk memudahkan publik atau masyarakat mengawasi perusahaan dalam pengelolaan konsesi.

“Pemerintah juga perlu segera menyita aset dan mencabut izin perusahaan yang belum membayar kompensasi atau tak mematuhi sanksi untuk menciptakan efek jera.”

Selain itu, perlu perlindungan total hutan dan lahan gambut. “Akhiri segera semua perluasan atau ekspansi perkebunan ke hutan dan lahan gambut. Lindungi semua gambut tersisa dengan peraturan kuat.”

 

Keterangan foto utama:  Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Exit mobile version