- Setengah abad terakhir, hutan hujan di Kalimantan telah ditebangi, dibotaki, dibakar, dan dikonversi menjadi perkebunan monokultur. Masyarakat lokal masih menggantungkan hidupnya pada hutan, namun hutan tersebut malah menjadi penopang komoditas pasar global.
- Tetapi masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik, Kalimantan Barat, Indonesia, berhasil melawan para penebang dan penyerbu tanah dari hutan yang merupakan rumah mereka.
- Upaya masyarakat Sungai Utik mengelola hutan masyarakatnya secara berkelanjutan dalam menghadapi deforestasi skala besar, termasuk hilangnya budaya di Kalimantan, telah memenangkan penghargaan, termasuk Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa [UNDP] Program Equator Prize bulan lalu.
- Mongabay berkunjung dan berdiskusi dengan Apay Janggut, atau “Bandi”, kepala rumah panjang Sungai Utik mengenai praktik tradisional di komunitasnya, perlawanan terhadap penebang, dan upaya beradaptasi dengan masalah yang dihadapi masyarakat adat di seluruh dunia.

Pulau Kalimantan terkenal di kalangan para ilmuwan karena kekayaan biologinya. Mulai orangutan, gajah kerdil, hingga pohon-pohon dipterokarpa yang menjulang tinggi. Hutan-hutan di pulau terbesar ke tiga di dunia ini adalah beberapa yang paling beragam di planet bumi dan selama beberapa generasi telah menopang masyarakat adat tradisional, yang telah membangun mata pencaharian dan kehidupan mereka di sekitar siklus hutan dan faunanya.
Tetapi selama setengah abad terakhir, hutan hujan di Kalimantan telah ditebang untuk kayunya; ditambang untuk emasnya, batubara, dan pasir; dan dikeringkan, dibersihkan, dan dibakar untuk perkebunan industri. Banyak masyarakat Kalimantan yang sangat bergantung pada hutan telah diusir dari tanah mereka atau dipaksa meninggalkan praktik dan mata pencaharian dan kehidupan tradisional mereka. Hutan yang menjadi andalan masyarakat lokal untuk bertahan hidup sekarang ditebang untuk memenuhi permintaan komoditas pasar global.

Tetapi, satu komunitas adat yang tinggal di Kalimantan Indonesia, dekat perbatasan negara bagian Sarawak, Malaysia, berhasil melawan para penebang dan penyerbu tanah dari hutan yang merupakan rumah mereka.
Suku Dayak Iban Sungai Utik, sebuah desa di Batu Lintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, telah melestarikan lebih dari 6.000 hektar hutan hujan ‘tua’ di 9.450 hektar hutan adat mereka. Mereka mengamalkan adat istiadat tradisional yang membatasi tempat berburu, berapa banyak pohon yang mereka panen untuk penggunaan pribadi, bagaimana mereka menggunakan api, dan di mana mereka menanam. Hutan adat adalah sumber air tawar, makanan, dan hasil hutan terbarukan untuk masyarakat dan berfungsi sebagai penyangga Taman Nasional Betung Kerihun di dekatnya.
Upaya Sungai Utik mengelola hutan adatnya secara berkelanjutan dalam menghadapi deforestasi berskala besar dan hilangnya budaya di seluruh Kalimantan telah memenangkan penghargaan, termasuk Penghargaan Ekuator Program Pembangunan PBB [UNDP] bulan lalu, pengakuan dalam film dokumenter seperti Hope by If Not Us Then Who? dan hutan adat pertama yang memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia.
Sungai Utik sangat taat dalam praktik adatnya -termasuk budaya rumah panjang tradisionalnya, yang menampung lebih dari 300 orang- yang juga menjadikannya ikon di antara masyarakat adat lainnya, dan menarik suku Iban dari Sarawak untuk datang dan belajar mengenai bagaimana masyarakat Sungai Utik mempertahankan dan melestarikan budaya mereka, menjaga pengetahuan tradisional, dan melindungi hutan adat mereka.

Pada Juni 2019, pendiri Mongabay Rhett A. Butler dan koresponden Mongabay-Indonesia Aseanty Pahlevi mengunjungi dan berdiskusi dengan Apay Janggut, atau “Bandi”, kepala rumah panjang Sungai Utik.
Di usia beliau yang 80-an dan telah berperan di Sungai Utik lebih dari 20 tahun, Bandi menceritakan perlawanan masyarakat terhadap para penebang hutan. Berbicara tentang memenangkan Equator Prize, dan membahas upaya Sungai Utik untuk beradaptasi dengan masalah yang dihadapi masyarakat adat di seluruh dunia.

