Mongabay.co.id

Pengakuan Hutan Adat Iban yang Tak Kunjung Datang

 

 

Langkah Nurma Irawati ringan. Belum terdengar deru nafasnya, meski sudah satu jam lebih berjalan menelusuri hutan masyarakat adat Dayak Iban. Masyarakat yang tinggal di sebuah rumah betang [rumah panjang], di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Jaraknya 71 kilometer, di utara Putussibau, Ibu Kota Kapuas Hulu. Nurma dan beberapa warga menemani Rhett Butler, pendiri Mongabay, Juni 2019 lalu. Rhett ingin melihat langsung hutan primer Sungai Utik.

Masyarakat Iban tak pernah bergeming dengan tawaran perusahaan kayu, sejak akhir 70-an. Begitu juga ketika perusahaan sawit hadir di Kapuas Hulu. Kegigihan masyarakat Iban telah diganjar berbagai penghargaan. Terbaru, komunitas ini mendapatkan penghargaan Equator Prize 2019, dari UNDP [United Nations Development Programme] di New York, Amerika Serikat, 24 September 2019. Mereka dipilih dari 847 nominasi [127 negara] karena kegigihannya menjaga hutan.

Baca: Masyarakat Adat Iban, Arif Menjaga Hutan Tapi Masih Menunggu Pengakuan Hak Tanah

 

Hutan adat seluas 9.453,5 hektar selalu dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Nurma adalah staf Rangkong Indonesia. Setahun ini dia bekerja di Kapuas Hulu. Awalnya, lantaran tugas kuliah. Kadung jatuh cinta dengan kehidupan masyarakat Utik yang dekat dengan alam, dia menerima tawaran dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak untuk pelestarian burung rangkong itu.

“Kalau beruntung, kita bisa dengar suaranya [enggang]. Oh, itu bukan,” cetus Nurma lulusan biologi di salah satu universitas di Bogor, Jawa Barat.

Identifikasinya terhadap tumbuhan di hutan ini pun tidak diragukan. “Ini namanya daun micin, rasanya seperti micin [vetsin], untuk penyedap rasa, tinggal diremas atau ditumbuk kasar,” ujarnya.

Nurma bilang, para pemantau burung rangkong harus berjalan merintis hutan sedikitnya 20 kilometer setiap hari. Tugasnya pengamatan. Suara burung ini bervariasi, tergantung jenisnya. Cukup keras. Bahkan, ketika hutan hening kepak sayap lebar si enggang bisa terdengar dari bawah.

AMAN Kalbar mencatat, total luasan hutan adat Iban di Sungai Utik mencapai 9.452,5 hektar. Dari jumlah itu, sekitar 6.000 hektar merupakan kawasan lindung. Selebihnya, hutan kelola masyarakat adat. Hingga kini, mereka terus berupaya mendapatkan pengakuan hutan adat dari pemerintah. Perjuangan yang sudah beberapa tahun dilakukan.

Baca: Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, Hutan Adalah Ibu

 

Sungai Utik yang airnya begitu bening dan segar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Rhett mengabadikan reptil, serta tumbuh-tumbuhan di hutan ini. Pemandangan alami yang menjadi alasan kuat penghilang letih. “Sebentar lagi kita sampai ke tujuan,” kata Nurma.

Pondok kayu di hamparan lahan terbuka telah menanti. Sungai berada di hadapan bangunan kayu ini. Airnya jernih bak kaca, menampakkan warna-warni bebatuan di dasarnya. Beberapa ikan tampak bersembunyi di antara batu. Di Pondok, terdapat sedikitnya enam warga Sungai Utik. Mereka sudah tiga hari di sini. Tugasnya mencari ikan untuk dimakan bersama dengan cara menebar jaring atau pakai tombak dan bubu.

Ikan yang didapat, disalai [diasapi]. Bumbunya hanya tumbuhan hutan, biasanya kecombrang, daun tubok, dan garam. “Lumayan, adalah sepuluh kilo,” tukas salah satu warga, ketika ditanya berapa banyak perolehan ikannya.

Melihat tutupan hutan yang rapat, Rhett berniat menerbangkan drone. “Biasanya suka dikejar elang,” kata Nurma.

Pesawat tanpa awak itu mengudara mulus. Tak berapa lama, penampakan di layar monitor muncul, rimbunnya pepohonan dengan gradasi warna hijau. Beberapa pohon terlihat kuning keemasaan atau merah marun. Di ketinggian 200 meter, pohon-pohon di sekitar pondok seperti brokoli. “Menakjubkan, ini hutan primer,” tukas Rhett, kagum.

Urusan drone selesai, giliran warga menyiapkan makanan. Ada ikan toman asap, sup ayam, serta ayam goreng bumbu kecombrang. Semua makan lahap. Warga Sungai Utik yang berburu pun bersiap pulang. Mereka tak lupa mengambil tumbuhan-tumbuhan hutan yang bisa dijadikan bumbu.

Baca juga: Pahlawan Konservasi: Wawancara dengan Rangkong Indonesia

 

Seorang perempuan Iban kembali ke Sungai Utik setelah mengumpulkan tumbuhan dan bahan obat dari hutan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menanti pengakuan

Di rumah betang, siang hari adalah waktu warga bercengkerama. Mereka duduk di ruai, ruang komunal di rumah betang. Sejatinya adalah serambi atau teras. Ruai ada dua bagian, luar dan dalam. Biasanya digunakan juga sebagai tempat perayaan adat, musyawarah, atau makan bersama. Karolus Malik Manehat, penghuni bilik nomor satu, adalah guru pertama yang mengajar di desa ini. Datang akhir 1970-an.