WAWANCARA DENGAN APAY “BANDI” JANGGUT, PEMIMPIN IBAN DI BORNEO
Mongabay: Pertama, selamat atas penghargaan Equator Prize. Itu adalah suatu kehormatan besar.
Bandi: Kami tidak melakukan sesuatu yang istimewa untuk memenangkan penghargaan ini. Kami hanya mengikuti tradisi, menghormati dan melindungi hutan. Tetapi kami senang mendapatkan pengakuan tersebut dan berharap hal itu dapat membantu kami dalam perjuangan kami untuk memenangkan hak resmi atas tanah adat kami.

Mongabay: Bagaimana proses hukum untuk memenangkan pengakuan tersebut?
Bandi: Pemerintah Kapuas Hulu lambat dalam menyadari keberadaan hutan adat kami. Butuh lebih tujuh tahun untuk AMAN [Aliansi Masyarakat Adat Nusantara] membantu kami mengamankan hak-hak masyarakat yang penting ini.
Jokowi mengatakan pemerintah akan mengakui satu juta hektar tanah adat dan kami telah melihat beberapa daerah lain mendapatkan sertifikat pengakuan tersebut. Jadi kami merasa bahwa hutan adat Sungai Utik harus diakui secara resmi. Proses hukum itu secara resmi sedang berlangsung dengan bantuan AMAN.



Mongabay: Kami telah mengunjungi Langkau Ngetu dan melihat hutan primer indah yang dilindungi oleh komunitas Sungai Utik. Bagaimana upaya Anda untuk bisa melindungi hutan?
Bandi: Pemerintah belum mampu melindungi hutan. Sudah menjadi tradisi adat kami untuk melindungi hutan.
Hutan adalah pasar kami. Ia adalah sumber air bersih; tanaman obat; resin; kayu untuk rumah kita, perapian dan sampan; ikan dan tempat bermain.
Sebagian dari hutan, seperti kebun ‘suci’, yang tidak tersentuh untuk kegiatan ritual dan alasan spiritual.

Bagian-bagian hutan yang dapat digunakan, diatur oleh hukum adat Iban. Sebagai contoh, 3.500 hektar hutan adat kami adalah area produksi untuk pertanian, seperti padi, karet, dan tanaman lainnya. Perburuan hanya diperbolehkan di area tertentu pada waktu tertentu dalam setahun.
Kami berpatroli di hutan untuk melindunginya dari orang luar yang datang untuk menebang pohon atau berburu.


Mongabay: Ada banyak kelapa sawit di Kalimantan Barat. Apakah Anda memiliki masalah dengan perusahaan yang mencoba mengambil tanah Anda atau jenis perambahan lainnya?
Bandi: Pada tahun 1979, sebuah perusahaan memperoleh izin untuk menebangi hutan kami. Tetapi komunitas adat kami menentang penebangan dan kami melawan perusahaan. Karena perlawanan kami, perusahaan tersebut akhirnya pergi.
Orang luar telah mencoba mengeksploitasi hutan, tetapi kami menghentikannya.


Mongabay: Apakah ada perubahan sejak Anda pertama membangun rumah Panjang ini?
Bandi: Perubahan iklim mempengaruhi kita. Curah hujan kurang dapat diprediksi dibandingkan di masa lalu, dan itu mempengaruhi sungai dan lebih panas.
Tetapi melindungi hutan kita sama dengan membuat sungai tetap mengalir, segar, dan bersih. Hutan memberi kami udara bersih. Menjaga hutan berarti melindungi kehidupan.
Kebutuhan komunitas telah berubah. Kami melakukan pariwisata eko-budaya. Salah satu anggota komunitas adat yang mengelolanya. Kami ingin memiliki sinyal [ponsel] dan listrik yang lebih baik, sehingga komunitas adat dapat terhubung dengan lebih baik.



Mongabay: Selain ekowisata, apa saja inisiatif lain yang Anda banggakan dari komunitas adat?
Bandi: Kami membuat buku tentang semua tanaman di hutan dan bagaimana mereka berguna dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Misalnya, tanaman yang digunakan untuk membumbui makanan, untuk upacara etnis, untuk warna kain tenun, getah bintangor untuk mengobati kanker, dan sebagainya.
Kami berharap buku ini akan membantu kami meneruskan pengetahuan tradisional ke generasi mendatang.
Kami juga berharap upaya ini akan membantu pemerintah memahami bahwa hutan bermakna untuk alasan selain kayu, pertambangan, dan minyak kelapa sawit.

Mongabay: Apa yang ingin Anda sampaikan kepada dunia luar?
Bandi: Kami ingin dunia tahu tentang apa yang telah kami lakukan untuk melindungi hutan, sehingga komunitas adat lain dapat melakukan hal yang sama. Hutan ini adalah ibu kita. Jika kita tidak melindunginya, ia akan marah. Dan jika marah, akan banyak bencana.








Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.