Asalnya dari timur Indonesia. Karolus beristri anak salah satu tumenggung, yang juga berprofesi guru. Meski telah pensiun, masih mengabdikan diri mengajar di sekolah dasar setempat. Karolus adalah salah satu konseptor, yang dipercaya warga Utik bernegosiasi dengan perusahaan kayu.

“Mereka datang ke sini, untuk minta masyarakat jual hutan. Masyarakat sengaja ajukan syarat yang memang sulit dipenuhi perusahaan,” kata Karolus.

Masyarakat mengizinkan perusahaan masuk, asal mendapatkan lahan pertanian siap tanam sebanyak kepala keluarga yang ada, juga dialirkan air bersih dari hulu Sungai Utik. Uang tunjangan setiap tahun diberikan karena tidak bisa lagi berburu dan mencari ikan di hutan. “Perusahaan keberatan, hengkang,” ujarnya.

Bandi atau dikenal Apay Janggut, kepala rumah panjang Sungai Utik, duduk tak jauh dari Karolus. Meski diumumkan sebagai pemenang Equator Prize 2019, kategori komunitas penjaga hutan, hatinya masih gundah. “Sampai saat ini hutan adat kami belum diakui,” imbuhnya. Desa pun kekurangan guru sekolah dasar. Apay tak tahu pasti apa penyebab terhambatnya pengakuan.

 

Apay Janggut, kepala rumah panjang Sungai Utik, bersama masyarakat Sungai Utik teguh menjaga hutan sebagai sumber kehidupan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kalimantan Barat sudah memiliki enam peraturan daerah. Ada Kabupaten Sanggau [Perda No. 1 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat], Kab. Landak [Perda No. 15 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Kabupaten Landak], Kab. Melawi [Perda No. 4 tahun 2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak], Kab. Sintang [Perda No. 12 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kelembagaan Adat dan Masyarakat Hukum Adat], Kab. Sekadau [Perda. No 8 Tahun 2018], serta Kab. Kapuas Hulu [Perda No. 13 Tahun 2018 tentang pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kapuas Hulu].

Sementara, masyarakat adat yang sudah mendapatkan penetapan hukum adat dan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] adalah masyarakat adat Tapang Sambas dan Tapang Kemayau [Desa Tapang Semadak di Kabupaten Sekadau,] masyarakat adat Tae dan masyarakat adat Segumun [Kabupaten Sanggau], masyarakat adat Pikul [Kabupaten Bengkayang] dan masyarakat adat Binua Laman Garoh [Desa Keranji Mancal, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak].

Pada 5 September 2019, Presiden Joko Widodo menyerahkan Surat Keputusan [SK] Hutan Adat kepada masyarakat adat di Kalimantan Barat. Yaitu, Hutan Adat Rage, Gunung Temua, dan Gunung Jalo di Kabupaten Bengkayang dengan luas keseluruhan 535 hektar. Hutan Adat Sungai Utik, tidak ada.

 

 

Sumber kehidupan

Bagi masyarakat adat, hutan merupakan sumber kehidupan: pangan maupun obat. Di hutan pula, ternama nilai-nilai budaya. Adanya pengakuan pemerintah, masyarakat adat punya payung hukum menjaga dan mengelola secara arif hutannya.

Pengakuan terhadap masyarakat adat dan hutan adat menjadi penting, sebagai bagian peradaban manusia. Menteri LHK, Siti Nurbaya, saat pembagian SK Hutan Adat di Pontianak, mengatakan, masyarakat hukum adat di Indonesia mendapatkan perlindungan dari negara.

Masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh alamiah pada bagian muka Bumi tertentu. Terdiri dari berbagai komunitas primordial yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lain.

Siti mengatakan untuk program Perhutanan Sosial seluruh Indonesia, lokasi atau luas lahan yang telah dipetakan secara partisipatif antara masyarakat, LSM seperti AMAN, BRWA dan lainnya sekitar 10,5 juta hektar. Setelah verifikasi, untuk seluruh Kalimantan terdapat 4,64 juta hektar hutan adat. “Diperkirakan 833 lokasi, saat ini telah diselesaikan 50 lokasi,” katanya.

Kementerian LHK memberikan SK Hijau untuk lima Hutan Adat di Kalimantan dengan total luas 1.645 hektar. Meliputi, Hutan Adat [HA] Rage di Kabupaten Bengkayang seluas 126 hektar, HA Gunung Temua di Kabupaten Bengkayang [151 ha], HA Gunung Jalo di Kabupaten Bengkayang [258 ha], HA Bukit Samabue di Kabupaten Landak [900 ha], serta HA Binua Laman Garoh di Kabupaten Landak [210 ha].

 

Rumah panjang Sungai Utik yang memiliki 28 pintu. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kata Siti, pentingnya SK ini, selain pengakuan resmi pemerintah dan keamanan, juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang berada dan berupaya di dalam hutan tersebut. Ada dua bentuk SK, Biru dan Hijau. SK Biru merupakan hak kepemilikan, SK Hijau untuk hutan adat yang merupakan hak komunal.

“Keduanya harus dimanfaatkan dengan baik, melalui kelompok masyarakat maupun adatnya, pemerintah memberi jaminan kepastian hukum dan akses modal,” tambahnya. Pemerintah juga akan memberikan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat yang telah mendapatkan SK.

Data KLHK dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, hingga Oktober 2018 jumlah penetapan dan pencadangan hutan adat mencapai 27.950,34 hektar. Luas tersebut berdasarkan penetapan atau pencantuman hutan sejak 2016. Terdapat 33 hutan adat yang juga dua hutan adat pencadangan. Seluruhnya, diakses atau dikelola 14.049 kepala keluarga dari masyarakat hukum adat.

Arealnya tersebar di Provinsi Jambi, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Jawa Barat. Pencadangan di Sumatera Utara dan Jambi.

 

 

Exit mobile version